Part 1 : Jalan Hidup.
Derik pintu terbuka, wajah Baron Gardenning terlihat sudah menua. Alden menatap Ayahnya, pria yang memanjakan dia sedari kecil. Sedangkan Ibunya berdiri dengan anggun, berusaha terlihat seperti dewi rupawan walau kecantikannya sudah mulai terkikis.
Alden tahu ada masalah penting yang pasti membuat ayahnya memaksa dia kembali dari petualangan. Baron tua itu tidak pernah memaksa anak lelaki satu-satunya ini untuk hal apapun. Menjadi penerus yang akan menyandang gelar Baron berikutnya adalah tanggung jawab Alden. Hanya saja, saat ini dia tidak memikirkan semua itu. Masih ada ayah yang akan mengurus.
"Selamat pagi, Ayah." Alden menyapa dengan hangat. Dia masih suka membayangkan saat-saat di mana Ayahnya memangku dan menemani dia berkuda. Hanya saja keadaan semakin memburuk. Keadaan ekonomi keluarga Gardenning yang merosot drastis membuat kegiatan bersenang-senang menjadi sangat jarang terjadi.
Alden seharusnya bersyukur masih mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan di tempat yang cukup berkelas, berbeda dengan Adrianne, adik kembarnya. Adrianne hanya menjalani pendidikan di kastil dingin ini
"Kamu lupa menyapa ibumu, Alden?" suara Sofia, Baronessa Gardenning menusuk dingin.
Alden selalu ingat nada suara ibunya. Tinggi, mencoba berkelas dan tidak ada kesan peduli pada mereka --Alden dan Adrianne. Anak-anak hanyalah investasi menurut wanita yang harus Alden panggil ibu. Sedangkan ayahnya terlalu tunduk pada wanita itu. kegagalan dalam membina rumah tangga, dulu, membuat Baron menjadi berbeda. Apalagi Sofia atau selalu mengingatkan semua orang untuk memanggilnya Baronessa Gardenning kerap mengancam dengan akan membawa pergi Alden, penerus garis keturunan Gardenning satu-satunya.
"Apa kabar, Ibu. Semoga Ibu selalu sehat dan cantik." Alden tahu ibunya senang dipuji, baik kecantikan ataupun mahalnya barang-barang yang menempel pada dirinya.
Sang Baronessa Gardenning beranjak dari tempat duduk. Berjalan memutar lalu menatap Alden sejenak. Dia mengambil sebuah kertas di atas meja. Melihat reaksi mata memprotes dari Baron. Satu delik lebar, menyusutkan nyali pria yang dulunya gagah berani.
"Berapa usiamu sekarang, Alden?" tanya Sofia.
"Anda lupa usia anakmu sendiri, Ibu?" Alden balik bertanya.
"Tidak sopan! Jawab saja pertanyaanku!" bentak Sofia.
"Dua puluh, dua bulan lagi, Ibu." Alden menatap Baron yang menggeleng pelan.
"Sudah cukup matang. Sudah cukup mengenyam pendidikan. Sudah cukup pula bertualang." Ucapan Baronessa Gardenning sama sekali tidak dimengerti Alden. Dia tidak tahu ke mana arah pembicaraan ini.
"Apa yang ingin Anda katakan, Ibu?" tanya Alden sesopan mungkin.
Sang pendamping baron berdehem. Dia memutar otak. Mencari cara untuk menyampaikan keinginannya dengan halus dan baik. Langkahnya berhenti pada suami yang sudah tua, lebih tua dari usia yang seharusnya. Pria yang hanya baron itu memiliki tubuh loyo dengan keriput dan kulit membalut tulang disekujur tubuh. Entah mengapa dia harus menikahi pria lemah yang tidak bisa memberikan apapun. Sofia menyesali keputusannya dulu, saat memilih menjadi istri sah Baron Gardenning daripada menjadi simpanan seorang Earl kaya raya.
"Ayahmu sudah semakin tua. Dia sering sakit-sakitan," suara Sofia melembut, selembut sutera yang selalu dikenakan dan dibanggakannya.
"Tidakkah kamu melihat betapa berat perjuangannya. Sungguh besar tanggung jawab yang harus dikerjakan ayahmu. Dan Ibu mulai merasa khawatir dengan kesehatan serta penglihatannya. Dia sedikit rabun," ucap Sofia, kali ini suaranya manis. Bahkan lebih manis daripada madu yang dipanen di musim semi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desiring Marygold
Historical FictionBagaimana bila ada sekotak harta karun yang dapat kamu peroleh hanya dengan menukarkan kebebasanmu? Menikahi gadis gila dan liar adalah jalan keluar untuk membebaskan kekasihnya dari lilitan hutang. -- Alden. Jika bidadarimu telah menjadi debu dan...