REGRET - 2

22K 1.5K 47
                                    

***

Menatap nanar wajahnya di depan cermin kamar mandi, Sera semakin menguatkan genggamnya pada benda kecil berbentuk persegi panjang yang masih berada di tangan kanannya. Sementara tangan kiri meremas ponsel. Tidak peduli rambutnya yang acak-acakan, bahkan matanya yang telah memerah karena menghabiskan waktu dengan air mata selama berjam-jam. Beruntung karena ibu dan ayahnya sedang bekerja, jadi dia bisa menangis sepuasnya tanpa khawatir jika orang tuanya bisa saja memergokinya.

Tadinya dia ingin memilih cuek dengan beranggapan bahwa dia benar-benar sakit, tetapi ketakutan itu terus menghantuinya. Diam-diam dia pergi ke apotek untuk membeli testpack, tidak hanya satu tapi tiga sekaligus. Dan sialnya, semua menunjukkan hasil yang sama.

Positif.

Dan sekarang, ketakutan itu semakin menjadi. Bagaimana jika orang tuanya tahu nanti, atau bagaimana dia bisa menyembunyikan perutnya yang pasti kian membesar. Terlebih, dia belum merampungkan bangku SMA. Bagaimana dengan masa depannya.

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif. Coba--"

Sera kembali menurunkan ponsel dari telinga saat nada operator lah yang menjawab panggilannya untuk kesekian kali. Sena sudah sangat sulit untuk dihubungi akhir-akhir ini. Dia butuh lelaki itu untuk bertanggung jawab. Tapi jika Sena benar-benar pergi, apa yang harus dirinya lakukan?

Membuang tespack ke tempat sampah, Sera bergegas keluar dari kamar mandi kemudian mengambil sweater serta dompet. Dia harus ke rumah Sena. Siapa tahu lelaki itu belum pergi dan dia bisa membicarakan mengenai keadaannya saat ini. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya jika Sena benar-benar meninggalkannya.

Setelah sampai di depan pintu gerbang rumah Sena dan membayar ojek online yang mengantarnya, Sera mencoba menekan bel berulang kali. Berharap masih ada seseorang yang membukakannya pintu. Berharap Sena masih berada di dalam sana dan akan menepati janjinya.

Ting. Tong. Ting. Tong.

"Sebentar"

Mendesah lega karena mendengar suara seseorang dari balik pintu gerbang, Sera lantas menegapkan tubuh, menatap penuh harap pada gerbang yang menjulang tinggi dihadapannya yang perlahan digeser oleh sumber suara.

"Maaf, Anda siapa?"

Sera tersenyum ramah pada wanita paruh baya dihadapannya. Kalau dia perhatikan, sepertinya bukan Ibu Sena. Mungkin bibi yang pernah Sena katakan. Mengingat usianya yang terlihat lebih tua dari ibunya serta gaya berpakaian juga tatapan rambut yang digelung menggunakan karet gelang.

"Saya temannya Sena, maaf apa Sena ada di rumah?"

"Den Sena sama keluarganya sudah pindah ke Jakarta. Baru berangkat semalam"

Bahu Sera kontan merosot. Pandangannya juga kian sayu. Bahkan tubuhnya sempat terhuyung yang untungnya segera ditahan oleh wanita paruh baya dihadapannya.

"Non nggak apa-apa? Atau mau masuk dulu? Biar nanti ibu buatin teh"

"Nggak apa-apa bu. Sena.. Apa dia akan kembali kemari?"

Mendapat jawaban berupa gelengan kepala, mendadak kepala Sera terasa pening.

"Rumah ini mau di jual. Ayahnya Den Sena berhasil mendirikan perusahaan di Jakarta, makanya sekeluarga pindah kesana. Ini ibu cuma diberi tugas buat bersih-bersih sampai rumahnya ke jual. Memangnya Den Sena nggak ada bilang?" Sera hanya menggeleng lemah. "Bu, jangan bilang Sena ya kalau saya kemari" ucapnya sebelum pamitan pergi.

REGRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang