Happy reading. Enjoy:)
Part ini banyak galaunya, karena authornya juga lagi galau hari ini. Hehe.
Akhirnya aku dan Mark antre bersama. Setelah selesai kami duduk dulu di depan supermarket, ada tempat buat duduknya gitu. Kami mengobrol banyak hal malam itu, sampai aku lupa pulang.
Pertemuan tidak sengaja itu ternyata bermanfaat juga, aku jadi ada waktu mengobrol berdua dengan Mark tanpa ada gangguan.
"Kenapa yang waktu itu kamu pulang duluan?" Mark bertanya tentang hari waktu kita ke mall bersama. Iya, aku dan Jisung pulang berdua naik taksi, sedangkan Mark pulang berdua dengan Yira.
Aku meringis kecil sambil berusaha mencari alasan yang pas. Tidak mungkin kan aku bilang kalau aku tidak suka Mark semobil dengan Yira. Bisa hilang harga diriku di depan Mark. Aku tidak cemburu, awas saja kalau kalian mengataiku cemburu.
"Anu ... itu Jisung sakit perut jadi kita pulang duluan." Aku tertawa canggung, maafkan aku, Sung. Aku mengorbankan namamu demi kebaikan.
"Oh, aku kira kamu cemburu."
Apa tadi dia bilang? Cemburu? Maaf aku tidak cemburu padanya, untuk apa aku cemburu? Buang-buang waktu saja.
Dengan ekspresi menahan kesal aku menonjok lengannya pelan. Dia tertawa kecil seraya menghindar, kami kembali tertawa bersama.
"Jira, kamu inget gak yang waktu di rooftop?" tanya Mark santai. Aku berpikir sejenak mengingat kejadian apa di rooftop, setelah mengingat apa yang terjadi aku reflek menutup mulut. Malu sekali mengingat kejadian itu.
Masih ingat kejadiannya? Waktu itu aku membawa Mark ke rooftop, lalu mengakhiri hubungan palsu kami. Tapi Mark malah mengungkapkan persaannya, dan berkata kalau dia menganggap itu semua serius.
Aku berpikir, apakah Mark akan mengulang kejadian waktu itu? Kalau iya, aku harus menjawab apa? Aku tidak bilang aku tidak suka Mark, karena setiap melihat Mark dengan perempuan lain, aku merasa tidak suka. Mungkin bisa dikatakan cemburu?
"Terus?" tanyaku.
"Nabrak!" jawabnya dengan tidak tahu diri.
"Heh! Jangan bercanda, aku serius!" Aku menggertak pelan. Dia tertawa sekilas kemudian mengangguk. Katanya dia juga serius, tapi lihat jawabannya barusan. Menyebalkan, bukan? Dasar Mark Lee, si polos yang menyebalkan.
"Will you ...."
"Mark! Jangan bercanda!" rengekku. Dia kembali tertawa.
"Siapa yang bercanda? Aku serius, s-e-r-i-u-s!" Dia menekan ucapannya, membuatku terkesiap. Kalau Mark benar-benar serius, aku harus menjawab apa nanti? Aku bingung.
"Will you be mine?"
Tatapanku terpusat padanya, tertegun. Dia benar tidak sedang bercanda 'kan? Tolong katakan kalau Mark sedang bercanda, tolong bilang iya!
Mark balik menatap dari balik kacamata bundarnya. Tatapan meminta jawaban, tatapan yang membuat jantungku kian berdegup kencang.
"M-mark," lirihku.
"Will you?" Dia bertanya dengan nada tidak sabar.
"A-aku nggak t-tau," jawabku terbata.
Dia tersenyum lebar, tangannya terulur mencubit pelan hidungku seraya berbisik, "Iya atau nggak, nggak ada jawaban nggak tau."
Ku tundukan kepala dalam-dalam, sambil berpikir aku harus memberi jawaban apa. Terlalu banyak hal yang membuatku tak mampu kenjawab.
Satu hal yang paling berpengaruh adalah sebuah tabir penghalang yang berupa perbedaan keyakinan.Tak bisa membohongi diri sendiri, aku juga menyukai seorang Mark Lee, bahkan sejak dulu.
"Mark, bukannya aku nggak mau. Tapi kamu tau sendiri 'kan kalau kita ... berbeda," ujarku tanpa berani menatapnya.
Dia mengalihkan tatapannya, raut wajahnya yang semula cerah kini mulai muram. Kesenduan itu tampak membayang, bukan hanya dalam dirinya tapi juga diriku.
"Kita jalani dulu. Kalau pada akhirnya ternyata kita tetap gak sejalan, yaudah." Mark mengusulkan pendapatnya.
