6 tahun berlalu...
"Bu dokter!" Panggil Bian memasuki ruangan Sena, diikuti Abun dan Pandu. Sena yang sedang menikmati makan siangnya menoleh. "Sibuk kerja mulu Lo! Kapan cari pacarnya! Masa kalah sama si Abun."
Sena menutup tepak makannya, cemberut mendengar perkataan sahabat perempuannya sejak SMA itu yang tengah mengandung. Memeluk Bian renggang karna perut sahabatnya itu mulai membesar. "Kalo gue sibuk cari pacar, siapa yang bantuin Lo lahiran?" Bian tersenyum.
Abun duduk di hadapan Sena, dengkulnya menekuk menjadi tumpuan. Mengeluarkan kotak cincin mewah. "Maukah kau menikah dengan ku?" Ucapnya, memperagakan lamaran seakan Sena adalah calonya.
Sena menampilkan wajah terkejut, agar terlihat meyakinkan. "Tentu saja aku mau." Jawabnya mengambil satu cincin yang terdapat satu berlian menonjol. "Gila! Ini cantik banget! Gue pengen! Gue beli ya!" Memasang cincin tersebut pada jari manisnya.
"Sinting Lo ya! Makanya cari pacar!" Gertak Abun mulai berdiri. "Gue bisa beliin Lo cincin buat nikahan, tapi tugas Lo cari pacar! Ntar--" ucapannya berhenti kala ponselnya berdering.
"Halo sayang?" Ucapnya, ponselnya mulai ia jauhkan dari telinga. Sena, Bian dan Pandu yang sudah mengetahui pasti Kim sedang mengomel pun terkekeh. Abun yang merasa malu, mulai berpamitan dengan isyarat kepada para sahabatnya. Dan meninggalkan ruangan Sena.
"Dok, ada pasien di kamar 17." Kata suster yang baru saja masuk setelah Abun keluar ruangan. Sena mengangguk.
"Keknya sibuk nih." Sindir Bian, meletakkan bingkisan berisi gaun yang dipesan Sena untuk menghadiri pernikahan Abun dan Kim. "Gue pamit deh."
"Kemaren gue ketemu Bihan." Ucap Pandu mendapat pukulan kecil. Bian cepat-cepat menyeret suaminya ke luar ruangan. Pasti Sena kembali teringat semua kenangan tentang Bihan.
Sudah bertahun-tahun ia berusaha melupakan kenangan indahnya bersama Bihan, sudah juga ia membuka hati untuk banyaknya pria yang dijodohkan dengan dirinya entah itu dari Bian ataupun Abun. Namun tetap nihil, Sena tak mampu melupakan semuanya begitu saja. Ia sudah menganggap Bihan sebagai cahaya terindahnya yang menerangi gelap dunianya saat itu.
Menutupi rindu dengan kesibukan bekerja sebagai bidan selama dua tahun terakhir ini adalah cara yang ia gunakan. Setidaknya kegiatan yang ia tekuni ini lebih bermanfaat bagi banyak orang daripada terus menerus berlarut dalam merindu.
Sena mengerjap, ia harus menyingkirkan pikiran tentang Bihan. Ada pasien yang harus ia tangani. Sena mengambil stetoskop yang tergeletak di atas meja kemudian dikalungkan pada lehernya dan berlalu ke luar ruangan menuju kamar 17, sesuai yang diinformasikan suster tadi.
"Udah ada dokternya, kamu keluar aja dulu." Ucap wanita dengan perut yang mulai membuncit tengah berbaring di atas bangkar, ketika Sena memasuki ruangan.
"Oke."
Sena tersentak, suara itu muncul lagi. Suara yang sudah bertahun-tahun lamanya ia tak dengar. Suara dingin itu yang selalu Sena rindukan. Sena berbalik menatap punggung gagah di hadapannya, begitupun lelaki itu. Tatapan mereka terkunci. Detik seakan berhenti, memberi jeda waktu untuk mereka saling menatap, saling menyampaikan rindu setelah sekian lama tak bertatap muka.
Rakitan kenangan masa SMA bersama Bihan mulai memenuhi pikiran Sena. Begitupun dengan Bihan yang juga merasakan ketenangan setelah setelah lama tak jumpa dengan Sena.
Penampilan Bihan sedikit berubah, bagian dagu sudah mulai bertumbuh rambut tipis begitupun di bagian kumis sepertinya baru saja dicukur. Tataan rambutnya sudah berubah membelah tengah. Rahangnya yang terlihat lebih tegas dan bahu itu terlihat lebih kokoh namun siapa sangka bahu itulah yang menopang banyak beban pikirannya dan akan sudah rapuh sejak dirinya meninggalkan Sena.
KAMU SEDANG MEMBACA
AVENOIR [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[Untuk dibaca bukan disalin] [Astrophilia ganti judul jadi Avenoir] Senaya Lamanda yang hidup dengan identitas palsu, berpindah nasib ke kota dimana kedua orang tuanya ditembak mati. Menjadi anak dari anggota BIN terbaik membuatnya hidup dengan memb...