Sabun udah, shampo udah, pasta gigi udah, apa lagi ya yang belum?.
Fatih tersenyum melihat raut bingung istrinya.
Lelaki itu menarik sang istri ke jajaran rak kosmetik.
"Kamu nggak beli itu?," Tanya Fatih.
Aster mengerutkan keningnya, "itu apa mas?."
Lelaki yang berstatus sebagai suami Aster itu mengambil sebuah produk dan berlagak menjelaskan kepada istrinya seperti SPB.
"Ini contohnya, namanya micellar water. Biasanya sih digunain buat ngehapus make up sama debu yang nempel di muka."
Aster canggung, dia yang cewek aja nggak paham.
"Kok Mas Fatih tahu sih?," Tanya Aster.
"Iya, soalnya sering dipalak Fida buat beli skincare."
"Aster nggak paham begituan mas," kata Aster berterus terang.
"Ya udah kalau gitu beli yang mirip dipakai Fida aja. Sini keranjangnya saya yang bawa."
Kini Aster mengikuti Fatih seperti anak ayam yang takut kehilangan induknya.
Gadis itu hanya diam melihat sang suami memasukkan berbagai macam kebutuhan wanita yang tidak dimengerti olehnya.
"Mas Fatih nggak butuh sesuatu?," Tanya Aster mengatasi keheningan diantara mereka.
"Butuh As."
"Kenapa nggak cari sekalian?."
"Buat apa dicari kalau yang saya butuhkan ada disini?."
Fatih menggenggam tangan Aster secara tiba-tiba, membuat mata gadis itu melotot hendak keluar.
"Yang saya butuhkan itu kamu As."
Lelaki itu menarik tangan Aster memutari rak berisikan pembalut wanita.
"Kamu biasa pakai yang mana As?."
Aster malu, suaminya itu terlalu terang-terangan ketika bertanya.
Tanpa mengucapkan apapun, Aster memasukkan pembalut merk favoritnya kedalam keranjang yang dibawa Fatih.
Selanjutnya mereka menuju rak sembako.
Minyak goreng, gula pasir, susu, kopi, garam, moto, sabun cuci, penyedap rasa, pengharum ruangan, serta berbagai keperluan rumah tangga lainnya sudah memenuhi keranjang belanjaan mereka.
Waktunya membayar.
Alhamdulillah ini bukan hari libur, Jadi supermarket tidak terlalu ramai, antrian kasir pun tidak terlalu panjang.
Begitu sampai di depan kasir, mbak-mbak kasir itu melongo menatap Fatih. Sedangkan yang ditatap biasa saja, seperti tidak merasakan apa-apa.
Aster tentu saja geram, suaminya menjadi bahan ke-halu-an tepat di depan matanya.
Aster akui walaupun ia belum memiliki perasaan apapun kepada Fatih, namun tetap saja dirinya merasa risih.
"Mbak," panggil Aster ke sekian kalinya yang tak kunjung mendapat jawaban.
"Mbak," kali ini suaranya meninggi.
"Eh iya dek maaf, saya melamun."
Tangan mbak kasir itu cekatan memindai barang-barang yang tadinya memenuhi keranjang, kini sudah berpindah kedalam kantong kresek berlogo khas supermarket.
"Mas-nya cakep banget dek, boleh dong mbak daftar jadi calon kakak iparnya."
Aster mendengus "nggak boleh mbak."
Fatih berpura-pura tidak peduli, padahal sedari tadi ia menguping pembicaraan istrinya dengan mbak kasir.
"Kenapa nggak boleh?"
"Mbak bukan seleranya."
Ya rupanya perkataan Aster itu membuat mbak kasir naik darah.
"Yang sopan sama orang tua dek. Padahal mas-nya cakep, tapi adeknya jelek, udah gitu attitude nya juga jelek pula."
Sebenarnya perkataan mbak kasir itu cukup menohok hati Aster, namun yang namanya wanita dalam hal adu mulut tidak ingin dikalahkan, maka dengan senang hati Aster menjawab.
"Dosa mbak godain suami orang."
"Cih, anak kecil aja belagu. Bohong palingan, mana mungkin mas-nya udah punya istri."
Aster tidak mendengarkan, ia memilih melangkah maju dan membiarkan Fatih menyelesaikan pembayaran.
"Adeknya lucu sekali mas, saya jadi gemas," percayalah itu adalah sebuah pencitraan.
Fatih tersenyum miring, mengeluarkan beberapa rupiah dari dompetnya dan menyerahkan kepada si-mbak kasir.
"Iya dia memang lucu," kata Fatih sambil menunggu struk pembayaran dan kembalian.
"Tapi dia istri saya, bukan adek saya."
Kalimat terakhir yang diucapkan Fatih sambil berlalu sukses membuat si-mbak kasir itu menjadi bertampang bodoh.
•••
Sejak berada di dalam mobil hingga kini mereka mampir di rumah makan, Fatih merasa bahwa Aster tengah mendiamkannya.
"As, kamu kenapa?."
"Nggak papa Mas."
Lelaki itu berdecak, "nggak papa-nya wanita itu pasti ada apa-apanya As."
Aster tidak menyahut, memilih larut kedalam pikirannya.
"As kamu marah sama saya?."
"Nggak mas."
Fatih menghela nafas.
"As ayolah, kalau saya salah kasih tahu letak kesalahan saya ada dimana, jangan seperti ini."
"Seperti ini gimana mas?,"
Aster malah balik bertanya."Kamu cemburu As?,"
Pertanyaan yang keluar dari mulut Fatih itu membuat Aster tersentak.Tenggorokannya mendadak seperti tercekat, 'benarkah dirinya cemburu'?
Tanya Aster kepada diri sendiri.
Ah memang harusnya Aster tidak bersikap berlebihan hanya karena kejadian di supermarket dengan mbak-mbak kasir tadi.
Harusnya Aster maklum karena memang mbak-nya tidak mengetahui status mereka berdua yang sepasang suami-istri.
Gadis itu melirik sang suami yang kini seluruh fokusnya berpindah di tangan lelaki itu sendiri.
"Kenapa mas?," Tanya Aster kepo.
"Saya melihat sesuatu ditangan saya As," kata Fatih yang tidak mengalihkan tatapan dari telapak tangannya sedikitpun.
"Hah emang ada?."
"Ada As, coba kamu lihat saja telapak tanganmu."
"Kanan apa kiri mas?," Tanya Aster yang memang sudah kepo akut.
"Terserah kamu saja."
Gadis itu mulai mengamati telapak tangannya dengan seksama, mencari-cari sesuatu yang bisa ia lihat dari telapak tangan itu.
Ah tidak ada, hanya ada garis-garis tangan yang saling terhubung.
Berkali-kali Aster mencoba, berkali-kali pula gadis itu menghela nafas karena tidak menemukan apapun.
"Nggak ada mas, Aster capek dari tadi nyari enggak ketemu."
"Mana coba saya lihat."
Aster dengan senang hati memberikan tangannya kepada Fatih.
"Ah mungkin disini," kata Fatih yang membalik tangan istrinya.
Cup
Satu kecupan mendarat di punggung tangan Aster.
"Jangan marah lagi As, nanti saya makin sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mrs. Aster [TAMAT]
RomanceJantung Aster berdegup kencang. Perlahan ia berjalan agar tidak menimbulkan suara. Mengendap-endap seperti maling dirumahnya sendiri. Celingak-celinguk memastikan keadaan cukup aman untuknya kabur. Namun, Aaaaaaaaaaaa... Jeritannya menggema. "Sedang...