Sedang aku mendesah pelan, ku ambil barang belanjaanku lalu berlalu. "Lanjut chat, udah malem," ucapku seraya terus melangkah, meninggalkan dirinya yang pastinya sedang dihantui rasa kecewa.
Bukan apa, ini sudah malam. Kakakku pasti akan marah padaku, tadi dia menitipkan barang dan aku malah pulang terlambat. Lebih dari terlambat.
Sepanjang perjalanan ku kayuh sepeda tanpa rasa semangat. Angin malam berhembus begitu saja tanpa ku perhatikan. Langin Seoul nan indah tak lagi mampu menarik perhatianku. Karena segenap perhatian dan pikiranku, kini sudah disita oleh laki-laki tampan bermarga Lee.
Laki-laki lugu yang mampu membuatku kadang tersipu, laki-laki yang pernah menjadi korban karena keegoisanku.
Laki-laki yang memintaku menjadi kekasihnya, tanpa menghiraukan tabir perbedaan yang terpampang nyata. Laki-laki egois yang membuatku ingin egois juga.
Ini adalah kali ke-tiga Mark menyatakan perasaannya, bedanya kali ini dia lebih berani. Bahkan memintaku menjadi pacarnya. Astaga, belajar dari mana dia semua ini? Ke mana Mark-ku yang polos dan manis?
"Beli shamyang-nya ke Amerika, ya? Lama banget!" Baru saja membuka pintu, seruan kak Yunna sudah menyapa telinga. Kelihatannya dia sudah sangat kesal, pasalnya aku terlambat hampir satu jam. Ini semua gara-gara bertemu Mark. Coba kalau tidak, mungkin aku sudah pulang sejak tadi tanpa terlibat obrolan yang membuatku kebingungan setengah mati.
Ku sodorkan kantong kresek berisi satu buah shamyang chiken hot pada kak Yunna. Tentu saja tanpa membalas seruannya, sekarang aku masih terlalu malas untuk berdebat. Aku sedang dilanda kebingungan.
Ku hempaskan diri ke kasur empuk, menghela napas panjang nan berat. Memgeluarkan kebingungan serta kegelisahan yang rasanya memenuhi rongga dada.
Mata mulai terpejam, tidak ada niatan untuk tidur. Hanya saja sedang berusaha menenangkan diri sambil mencari jawaban yang sekiranya pas.
Setelahnya aku berjalan mengambil ponsel yang sedang di charger di atas nakas. Ku buka aplikasi chat berwarna hijau kemudian mengetikan sesuatu. Anak itu rupanya anak itu sedang online, buktinya dia membalas pesanku dengan cepat.
Ku tarik napas beberapa kali lalu menghembuskannya pelan. Dengan rasa yakin jariku mulai menari di atas layar ponsel. Mengetikan kata sebagai jawaban atas permintaan Mark. Ku harap ini adalah jawaban terbaik, semoga saja. Tanpa melihat balasan Mark, ku matikan data seluler kemudian melempar ponsel yang untungnya masih mendarat mulus di atas kasur.
Padahal ku harap ponsel tersebut terlempar jauh kemudian membentur sesuatu dan ... mati.
"Aaa ... semoga aku nggak nyesel dengan jawabanku sendiri, ya Allah."
Aku menyembunyikan wajah di balik bantal, mengerang pelan menyalurkan rasa gelisah yang kian menjadi. Ku lihat ponsel masih bertengger di sebelahku, ingin rasanya mengecek balasan pesan Mark. Tapi ... aku takut. Siapa pun ... tolong aku. Help me!
Tbc.....
............Ada yang bisa nebak Jira jawab apa?
Ngomong-ngomong ini tuh part paling pendek yang aku publish. Gtw lah lagi galau gua malam ini. Pengen nangis aja rasanya, huhuhu.Nih cerita udah mendekati end. Seneng banget cerita gajelas ini akhirnya mau tamat juga.
Sad end or happy end?
Jan lupa mampir di work aku yang satunya "2 Pilihan" ceritanya sad loh. Khusus bat buat pecinta cerita sad.
I love menyiksa diri_-
KAMU SEDANG MEMBACA
Perbedaan [ On Going ]
Fanfiction[Judul sebelumnya: Cinta & Agama] Ini bukan cerita tentang fakboy bertemu fake nerd, bukan tentang badboy bertemu badgirl. Bukan pula tentang CEO dengan skertarisnya. Hanya sebuah kisah cinta dari dua orang yang berbeda keyakinan. Sebuah kisah cinta...