5.

10.2K 1.1K 7
                                    

Fatih sedang berkumpul dengan teman-temannya, lelaki itu tadi memang menyuruh Aster untuk memasuki kamar terlebih dahulu.

Sekarang Aster bingung harus melakukan apa, padahal ini dikamarnya sendiri. Usai mandi dan berganti pakaian, ia mengenakan kembali kerudung hitam kesayangannya.

Eh jangan salah, nanti dikira kerudung hitam Aster tidak pernah dicuci. Setiap hari Aster mencucinya, hanya saja kerudungnya memang banyak yang berwarna hitam.

Cklek, pintu kamar terbuka.

Aster dan Fatih sama terkejutnya.

"Belum tidur?," Fatih membuka obrolan.

"Udah, ini kan lagi mimpi."

Lelaki itu mendengus mendengar jawaban sang istri.

Fatih membuka kancing kemejanya satu persatu.

"Mas mau ngapain?," Tanya Aster tiba-tiba.

"Mandi. Kenapa?,"

"Tanya doang."

Aster memilih pura-pura sibuk dengan ponselnya mengalihkan pandangannya dari dada bidang Fatih yang tidak tertutup selembar benang.

Usai Fatih masuk ke kamar mandi, Aster melihat pakaian kotor suaminya yang sudah diletakkan di keranjang cucian kotor.

Ah untung suaminya pintar.

Tak berselang lama Fatih keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah.

Aster menelan ludah berkali-kali. Karena bagaimanapun suaminya itu termasuk kedalam jajaran lelaki uwu-uwu idaman kaum hawa.

"Sudah?," Tanya Fatih.

"Ha? Ah," Aster tergagap.

"Sudah mengagumiku?."

"Tidak, hanya melihat."

Fatih tertawa, "Nilai Bahasa Indonesiamu di ijazah berapa As? Kan pertanyaannya 'sudah mengagumiku?' berarti hanya ada dua jawaban, yaitu sudah dan belum."

Aster mengerucutkan bibirnya sebal.

Tidak ada sahutan setelahnya. Fatih berjalan mematikan saklar lampu lalu merebahkan dirinya disamping Aster.

"As?."

"Iya mas?."

Jantung Aster berdegup kencang, ia takut kalau Fatih akan meminta haknya malam ini juga. Sungguh, Aster belum siap.

Fatih dengan sengaja menarik Aster semakin merapat ke tubuhnya, menciptakan suatu debaran yang memompa aliran darahnya untuk berpacu lebih cepat.

"Mas?."

Fatih tidak menjawab, lelaki itu merengkuh tubuh Aster kedalam pelukannya. Pelan-pelan tangan Fatih menyentuh ubun-ubun Aster lalu membacakan doa.

"Allahumma inni as'aluka min khairiha wa khairimaa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha 'alaih."

Kemudian meniup ubun-ubunnya serta mengecup dengan penuh hikmat.

Aster tertegun, Fatih begitu manis.

"Aster?," Panggil Fatih.

"Iya mas," Aster menjawab sambil menunduk.

Fatih meraih dagu gadis itu, meminta agar sang istri mau menatapnya.

"Terimakasih sudah bersedia menjadi istri saya. Terimakasih sudah berkenan melengkapi separuh agama saya. Terimakasih sudah mau menjalani ibadah terpanjang bersama saya. Terimakasih Aster."

Aster tetap diam, mencerna baik-baik apa yang suaminya katakan.

"Saya tahu, saya bukan lelaki yang baik. Saya juga tahu bahwa saya tidak ada didalam kandidat calon suami impian kamu. Tapi saya adalah saya, saya yang sudah berjanji dihadapan Allah dengan menjabat tangan ayahmu dan disaksikan ratusan saksi. Saya mengambil alih tanggungjawab kamu dari ayahmu. Saya Fatih, tidak berjanji akan membuatmu selalu bahagia, karena dalam rumah tangga pasti akan mengalami suka dan duka. Maka, suamimu ini setidaknya akan berusaha untuk membuatmu tidak meneteskan air mata."

Aster tersenyum, ia begitu terharu. Relung hatinya menghangat.

"Aster minta maaf awalnya sempat ingin kabur," gadis itu meringis mengingat tingkahnya kemarin malam.

"Aster tidak tahu awalnya bagaimana, kenapa Mas Fatih memilih Aster, Aster tidak paham. Yang Aster tahu, hari ini Aster sudah resmi menjadi istri Mas Fatih, maka dari itu Aster mohon Mas Fatih mau membimbing Aster menjadi lebih baik, menjadi istri berbakti bagi Mas Fatih, dan menjadi ibu yang layak bagi anak-anak kita kelak."

Aster memukul mulutnya pelan, merutuki kalimat terakhir yang meluncur tanpa disaring dari bibir merah muda itu.

Fatih tertawa.
"Jadi? Sudah terpikir untuk menjadi ibu?."

"Eh anu mas,..." Aster menunjukkan cengirannya dengan dua jari membentuk huruf V.

"As bolehkah?."

Ucapan Fatih terpotong oleh Aster, "Boleh apa mas?."

"Em bolehkah?."

"Iya mas boleh apa?."

"Sabar As, bagaimana saya bisa menyelesaikan kalimat saya kalau dari tadi kamu potong?."

Aster terkekeh, "sengaja mas"

Mau tidak mau Fatih ikut tersenyum.

"As,?" Panggil Fatih.

Aster mendongak menatap manik mata suaminya.

"Iya mas, ada apa?," Tanya Aster.

Sejujurnya dari tadi Aster sedang berusaha meneguhkan dirinya sendiri. Ia was-was kalau Fatih akan membicarakan malam pertama.

"Kenapa kamu diberi nama Aster?,"

Aster mengerutkan kening, ia kira Fatih kenapa. Ternyata hanya menanyakan nama.

"Aster enggak tahu mas. Coba tanya ibu sana."

"Gitu aja nggak tahu," kata Fatih.

Aster bungkam, malas meladeni Fatih yang semakin tidak jelas.

"As,?" Panggil Fatih lagi.

"Iya mas?,"

"Kamu nggak menyesal kan menikah dengan saya?."

Aster terlihat berpikir, menimang kalimat apa yang cocok ia lontarkan untuk menjawab pertanyaan Fatih.

"Iya sih menyesal."

Fatih menegang, namun lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya di tubuh mungil Aster.

"Maafkan saya ya As."

"Aster belum selesai tahu mas, sudah dipotong saja."

"Lalu?," Tanya Fatih.

"Aster menyesal kenapa kemarin pas mau kabur malah kepergok sama Mas Fatih."

Gadis itu tertawa renyah.

"Kamu beneran menyesal menikah dengan saya As," Fatih semakin khawatir.

"Em kalau sekarang sih udah enggak menyesal Mas, lumayan kalau kondangan bisa pamer cogan."

Fatih terkekeh, "kamu ada-ada saja As."

Mata Aster semakin memberat, berada diperlukan Fatih membuat Aster merasa nyaman. Tak ayal rasa kantuk menyerang dirinya.

Namun, Aster rasa Fatih belum mengizinkannya terlelap.

"As?," Panggil Fatih lagi.

"Apalagi sih mas?, Aster ngantuk tahu."

"Boleh saya lepas kerudung kamu?."

Aster tersentak, merasa tak enak hati pada suaminya. Dengan segera Aster melepas sendiri kerudung hitam yang dipakainya dilanjutkan dengan menggerai rambut.

Fatih tersenyum senang.

"Maaf membuatmu tidak nyaman As, Tidurlah, jangan lupa berdoa. Selamat malam istriku."

Mrs. Aster [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang