11.

7K 792 0
                                    

Lalu lalang manusia disertai brankar mengiringi langkah dua orang gadis di sebuah rumah sakit di pusat kota.

Mereka, Aster dan Fida berjalan ditengah kerumunan pasien, dan penjenguk, serta para suster yang mondar-mandir di lorong rumah sakit.

"Astaghfirullah sabar Fid," kata Aster sambil menyesuaikan langkah Fida yang tergesa-gesa.

"Ayo mbak, buruan," Fida menarik tangan Aster, melewati lorong demi lorong rumah sakit yang kini tidak seramai di lobi.

"Kita mau apa kesini Fid?," Aster bertanya karena ia tidak paham apa tujuan adik iparnya mengajak kemari.

"Mau nengokin mbak."

"Nengok siapa sih?," Kata Aster sambil terus berjalan.

"Mas Fatih Mbak, Mbak Aster nggak tau?."

Jantung Aster seperti melorot dari tempatnya.

Apa-apaan ini? Apa yang terjadi pada suaminya hingga menyebabkan adik iparnya begitu tergesa mengajaknya kemari.

Padahal tadi pagi ia dan Fatih masih sarapan bersama, Aster tidak tau mengapa Fatih ada di rumah sakit.

Aster lemas, tubuhnya menjadi seperti tidak bertenaga.

Untung Fida tetap menyeret Aster, kalau tidak mungkin gadis itu sudah terduduk di lantai.

Perasaan cemas dan was-was menghantui Aster, ia tidak mau menjadi janda muda. Bahkan Fatih belum menyentuhnya.

Pertanyaan demi pertanyaan muncul ketika Fida berbelok menuju poli gigi.

Tanpa permisi, dan tanpa basa-basi Fida langsung masuk ke sebuah ruangan.

"Eh Fid, ini nggak apa-apa? Mas Fatih dimana?."

"Sudah tenang saja mbak, nggak apa-apa. Silahkan Mbak Aster duduk dulu," Kata Fida yang mendudukkan Aster di sofa yang terdapat dalam ruangan itu.

Fida menuju pojok ruangan menghampiri dispenser untuk membuatkan Aster minuman.

Aster yang tidak tahu apa-apa pun hanya terbengong-bengong melihat tingkah Fida.

Ia jadi merasa sungkan kepada pemilik ruangan ini.

"Fid ini beneran nggak papa?," Tanya Aster sambil menerima uluran teh hangat dari Fida.

"Tenang aja, Mbak Aster nggak usah panik."

Fida kini sudah mengalihkan pandangannya ke layar ponsel milik gadis itu sendiri.

Setelah menyeret Aster dengan tergesa-gesa, membuat Aster bertanya-tanya tentang kondisi Fatih, kini seperti tanpa dosa Fida berleha-leha sambil bermain game.

"Fid, Mas Fatih nggak apa-apa kan?," Aster risau.

Fida menghentikan permainan game-nya.
Meletakkan ponselnya di sofa, adik ipar Aster itu membalik papan nama berukuran 6×25 cm yang bertengger manis di meja.

Drg. M. Fatih Al-Haddad.

Aster tercengang, bertepatan dengan itu lelaki ber-snelli memasuki ruangan dengan pandangan tak percaya sekaligus kaget.

Ya, lelaki itu Fatih, suaminya Aster.

Aster menjatuhkan rahangnya, ekspresi yang cukup konyol. Rupanya Fatih lebih cepat menguasai suasana.

Lelaki dua puluh tiga tahun itu menatap adik beserta istrinya yang masih terkejut.

Ide jahil muncul dari benak Fatih, secepat kilat ia mencium pipi Aster dengan tidak mempedulikan posisi Fida yang kini juga terlihat kaget.

"Astaghfirullah Mas Fatih, Mbak Aster, jangan berbuat adegan dewasa didepan anak kecil. Nggak baik," Fida menutup matanya sambil beristighfar berkali-kali.

Sedangkan Aster semakin terkejut, jantungnya memompa histeris. Lain halnya dengan pelaku yang membuat kedua gadis di ruangannya terkaget-kaget.

Fatih malah tertawa menikmati ekspresi Aster, dan Fida.

"Mas bagi duit dong," percayalah itu bukan suara Aster, Aster tidak seberani itu untuk meminta uang kepada Fatih. Fida lah pelakunya.

"Kartu ATM kamu kemana Fid?," Tanya Fatih sembari membuka dompetnya.

"Masih ada Mas, tapi Fida maunya uang cash."

"Berapa?," Tanya Fatih lagi.

"Cuma seratus ribu buat makan di kantin rumah sakit."

Aster kira Fida meminta uang buat apa, ternyata buat membeli makanan.

Fatih menyerahkan satu lembar uang seratus ribu kepada Fida, dan menyerahkan lima lembar uang yang nominalnya sama kepada Aster.

"Mas ini buat apa?," Aster ragu menerima uang itu.

"Sudah bawa saja," Kata Fatih.

"Ayo Mbak Aster, nanti kalau uangnya nggak habis biar Fida yang habisin."

Fida menarik-narik tangan Aster lagi, dan Aster hanya bisa pasrah mengikuti kemanapun adik iparnya pergi.

"Assalamualaikum Mas," Salam Aster dan Fida berbarengan ketika meninggalkan ruangan Fatih.

Aster tidak menyangka, enam lembar uang seratus ribuan itu benar-benar habis di kantin rumah sakit.

Berbagai macam makanan dan cemilan terus disodorkan oleh ibu-ibu penjaga kantin.

"Duh Mbak Fida, terimakasih banyak nggih sudah ngelarisin dagangan ibu."

"Njih Bu, sami-sami."

"Ini siapanya Mbak Fida toh?," Tanya ibu itu sambil meneliti penampilan Aster.

"Ini Mbak Aster Bu, istrinya Mas Fatih. Kakak iparnya Fida."

"Oalah pak dokter sudah punya istri toh, kalau belum sih niatnya mau saya tembung buat jadi mantu saya," Kata ibu itu dengan sedikit bergurau.

Karena Fida sudah memperkenalkannya, maka kini Aster inisiatif untuk mencium tangan ibu itu.

"Saya Sumini nduk, Mbak Fida tiap kali kesini mesti borong dagangan saya."

Aster hanya mengangguk dan tersenyum canggung.

"Monggo Bu, Assalamualaikum."

Usai mengucap salam, Fida berlalu dari kios kantin Bu Sum.

Aster yang kebingungan pun hanya bisa mengikuti langkah Fida.

Kedua tangan gadis itu membawa kantong kresek berukuran besar yang isinya penuh dengan snak serta kawan-kawannya.

Mereka berbelok-belok menuju sebuah bangsal yang ternyata berisi anak-anak yang mengidap kanker.

"Mbak Fidaaa..." Anak-anak itu mulai berteriak memanggil nama Fida.

Rupanya Fida sudah cukup terkenal disini.

Aster terenyuh, ternyata uang itu Fida gunakan untuk menyenangkan hati anak-anak ini.

Memang harusnya kita tidak boleh cepat-cepat mengambil kesimpulan.

Karena di setiap perbuatan pasti ada alasan.

Fida mengenalkan Aster sebagai istri dari dokter Fatih. Entah apa yang dilakukan dua bersaudara itu hingga menjadi sepopuler ini.

Aster harus banyak bersyukur karena dipertemukan dengan keluarga Fatih.

Mrs. Aster [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang