Mata Sena terbuka, mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan yang bernuansa serba putih. Setelah semalam ia tertabrak lari, Bian selang beberapa menit datang menghubungi Bihan dan segera melarikannya ke rumah sakit terdekat. Kepalanya terlilit perban putih, tangan kirinya terhubung dengan infus. Pandangannya terhenti kala melihat seorang lelaki dengan jas putih, stetoskop bergelantung di lehernya, lelaki itu membelakangi Sena.
"Om Marco." Panggil Sena ketika seorang berjas putih itu menengok dan mendekatinya. Tak disangka om-om yang ia dan Bian temui saat motor Bian mogok kehabisan bensin adalah seorang dokter.
"Beruntung masih ingat saya ya. Saya periksa dulu." Balas Marco, mengambil benda yang melilit lehernya kemudian memeriksa Sena. "Pacar kamu sudah pulang, dia butuh istirahat setelah mendonorkan darahnya untuk kamu. Mungkin sebentar lagi temanmu akan datang."
Apa yang dimaksud pacarnya itu Bihan? Apa mungkin Bihan masih peduli dengan keadaannya setelah tadi malam meninggalkan dirinya sendirian, pikir Sena. "Aku mau masuk jurusan kedokteran om." Kata Sena tiba-tiba, mengalihkan pembicaraan. Marco menyerngit.
"Memangnya kamu jago apa?"
"Jago ngebantuin para istri mantan tanpa nunjukin rasa sakit om." Jawab Sena cengengesan. Sedangkan Marco menghela, baru saja bangun dari kecelakaan tadi malam, bocah ini sudah mulai ngelantur.
"Memangnya kamu punya mantan berapa?" Tanya lagi Marco, memasukkan tangannya pada saku jas. Menaik turunkan alisnya, Sena hanya menyengir kemudian menggeleng. Membuat Marco tertawa kecil menampakkan gigi putihnya.
"Yang aku tau, dibakar hidup-hidup sama melahirkan adalah dua hal yang paling menyakitkan. Maka dari itu, aku mau ada di samping para ibu hamil saat melahirkan." Jelas Sena diangguki Marco.
Krek
Pintu kamar terbuka, Bian masuk dengan bingkisan besar ditangannya. Mendekati ranjang Sena kemudian meletakkan bingkisan itu di atas nakas dekat ranjang. Tersenyum manis pada Marco.
"Sudah ada Bianca, saya tinggal dulu." Pamit Marco, mengedarkan senyumnya kepada kedua cewek cabe itu. Dengan mata terbinar mendapatkan senyum dokter tampan, Bian dan Sena juga tersenyum lebar.
"Om mau nanya, kalo pasien yang terkena gejala rindu dilarikan kemana?" Tanya Bian.
"Ruang i see you." Balas Marco Kemudian keluar dari ruangan.
Bian menghela nafas, jantungnya seperti maraton dari pagi hingga sore. "Sena, gue punya fakta baru." Katanya menatap Sena dengan mata yang masih terbinar. "Bukan cuma wortel, ketampanan cowo bahkan om-om mengandung vitamin A tinggi. Bikin mata lebih cerah, fres dan tajam penglihatan."
Sena tersenyum geli dengan penuturan Bian, tapi ada benarnya juga. "Ada yang mengandung vitamin A tinggi dari itu, buat mata jadi hijau." Bian menaikkan alisnya, "Duid." Kemudian tawa mereka pecah.
"Tertawa tak terkontrol menyebabkan penyakit kuru dan lama kelamaan jadi kanibalisme." Marco muncul kembali dari ambang pintu, membuat kedua cewek itu berhenti tertawa seketika. Marco berjalan mendekati ranjang Sena kemudian mengambil stetoskop yang tertinggal. Dan kembali meninggalkan ruangan.
"Kak Bihan niatnya hari ini mau nyelidikin tabrak lari semalem. Dia bilang, tujuannya ke pesta itu dapet chat dari kak Ai. Intinya kak Ai mau kak Bihan jaga Lo malam itu." Bian mengeluarkan buah pir dari kantong plastik yang ia bawa tadi. "Kayaknya kejadian yang Lo alamin ada sangkut pautnya sama kak Ai, dia seakan tau apa yang akan terjadi sama lo."
Sena berfikir keras, mencari jawaban dari semua pertanyaan yang ada di kepalanya. "Argh.." Sena meringis memegangi kepalanya yang terlilit perban.
"Lo kenapa? Perlu gue panggil om Marco?" Sena menggeleng. Bian meletakkan buah pir di tangannya. "Lo ga usah banyak mikir, harus banyak istirahat." Saran Bian.
KAMU SEDANG MEMBACA
AVENOIR [SUDAH TERBIT]
Novela Juvenil[Untuk dibaca bukan disalin] [Astrophilia ganti judul jadi Avenoir] Senaya Lamanda yang hidup dengan identitas palsu, berpindah nasib ke kota dimana kedua orang tuanya ditembak mati. Menjadi anak dari anggota BIN terbaik membuatnya hidup dengan memb...