16.

6.6K 702 7
                                    

Fatih terbangun dari tidurnya, lelaki itu menengok jam dan ternyata masih pukul dua dini hari.

Ia menyingkirkan tangan kecil sang istri yang dari semalam senantiasa melingkari pinggangnya.

Lelaki itu berbalik menghadap sang istri, dirapikan anak rambut Aster yang menghalangi wajah cantik istrinya.

Jejak-jejak air mata menghiasi raut yang biasanya tersenyum, hati Fatih mencelos. Mengapa ia begitu tidak percaya pada Aster?.

"Maafkan Mas Fatih ya Aster, maafkan suamimu ya istriku, saya tidak bermaksud membuatmu menangis, tapi entah kenapa setiap melihat benda sialan itu saya selalu terbawa emosi."

"Jangan menangis lagi ya As, kalau kamu sedih, saya juga sedih. Saya tidak pernah terpaksa menikah dengan kamu, malah mungkin sebaliknya, kamu yang terpaksa menikah dengan saya. Kamu masih belia As, saya yang lebih tua dari kamu seharusnya bisa bersikap lebih dewasa. Apalagi saya baru bertambah usia, sekali lagi maafkan saya ya As."

Tidak ada sahutan dari gadis cantik yang kini didekapnya.

"Kamu mau tau satu rahasia saya As?," Tanya Fatih yang seperti berbicara dengan angin.

"Anna Uhibbuka Fillah istriku. Saya mencintaimu karena Allah, saya harap kamu bisa membuka hati kamu untuk saya."

Fatih mengecup kening istrinya, kemudian dilanjut mengecup kedua mata, dan kedua pipi, lalu pandangan Fatih tertuju pada bibir merah jambu Aster, bibir yang semalam menyangkal mati-matian bahwa dirinya tidak hamil. Fatih ingin mengecup bibir itu, namun ia sadar, ia belum mendapat persetujuan dari sang istri. Eh, memang harus mendapat persetujuan ya? Bukannya Aster istrinya? Bukankah semalam Aster berkata bahwa Fatih berhak atas tubuh Aster? Ah entahlah, Fatih bingung. Tapi tetap saja Fatih tidak jadi mengecup bibir istrinya.

Tubuh Aster menggeliat, segera Fatih melepaskan dekapannya. Rupanya tindakan Fatih itu salah fatal, selimut yang dikenakan Aster melorot.

Yang semula ia pening karena menahan diri untuk tidak mengecup bibir Aster, kini ia semakin pening karena melihat belahan Aster.

Demi apapun, sebagai laki-laki normal ini sangat menyiksanya. Fatih tau Aster belum siap, ia juga tidak ingin memaksa Aster. Ia ingin Aster melakukannya atas dasar cinta.

Namun, ketika mendengar Aster hamil rasanya ia seperti tertindas batu berton-ton. Fatih juga tidak tau mengapa ia menuduh istrinya hamil, sedangkan testpack itu membuktikan bahwa ada seseorang yang positif hamil, ditambah Mamanya berkata bahwa Aster memang mencoba alat tes kehamilan itu.

Fatih ingin membenturkan kepalanya ke tembok, ia benar-benar pusing saat ini.

Ia memilih bangkit dan membenarkan selimut istrinya hingga sebatas leher.

Lelaki itu memunguti gamis, dan kerudung Aster yang tergeletak sembarangan di lantai.
Mungkin, mandi air dingin pukul tiga pagi tidak terlalu buruk. Karena bagaimanapun ia harus meredam gairahnya.

•••

Aster terbangun dari tidurnya, ia tersentak kaget ketika adzan subuh sudah berkumandang. Lebih kaget lagi ketika ia membuka selimutnya, mendapati tubuhnya yang hampir telanjang.

Aster merasa ditolak, sebegitu tidak menggodanya kah dirinya hingga Fatih menoleh pun tidak mau? Atau Fatih jijik terhadap Aster karena masalah testpack itu? Demi apapun, Aster masih perawan.

Mengenyahkan masalah yang membuatnya pening, gadis itu bangkit untuk mencuci muka dan berwudhu, masalahnya dengan Fatih bukanlah masalah besar karena ia masih memiliki Allah yang Maha Besar.

Kau tau? Bila tak ada bahu untuk bersandar, masih ada tanah untuk bersujud. Aster paham betul kalimat itu, karena kini Aster merasakannya. Gadis itu merasakan tangan illahi tengah memeluknya, memberikan dekapan hangat yang menghangatkan hatinya. Membuat debar yang berdebur untuk kembali tenang menguasai suasana.

Usai menuntaskan kewajibannya, Aster memilih mandi. Selesai mandi, barulah ia keluar kamar.

Sebenarnya semalam Aster bermimpi bahwa Fatih mengungkapkan rasa cintanya, sayang itu hanya mimpi. Karena ketika terbangun, ia tidak mendapati sang suami disisinya.

Aster mengamati ruang keluarga dirumahnya, tepatnya rumah yang dibangun Fatih untuk istri dan anaknya.

Lampu belum menyala, ruang tamu pun masih terlihat gelap. Memang biasanya selepas subuh, Aster akan menghidupkan lampu, lalu dimatikan setelah matahari nampak lebih cerah.

Dari ruang tamu, gadis itu berjalan menuju jendela. Diintipnya luar rumah dari celah korden, sepi seperti biasa.

Kemana Fatih pergi?, Aster menghela nafas. Ia memutuskan untuk ke dapur saja, mungkin nanti Fatih pulang lalu lapar? Jadi suaminya itu bisa memakan masakannya.

Gadis itu memekik ketika melihat sosok jangkung dengan koko biru muda dan sarung kotak-kotak tengah berkutat dengan bahan masakan disamping kompor.

"Mas Fatih ngapain?," Tanya Aster sambil berjalan menghampiri suaminya.

"Masak," Kata Fatih singkat.

Aster hendak mengambil alih pekerjaan Fatih, namun tangannya dicekal oleh lelaki itu.

"Saya saja."

Aster menghela nafas, memang suara Fatih tidak sedingin semalam, tapi tetap saja kalimat yang dilontarkan lelaki itu begitu singkat.

Aster memeluk tubuh sang suami dari belakang, ia juga merasakan bahwa punggung kokoh itu sedikit menegang.

"Mas sholat di masjid?", Tanya Aster sambil tetap melingkarkan tangannya di pinggang Fatih.

Tidak ada sahutan, lelaki itu hanya menggumam.

"Mas Fatih duduk aja, biar Aster yang lanjutkan."

Fatih membalik tubuhnya, ditatap wajah ayu istrinya.

Tanpa berbicara, ia menarik tangan Aster keluar dari dapur dan mendudukkannya di ruang keluarga. Ia menyetel televisi yang menampilkan kartun bocah perempuan dan monyetnya.

"Tetap disini, dan jangan ganggu saya."

Aster menghela nafas lagi, Fatih masih marah rupanya.

Tak lama kemudian masakan Fatih jadi, ia memanggil Aster untuk makan bersama.

"Maaf, saya begitu emosi semalam. Tolong maafkan saya."

Gadis berkerudung merah marun itu mendongak, "Aster juga minta maaf Mas."

"Oke, makan yang banyak. Karena bagaimanapun bayi kamu juga butuh nutrisi."

Hancur sudah ekspektasi Aster yang berharap bahwa Fatih mau mempercayainya.

Mrs. Aster [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang