18. Your Wedding Ring

96 22 5
                                    

Mungkin Tuhan terlalu sayang sama gue. Sampai setiap perkataan gue jadi kenyataan.

Ingat disaat gue berkata, gue harap gue bisa menghabiskan malam natal bersama Kia? Ya, malam ini. Dengan tanganya Kia yang ada dalam genggaman gue. Dalam perjalanan pulang ke rumahnya.

Lagi-lagi kebetulan, 'kan?

Terlalu banyak berpikir membuat gue sedikit pusing. Setiap kali gue lihat raut wajahnya membuat gue membayangkan beberapa kalimat yang menggambarkan perasaan terbesar gue kepada Kia.

Seperti gue sudah menemukan tujuan hidup. Kebahagiaan. Buah yang dipetik dari masa lalu gue yang menyakitkan. Ternyata setelah gue kenal Kia, gue menemukan diri gue yang enggak pernah gue tau sebelumnya.

Diri gue yang asli. Yang selama ini terkurung karena luka dan kesedihan.

Sepanjang perjalanan Kia bercerita kalau gue sepenuhnya salah paham. Kemarin, Kia pergi bukan sama Hoseok, melainkan sama Ibu. Kia hanya kebetulan ketemu Hoseok dan makan cemilan sebentar di minimarket, momen yang gue liat waktu pulang kerja. Makanya Kia menyebut ibunya dalam chat gue semalem.

Sekali lagi, gue minta maaf sama Kia karena udah gak sabaran dan bikin dia sedih. Bego ya, gue.

"Ya,"

Kami masih di perjalanan. Di bus umum dengan hampir tanpa penumpang karena malam natal. Gue merogoh kantung coat yang gue gunakan. Bukan cincin, bukan, tapi spidol yang non permanen. Gue emang sengaja bawa, karena pengen ngelamar Kia sekali lagi. Kalau dipikir-pikir, gue gak pernah bener-bener ngelamar dia.

"Kenapa?"

"Saya suka makan sup ayam,"

Kia ngelirik gue heran, "Apasih?"

"Diem dulu, saya mau pantun,"

Kia mengangguk, "Okeoke,"

"Saya suka makan sup ayam,"

"Cakep,"

"Will you marry me?"

Seketika Kia memukul lengan gue, "Apa hubungannya si?!" Katanya kesal.

Gue tertawa sekaligus merintis kesal, "Apa aja bisa disambungin, Ya," kata gue.

"Kenapa? Itu akhiran 'yam' sama 'me' bener-bener gak mirip loh," ujar Kia kesal.

"Karena saya cinta kamu, Ya,"

Kia diem aja untuk sesaat, dan kembali untuk mencubit tangan gue. Cubitannya, gue gaboong, sakit banget cuy. Dicubit kecil tuh penderitaannya gede.

"Saya serius, ih, Ya. Kamu mau nikah sama saya?" Tanya gue.

"Beku-beku makan mi krenyes,"

Yaelah. Dibales pantun lagi.

"Cakep,"

"Kalau aku sih yes,"

Ahahah. Gue berhasil ketawa sambil ngejitak palanya Kia. Dia meletakkan bahunya di bahu gue sambil tertawa kecil. Lalu perlahan gue mengambil tangannya Kia dan mencoba untuk membuat coretan cincin di jari manisnya.

"Kalo pake spidol besok ilang, Gi," Tanya Kia.

"Gapapa, besok tinggal gambar lagi,"

Kia tersenyum sambil melihat tangannya yang gue gambarin cincin, "Hira bilang, dia dilamar Jungkook pake sedotan,"

"Hm? Masa?"

"Iya, but she said that was memorable and worthy more than shiny things," kata Kia.

"Waktu pertama denger Hira cerita begitu, aku pikir 'apaan deh kok ngelamar pake sedotan?' Tapi sekarang aku ngerti.  Bukan masalah ada cincin atau enggaknya. Tapi soal siap dan komitmen yang dipunya," jelas Kia.

Gue menghela nafas sesaat. Benar apa kata Kia. Cincin bisa dibeli setiap saat. Tapi pembuktian perasaan sebenarnya adalah dari cara seseorang menunjukkan kesungguhannya. Mungkin bagi gue, dari cemburu gue yang kemarin, atau amarah gue kepada siapapun yang buat Kia sedih adalah tanda kalau gue emang serius, sayang banget sama Kia. Entah bagaimana caranya, gue baru paham sekarang, kalau gue emang sayang dan serius sama Kia.

"Aku gapernah kasih kamu apa-apa, Gi. Kamu terus yang kasih aku,"

"Saya ngasih apa, Ya?"

"Enggak tau, Gi. Bukan baju yang kamu beliin atau setiap traktiran kamu. Tapi aku merasa penuh,"

Kia mengangkat jarinya dan melihat coretan cincin itu, "Kalau sama kamu, istilahnya aku kenyang terus! Haha,"

Sama seperti gue, Ya.

"Dan aku seneng bisa ketemu sama kamu,"

"Iya, Ya,"

Suasana hening sesaat, sampai Kia buka mulut lagi.

"Lagian, kenapa ngelamar lagi gitu?"

"Saya gak pernah merasa ngelamar kamu secara langsung. Pernahnya bilang ke Ayah sama Ibu kamu,"

"Itu aja cukup, kok," kata Kia.

"Bagi saya enggak,"

Karena saya punya banyak hal untuk berbagi sama kamu, dan hanya kamu yang dapat mengerti.

Bagaimana saya menggambarkan perasaan saya, takkan pernah sanggup mengartikan seberapa besar perasaan yang ada dalam diri saya.

Seiring berjalannya waktu, saya percaya kamu akan merasakannya juga.

Dan saya yakin, kita akan bahagia.

.
.
.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hehe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hehe

SERENDIPITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang