7.

9K 918 12
                                    

Sesuai dengan keputusan bersama, maka hari ini Fatih dan Aster resmi berpindah ke rumah yang disiapkan lelaki itu jauh-jauh hari.

Berhubung kemarin sudah berbelanja yang pada akhirnya diwarnai dengan aksi ngambek Aster, kini Fatih dan istrinya bisa bersantai sejenak di rumah barunya.

Senyum geli tidak lepas dari lelaki jangkung berusia dua puluh tiga tahun yang sejak tadi diam-diam mengamati istrinya.

Fatih, ia bersembunyi dibalik pintu kamar yang sedikit terbuka, menampilkan ekspresi sang istri yang bibirnya sedang di manyun-manyun kan menghadap ponsel.

Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara, akhirnya lelaki itu keluar dari tempat persembunyiannya.

Mungkin Aster terlalu kaget, hingga ponsel digenggaman-nya hampir terjatuh.

"Anjir bangke kaget," reflek Aster tanpa sadar.

Gadis itu merutuki mulutnya.

Ya, sampai detik ini Aster masih gadis. Fatih belum mencampurinya.

"As?," Panggil Fatih yang selanjutnya mendudukkan dirinya disamping Aster.

"Iya mas?."

"Bibir kamu belum pernah dicium ya?."

Aster mendelik, pertanyaan macam apa itu?.

"Sini saya cium," Fatih merapatkan tubuhnya ke tubuh Aster, menarik tengkuk gadis itu supaya lebih mendekat.

Fatih mengamati wajah Aster yang semakin memerah, lelaki itu menahan tawa serta menahan diri mati-matian untuk tidak mengecup bibir merah muda yang beberapa saat lalu mengeluarkan umpatan.

Tidak ada pergerakan sama sekali, mereka berdua tetap anteng dalam posisi seperti itu.

Lama-lama pinggang Aster capek juga, akhirnya ia melepaskan diri dari sang suami. Menjaga jarak se-aman mungkin demi kedamaian jantung dan hatinya.

"wailul likulli humazatil lumazah."

"Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela, (QS. Al-Humazah 104: Ayat 1).
Besok lagi kalau kaget diusahakan mengucap Astaghfirullahaladzim ya As."

Kini Aster paham kesalahannya. Ia mengangguk dan tersenyum kaku ke arah suaminya.

Fatih ikut tersenyum, merapatkan kembali tubuhnya ke sang istri lalu mengelus pucuk kepala Aster dengan sayang.

"As kamu nggak kuliah?."

Aster menoleh cepat menatap manik mata suaminya.

"Nggak mas, buktinya ini lagi berduaan sama mas."

"Saya juga tahu As, maksud saya kamu nggak berkeinginan buat kuliah gitu?."

Aster terlihat berpikir, "kemarin sih pingin Mas, tapi kalau sekarang udah enggak. Otak Aster macet tahu Mas."

"Mas Fatih nggak kerja?," Kini giliran Aster yang bertanya.

"Nggak, buktinya saya disini, lagi ngobrol sama kamu."

Aster mencebik, "balas dendam ini namanya."

Fatih terkekeh, "saya hanya menirukan kamu As, tidak berniat balas dendam."

"Mas?" Panggilan Aster itu menghentikan tawa Fatih.

"Iya As?"

"Mas Fatih kemarin gagal nikah?,"

Jantung Fatih seperti diremas kencang, tidak menyangka akan mendapat pertanyaan yang mengejutkan dari sang istri.

Muka lelaki itu mendadak berubah pias. Mengeraskan otot rahangnya sepersekian detik.

Aster menyadari itu, namun Fatih begitu cepat merubah mimik wajahnya.

Lelaki itu tersenyum tenang, "Kata siapa? Pernikahan saya berhasil. Buktinya kamu sekarang jadi istri saya."

Yah sayang sekali, Aster tidak melihat senyuman Fatih. Gadis itu lebih memilih mengamati netra hitam milik lelaki yang sudah sah menjadi suaminya itu.

Memang benar, mata adalah jendela hati. Aster melihatnya, jelas ia tahu ada sesuatu yang mengganjal dibenak Fatih.

"Iya sih mas benar."

Akhirnya Aster memilih mengikuti permainan Fatih. Ia menekankan kepada dirinya sendiri untuk tidak bermain-main dengan hati.

Aster tahu persiapan pernikahannya begitu cepat. Ia yakin bahwa sebelumnya suaminya sudah memiliki calon, Fatih mewawancarainya di percetakan hanya untuk mengubah nama mempelai wanita di undangan saja.

Setidaknya itu spekulasi yang dibenarkan oleh otak dan hati Aster untuk saat ini.

"Kamu kenapa tanya itu As."

Kini Aster yang gelagapan mendapat pertanyaan dari Fatih, "Eh-em anu Mas, cuma mau tahu aja."

"Kalaupun benar saya pernah gagal menikah, maka artinya dia masa lalu As, kamu istri saya. Sekarang perjalanan saya menempuh hidup akan saya lalui denganmu, bukan dengannya. Paham Nyonya Al-Haddad?."

Aster tersenyum miring, bagaimanapun dia masih remaja tanggung. Wajar labil dan kekanakan. Gadis itu mengiyakan perkataan Fatih, namun ia juga tidak mempercayai sepenuhnya.

Aster paham betul jawaban yang dilontarkan Fatih adalah kalimat penenang, ia juga tidak ingin larut dalam euforia semu. Ia takut terjebak, dan akhirnya berakhir memilukan.

Bahasa gaulnya sih -Ambyar-

Aster melirik Fatih yang bangkit dari posisinya.

"Mau kemana Mas?."

Fatih berhenti sejenak menoleh kepada Aster, "Mau masak mie instan."

Mau tak mau Aster ikutan bangkit, "Biar Aster aja yang masakin."

Baru beberapa langkah, Aster berhenti karena mendengar tawa Fatih.

Gadis itu memandang Fatih aneh dan heran, mengapa lelaki itu tertawa? Hal apa pula yang ditertawakan olehnya?.

"Kok ketawa?," Tanya Aster.

"Saya kira kamu nggak bisa masak mie instan As, makanya tadi saya inisiatif masak sekalian buat kamu juga."

Aster kesal pastinya, penghinaan macam apa ini?. Tentu saja Aster bisa masak mie instan.

Faris adiknya Fatih yang masih kelas dua sekolah dasar saja sudah bisa memasak mie instan sendiri.

"Gini-gini Aster pintar masak tahu Mas," kata Aster sembari mengambil dua bungkus mie instan.

Karena dirundung penasaran, Fatih mengekor sang istri yang kini terlihat cekatan memindahkan bumbu kedalam mangkuk.

"Oh ya? Memangnya kamu bisa masak apa saja As?."

"Aster bisa masak soto, rendang, opor, seblak, kari ayam, empal gentong emm... pokoknya banyak deh Mas."

Fatih ternganga, ia sedikit tak percaya bahwa sang istri jago memasak, "wah kapan-kapan boleh tuh Mas dimasakin."

Aster mengacungkan jempolnya, "Siap Mas, kapan-kapan Aster masakin, tapi dalam bentuk mie instan. Soalnya kalau masakan aslinya Aster masih belum bisa."

Fatih mendengus keras-keras. Tidak menyangka ternyata Aster mengerjainya.

Aslinya sih ingin ngambek tapi nggak jadi deh, soalnya mie instan kuah plus telur dimasak Aster sudah jadi. Kan sayang kalau nggak dimakan.

Mrs. Aster [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang