26

114 14 0
                                    

"Mah, Bihan mau bicara." Bihan menuruni anak tangga dengan pakaian santai. Ujian Nasional terakhir yang sudah ia lewati hari ini  membuatnya lebih awal pulang.

Aleta yang baru saja memasuki rumah mendongak, niatnya pulang hanya ingin mengambil berkas yang tertinggal. "Bicara apa?" Tak ingin menyia-nyiakan waktu Bihan ingin bicara dengannya, karna jarang sekali Bihan seperti ini. Dirinya berjalan ke ruang tamu diikuti Bihan. "Bibi, tolong simpan tas ini di ruangan saya dan siapkan dan siapkan map kuning di dalam laci ke tiga." Suruh Aleta kepada pelayannya yang lewat, pelayan itu mengangguk kemudian pergi membawa tas milik Aleta yang kemarin ia dapatkan dari arisan.

Bihan duduk, menghela nafasnya panjang. "Bihan harap mamah bisa bantu." Aleta mengangguk antusias. "Ini soal Senaya." Bihan menjeda ucapannya. Melihat sekeliling, para pembantu ada di belakang semua.

"Senaya anak dari Prabu Mandala dan Mela Mandala." Kalimat itu berhasil lolos dengan sempurna dan membuat Aleta terkejut luar biasa. "Mamah pasti enggak akan percaya gitu aja. Karena sepengetahuan publik beliau dan juga istrinya enggak punya keturunan. Tapi ada banyak bukti aku bicara seperti ini." Bihan mulai was-was jikalau Aleta tak mempercayainya atau bahkan tak ingin menolongnya.

"Jelaskan apa yang sudah kamu tahu." Aleta tampak serius, dan membuat Bihan lega.

Bihan mengangguk, "jika dilihat dari namanya, Senaya Lamanda. Prabu mengganti dua huruf depan yang semula Inaya. Dan nama belakang jika dua huruf depan dipindahkan ke belakang menjadi Mandala. Nama asli anak Prabu adalah Inaya Mandala. Bukan cuma--."

"Telpon Sena, suruh dia untuk bersiap-siap. Kamu jemput Sena dan kita bertemu di jalan petaka." Ucap Aleta memotong perkataan Bihan. Mendapatkan satu fakta membuat hati Aleta yakin seyakin-yakinnya, bahwa Senaya lah yang ia cari.

"Mau kemana?"

"Ke tempat pengacara yang sedang dicari Sena bukan? Sekalian suruh Sena bawa semua barang bukti itu." Balasnya ingin beranjak dari sana.

"Bukannya om Wisnu sudah meninggal lama?"

"Kasus ini, om Wisnu serahkan kepada mamah sepuluh tahun yang lalu. Mama belum berhasil memecahkannya. Ternyata Tuhan membantu mamah lewat kamu." Aleta berdiri meneguk pundak anaknya kemudian pergi ke ruangannya mengambil tas.

Bihan tersenyum, tak disangka ternyata Aleta tahu semua. Jika saja dari waktu itu ia membicarakan masalah ini kepada Aleta mungkin semuanya cepat selesai. Namun hatinya pun bersyukur semuanya masih belum terlambat.

🌙🌙🌙

Sena berguling-guling di atas kasur. Selama seminggu ini, kelas sebelas dan sepuluh diliburkan karena kelas dua belas melaksanakan ujian Nasional. Pikirannya melayang pada ucapan Bihan sepulang ziarah dari makam Jean.

"Gue langsung pulang ya, bye.." pamit Bian mengandeng tangan Pandu setelah cukup lama berziarah ke makam Jean.

"Gue juga." Abun menyusul.

Bihan bukannya berjalan ke pintu keluar TPU malah berjalan semakin ke bagian belakang. Tangannya masih menenteng satu buket bunga. Sena hanya mengikuti dari belakang.

"Xena Nasution." Lirih Sena membaca nama di atas nisan, ketika Bihan berjongkok.

Sena cukup lama hanya berdiam begitu pun Bihan yang mungkin hanya sibuk meluapkan dalam hati. "Gue bakal ngomong sama Mama soal masalah Lo setelah gue ujian. Gue janji."  Ucap Bihan "ayo pulang." Ajaknya menggandeng tangan Sena.

"Apa Bihan nepatin janjinya ya?" Tanya Sena pada diri sendiri. Harapannya tergantung di tangan Bihan. "Bihan." Gumamnya melihat panggilan suara dari pacarnya.

AVENOIR [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang