Suara dering telepon milik Bihan terdengar nyaring tergeletak di meja ruang tamu. Aleta yang baru saja turun dari kamarnya mendengar dan mengakar panggilan tersebut.
"Hallo kak Bihan, hari ini gue ga bisa jenguk Sena. Ada latihan paskibra. Gue titip Sena ya, katanya sih malam ini dia udah boleh pulang." Kata Bian dari sebrang telepon. "Lo kenapa sih kak gak jenguk Sena lagi. Lo masih marah sama dia?" Cerocosnya lagi.
Alis Aleta berkerut, "Senaya sakit?"
"Hallo ini siapa?" Tanya balik Bian, bukannya mendengar suara Bihan malah mendengar suara perempuan.
"Saya mamahnya Bihan, benar Senaya sakit?" Aleta meletakkan tas mahalnya, awalnya ia turun ingin berangkat kembali untuk menghadiri arisan yang memang sudah rutin setiap satu bulan sekali pada komunitas pencinta tas.
"Eh Tante, maaf Tan kirain siapa. Iya tante, Sena kecelakaan beberapa hari lalu. Beruntung malam ini udah dibolehin pulang." Jelas Bian, kemudian sambungan terputus saat ponsel tersebut direbut Bihan.
"Ini hape Bihan." Katanya dengan cuek, memasukkan ponselnya ke saku jaket.
"Bihan, kenapa kamu engga kasih tau mamah. Sena kecelakaan kan?" Aleta mulai panik. "Cepet anterin mamah ke Sena."
Bihan memutar bola matanya malas, "apa peduli mamah."
Aleta melotot, "kamu tau sendiri, dia di Jakarta ga punya kerabat. Sena pasti ngerasa kesepian." Aleta mengambil tasnya. "Udah ayo cepet." Lanjutnya menyeret Bihan keluar. Untuk segera menuju rumah sakit dimana Sena dirawat.
Bihan yang mengendarai motor memimpin perjalanan, dan Aleta yang berada di dalam mobil mengikuti anaknya. Bihan merasa tidak nyaman berada satu mobil dengan ibunya sendiri, terasa canggung baginya.
Setelah sudah sampai parkiran. Aleta turun menggandeng tangan Bihan, Bihan sempat termenung. Sudah lama sekali Aleta tak menyentuhnya.
Bihan melepaskan gandengan Aleta, sedikit asing baginya. "Bihan harus balik lagi ke sekolah. Bentar lagi try out mulai." Alasannya agar tidak menemui Sena, jujur dirinya masih merasa bersalah, dan akan berlanjut jika ia belum bisa menemukan semua sebab yang terjadi malam itu. Bahkan sampai saat ini, ia belum juga bisa menemukan keberadaan Aidar untuk meminta penjelasan.
"Jam berapa?"
"Tiga."
"Masih setengah jam lagi."
Bihan kalah, tangannya kembali di gandeng. Aleta Kemang benar terlihat khawatir. Jika Bihan diposisi Sena pun, Aleta akan melakukan hal yang sama bukan. Walaupun Aleta selalu sibuk dengan karirnya sebagai pengacara dan berbagai urusan lain, namun apabila menyangkut kesehatan Bihan. Entah itu hanya masuk angin ataupun demam pasti Aleta ada di samping Bihan untuk merawatnya.
Ceklek
Sena mendongak, mendapati Aleta dan Bihan berjalan ke arahnya. Rasanya sudah lama ia tak melihat Bihan. Perasaannya pun masih sama, walaupun belum tentu Bihan masih sama seperti kemarin-kemarin.
"Gimana kabar kamu Sena? Udah baikan?" Aleta memperhatikan keadaan tubuh Sena yang duduk di keranjang rumah sakit, hanya ada perban yang melilit kepalanya. Sena tersenyum meringis. "Maaf ya, tante baru jenguk. Bihan ga ngabarin Tante kalo kamu kecelakaan."
"Iya ga papa Tan, lagian malem ini aku udah boleh pulang kok." Balas Sena ramah.
"Syukur, kalo udah boleh pulang. Maaf juga Tante ke sini ga bawa apa-apa. So---."
"Senaya." Panggil Marco yang masuk dengan menunduk melihat catatan kesehatan milik Sena. "Eh, maaf." Katanya setelah menyadari ada yang menjenguk Sena. Marco menatap lekat-lekat wajah Aleta. "Tante Aleta."
"Kamu tahu nama saya?" Aleta bertanya, dahinya berlipat berfikir bahwa ia pun mengenali lelaki berprofesi dokter tersebut. "Marco. Kamu sudah pulang dari London. Udah besar banget ya kamu. Ya ampun! Udah jadi dokter! Ayah kamu pasti bangga." Kata Aleta antusias setelah mengingat wajah Marco.
Marco mendekat, mencium punggung tangan Aleta. "Tante Aleta juga nambah cantik. Boleh kita ngobrol di ruangan saya saja. Banyak hal yang ingin saya sampaikan."
