12.

7.1K 776 2
                                    

"As, Aster, As, " Panggil Fatih berulang kali sembari menggoyangkan lengan istrinya.

"Astaghfirullah Mas, Aster kaget" Kata Aster sambil mengelus dadanya yang mendadak berdegup kencang karena terkejut.

"Matahari belum terbit, tapi kamu sudah melamun."

Memang saat ini matahari belum menduduki singgasananya, udara juga terasa sangat dingin. Masih pukul 04.45, Fatih dan Aster baru saja melaksanakan sholat subuh berjamaah.

"Ya sudah Mas, Aster mau masak dulu" Istri dari Fatih Al-Haddad itu hendak meninggalkan kamar usai membereskan peralatan sholat.

Namun pergerakannya terhenti ketika Fatih menarik tangan Aster, menyebabkan tubuh mungil itu limbung dan berakhir terjatuh di ranjang dengan posisi yang rawan.

Fatih di bawah, dan Aster di atas. Sadar tidak ada yang menguntungkan dari posisinya, Aster buru-buru ingin bangkit. Tetapi tangan Fatih dengan sigap menahan pinggang Aster untuk tetap berada pada posisi itu.

Lelah memberikan perlawanan, akhirnya Aster menyerah. Karena memang tenaga Fatih lebih besar dari tenaganya, gadis itu merileks-kan tubuhnya untuk menikmati dekapan sang suami.

Aster menumpukan kepalanya pada dada bidang Fatih, ia tahu bahwa degup jantung Fatih juga menggila.

"Kamu ada masalah apa As?," Tanya Fatih sambil mengelus surai Aster.

"Tidak ada apa-apa Mas."

"Jujur sama saya As."

Aster termenung sejenak, pikiran gadis itu melanglang buana menyentuh sudut-sudut yang selama ini diabaikannya.

"Tidak ada Mas," Kata Aster lagi mencoba meyakinkan suaminya.

"Saya punya salah sama kamu?, Kamu marah karena saya tidak memberi tahu profesi saya yang sebenarnya?," Fatih bertanya dengan nada lembut, takut menyinggung hati gadis yang saat ini ada di dekapannya.

"Astaghfirullah, bukan begitu Mas."

"Lalu apa? Saya itu suami kamu As, saya yang kini bertanggung jawab atas kamu, bukan ayah atau ibumu lagi. Kamu dikandungan dijaga dengan baik, kamu dilahirkan dengan susah payah, kamu dibesarkan dengan penuh perjuangan, orang tua mu selalu mengupayakan kebahagiaanmu dengan sebaik mungkin. Saya yang kemarin meminta untuk mengambil alih tanggung jawab itu dari ayahmu, maka kini saya yang akan mengupayakan kebahagiaanmu. Bila saya mempunyai salah, mohon tegur saya. Bila ada yang mengganjal dihatimu, tolong beri tahu saya. Bila kamu ingin bercerita, maka bercerita lah kepada saya. Saya siap menampung segala keluh kesah kamu, mari sama-sama terbuka As."

Aster tertegun, tidak menyangka bahwa melamun akan menjadikan Fatih melankolis seperti ini. Aster senang, tentu saja. Siapa yang tidak senang bila diperhatikan oleh suaminya? Siapapun pasti senang.

Bukan itu duduk perkaranya, Aster merasa bersalah.

"Maafkan Aster Mas, Aster tidak bermaksud menambah beban pikiran Mas Fatih."

"Kamu tidak menambah beban pikiran saya As. Bila kamu lelah, bersandarlah di bahu saya. Bila saya lelah, maka saya akan bersandar di bahu kamu. Seperti itulah suami istri, saling menguatkan."

"Uwais Al-Qarni," Kini Aster sudah mulai bercerita.

"Manusia penghuni langit, pemuda yang tidak sempat bertemu Rasulullah SAW, pemuda yang sangat menyayangi ibunya.
Kemarin Fida bercerita tentang Uwais Al-Qarni di bangsal dimana anak-anak pengidap kanker dirawat."

Fatih tetap diam, mendengarkan dengan seksama cerita dari istrinya.

Aster menceritakan dari awal mereka datang ke rumah sakit, lalu masuk ke ruangan seorang dokter tanpa permisi, dilanjut dengan meminta uang dan menghabiskan uang tersebut, selanjutnya mengunjungi sebuah bangsal yang isinya anak-anak pengidap kanker, dan kemudian mendongeng tentang Uwais Al-Qarni yang disambut antusiasme anak-anak tersebut.

"Setelah mendengar cerita tentang Uwais Al-Qarni yang menggendong ibundanya dari Yaman menuju Mekkah tanpa mengeluh, Aster merasa sangat berdosa kepada Ibu Mas. Aster suka ngeluh kalau disuruh beli garam di warung, Aster sering tidak mendengarkan ibu ngomong apa, Aster sering bikin ibu nangis karena kecewa sama Aster, Aster bukan anak yang baik Mas."

"Jangan bicara seperti itu As, kamu anak yang baik, saya tahu itu. Kamu bisa membahagiakan orangtua mu dengan caramu sendiri."

"Tapi Mas," ucapan Aster terjeda. Berapa lama waktu yang ia habiskan untuk berada dalam pelukan Fatih?.

Mata gadis itu membola, "Astaghfirullahaladzim Mas, Aster belum masak, belum mandi, tapi udah jam enam."

Fatih pun juga ikut kaget karena mendengar teriakan istrinya, "Astaghfirullahaladzim As, saya kaget."

Bisa tak bisa, Aster melepaskan diri dari kungkungan Fatih, paham akan situasi maka lelaki itu melepaskan istrinya yang terlihat panik.

"Mandi saja As, nggak usah masak."

"Terus Mas Fatih mau makan apa?," Tanya Aster sambil menggigit jarinya.

"Kita beli di warung pertigaan As."

Perdebatan suami istri itu berhenti sampai disana, Aster bergegas mandi karena tidak ingin membuat Fatih telat untuk berangkat ke rumah sakit.

Lekas itu, barulah Fatih yang mandi.

"Ayo As ikut saya," Kata Fatih sembari mengambil kunci mobil.

Gadis itu menurut, "Nanti pulangnya biar Aster jalan aja Mas. Biar Mas Fatih nggak telat."

Tidak ada sahutan, suami dari Aster itu fokus mengemudi.

Sampai di warung pertigaan, mereka berdua turun. Ada banyak masakan yang tersaji disana, Fatih membiarkan Aster memilih mau makan apa, namun Fatih sendiri yang menentukan jumlahnya. Lelaki itu memesan dalam porsi besar.

Aster tidak menegur, takut menyinggung perasaan penjual.

"Mas ini terlalu banyak," kata Aster berkata disamping mobil Fatih sambil menenteng plastik makanan.

"Ayo As, masuk lagi kedalam mobil."

Aster mengernyit tidak suka, dia berkata apa malah Fatih menjawab apa.

Namun pada akhirnya Aster tetap menurut, ia heran tatkala mobil Fatih tidak kembali ke rumah, melainkan menuju jalan yang dulu sering dilalui Aster.

Ia tertegun ketika suaminya menghentikan mobil di sebuah rumah yang sangat dirindukannya.

"Ayo As, kita temui ibu. Saya mau berterimakasih karena beliau sudah melahirkan kamu."

Aster terharu, tidak menyangka akan diantar ke rumah ibunya.

"Terimakasih Mas."

Mrs. Aster [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang