***
"Axel!?"
"Kenapa lu masih kerja? Sedangkan lu masih kayak begitu?" tanya Axel ke intinya.
"Urusannya apa sama lu?" tanya Maeda balik.
Mendengar pertanyaan Maeda, membuat Axel semakin geram.
"Gue khawatir sama lu, Maeda! Lu gak ngerasain gimana rasanya jadi gue yang selalu gelisah tiap malem semenjak tau lu kerja disini! Gue gini juga karena gue---" belum sempat ia melanjutkan kata-katanya, ia teringat ada Deva yang masih menyimak pertikaian mereka.
"Cih..." Axel mendecih.
Deva yang berusaha bersikap tenang pun akhirnya mewakili Maeda untuk angkat bicara.
"Gini bro, sebenernya gue gak mau ikut campur urusan kalian. Tapi, Maeda kerja gini tiap malem buat menghidupi kebutuhan keluarga nya. Ya gue bukannya mau merasa sok tau, tapi lu harusnya bisa ngertiin nasib sahabat lu sendiri, karena yang tau lebih tentang Maeda cuma lu" ujar Deva dengan bijak. Agar tidak terjadi baku hantam.
"Terus ngapain lu ada disini?" tanya Axel dengan sarkas kepada Deva.
"Gue cuma ngopi, sebagai pengunjung. Kayak yang lain" jelas Deva sambil menunjuk ke arah dalam cafe.
"Udahlah, Xel. Gue gak mau ketauan ribut lagi sama atasan gue. Gue yang malu" akhirnya Maeda berusaha mengakhiri situasi mencekam ini.
"Mae, mending lu balik gih sekarang. Jangan terlalu kemaleman, takut lu kenapa-napa" titah Deva yang diangguki Maeda. Maeda pun meninggalkan kedua pria dengan tubuh lebih jangkung dari nya.
Axel tetap menatap Deva dengan wajah sarkas. Deva berusaha untuk tetap terlihat tenang.
"Sekarang apa?" tanya Deva kepada Axel. Axel mengabaikannya.
"Kita perlu bicara kayaknya. Ikut gue, kita ke cafe sebelah" ajak Deva kepada Axel. Awalnya Axel mau menolaknya, tapi karena ini bersangkutan dengan orang yang ia sayangi akhirnya ia setuju.
.
.
.
.
.
Keesokan harinya."Nek, Maeda berangkat ya" pamit Maeda kepada sang nenek.
"Iya nak, hati-hati ya" kata sang nenek. Maeda akhirnya keluar dari dalam rumahnya dan mengambil sepedanya.
Keadaan fisik Maeda mulai membaik, walau masih banyak lebam di bagian-bagian tertentu. Tapi setidaknya ia mulai bisa bergerak dengan bebas.
Saat hendak mengeluarkan sepedanya, ia dikejutkan dengan kedatangan Axel.
"Mae?" tanya Axel dengan nada suara yang lembut. Tapi Maeda tak menggubrisnya.
"Lu masih marah?" tanya Axel sekali lagi. Tapi Maeda tetap tak memperdulikan nya.
"Mae..." panggil Axel.
"Gue gak mau lu babak belur disini. Lebih baik sekarang lu pergi" itulah kata-kata tajam yang keluar dari mulut Maeda.
"Tapi Mae..."
"Tapi apa? Lu mau ngelarang gue buat sekolah juga? Iya? Xel, denger ya, gue bukan siapa-siapa lu, begitu juga lu di mata gue. Jadi, tolong berhenti mengekang gue untuk melakukan hal yang gue mau. Termasuk untuk mencari nafkah. Minggir" Axel hanya bisa terbungkam dengan apa yang dilontarkan Maeda.
Dan sekarang Maeda telah meninggalkan Axel di depan rumah Maeda.
Xel, denger ya, gue bukan siapa-siapa lu, begitu juga lu di mata gue.
Jadi, tolong berhenti mengekang gue untuk melakukan hal yang gue mau.
Kata-kata itu terus terngiang di kepala Axel, dan tentu saja rasanya begitu menyakitkan saat mendengar nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alasanku, Maybe? (Tamat)
Novela JuvenilWARNING: CERITA BxB/HOMO/SEMACAMNYA!!!! 🔞🔞🔞 HOMOPHOBIC DILARANG KERAS UNTUK MEMBACANYA!!! ❌❌❌ . . "Sekarang gue tanya, hubungan kita ini apa?" tanya pria yang lebih tinggi. . "Entah... temen? Maybe?" jawab si pria yang lebih pendek dari si jangku...