Aleta menatap Sena, "Tante tinggal dulu ya, Bihan kamu temenin Sena dulu." Aleta pamit bersama Marco keluar ruangan, meninggalkan Sena dan Bihan berdua.
Rasanya pendingin ruangan sedikit membuat Sena kedinginan, atau mungkin sikap Bihan yang sekarang mulai dingin lagi.
"Bihan." Panggil Sena, Bihan menoleh. Mulut Sena terkunci, kehilangan ucapan yang ia ingin lontarkan.
Bihan mendekat, duduk di kursi dekat ranjang. "Maafin gue ya, jarang jenguk." Katanya memegang tangan Sena.
Sena menggigit bibir bawahnya, hatinya seakan tenang setelah di sentuh Bihan. "Kumis kamu." Sena menunjuk kumis tipis Bihan. "Aku punya lagu nih buat kamu."
Bihan menaikan alis, menunggu Sena buka mulut lagi. "Rambut hitam tapi, menawan hati, tampan lucu, gagah dan berbadan tinggi, kumis tipis dan kulit putih, senyum manis lesung di pipi, membuat ku tersadar bentuk cinta itu.. ya Bihan."
"Emang gue punya lesung pipi?" Tanya Bihan setelah Sena selesai bernyanyi.
"Ada. Coba senyum." Suruh Sena, Bihan menyerngit kemudian perlahan tersenyum. Telunjuk Sena terulur menusuk pelan pipi kanan pacarnya, sehingga terbentuk lesung buatan jarinya. "Ini ada." Bihan terkekeh.
🌙🌙🌙
"Tante sudah menemukan anak itu?" Tanya Marco serius. Aleta menggeleng lemah. "Tahun ini anak itu akan berusia 17 tahun, ayah bilang, pada saat anak itu berusia 17 tahun, saya harus mengungkapkan kebenaran selama ini kepada media."
"Saya sudah berusaha mencari namun hasilnya nihil, semua bukti yang ada tidak akurat. Hanya anak itu yang memegang dan kunci brangkas dan di sanalah terdapat kata sandinya." Aleta menghembuskan nafas. "Saya sudah kehilangan jejak pembantu dari beliau, bahkan ada yang memberi informasi kepada saya bahwa pembantu itu sudah meninggal. Kita kehilangan harapan." Marco menghempaskan tubuhnya pada penyangga kursi.
"Brangkas itu masih ada di kamu?" Aleta mencondongkan tubuhnya. Marco mengangguk. "Apa tidak ada cara lain? Meledakkan brangkas itu atau memakai laser?"
"Tidak bisa Tante. Selain kita memerlukan barang bukti di dalamnya. Ayah menyuruh saya untuk menemukan anak itu. Barang bukti itu hanya pendukung kecil dari masalah ini, dan tidak bisa menjamin bahwa Mr. Glue akan divonis bersalah."
"Kita membutuhkan tempat yang aman untuk membahas masalah ini. Lain kali kita bahas kembali." Aleta berdiri dan pamit dari ruangan Marco, setelahnya ada perawat yang masuk untuk berurusan dengan Marco.
Saat ingin kembali ke ruangan Sena, Aleta mendapatkan notifikasi dari teman arisannya bahwa Minggu ini ia lah yang mendapatkan tas. Mereka semua sedang menunggu Aleta, jika tak cepat datang semuanya bisa hangus dan kembali mengundi. Aleta mengirim pesan kepada Bihan bahwa ia pulang terlebih dahulu.
"Mama udah pulang, katanya maaf ga bisa jenguk lama. Dia dapet arisan." Kata Bihan menyampaikan pesan Aleta kepada Sena. Sena hanya tersenyum tipis. "Gue juga harus ke sekolah, try out." Lanjutnya membuat Sena murung.
"Ya udah, gih sana ntar telat." Kata Sena dibuat seantusias mungkin, Bihan tak terlalu bodoh untuk melihat ekspresi Sena yang ditutupi. Tangannya terulur mengelus rambut Sena.
"Ntar malem, gue jemput."
Sena menggeleng, "ga usah, kamu besok ada simulasi kan? Belajar aja. Mba Ocha mau jemput aku."
"Ok--oke."
"Bihan." Panggil Sena ketika Bihan baru berbalik badan. "Aku ga mau lihat Bihan yang ditinggal Xena. Aku mau terus liat Bihan selagi datangnya Senaya." Katanya dengan tulus. Bihan tersenyum kemudian mengangguk.
🌙🌙🌙
24 Juli 2020
💛💛💛
KAMU SEDANG MEMBACA
AVENOIR [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[Untuk dibaca bukan disalin] [Astrophilia ganti judul jadi Avenoir] Senaya Lamanda yang hidup dengan identitas palsu, berpindah nasib ke kota dimana kedua orang tuanya ditembak mati. Menjadi anak dari anggota BIN terbaik membuatnya hidup dengan memb...