Waras diterima dengan baik. Namun sebelum dia diperkenankan melangkah lebih lanjut dan diklaim sebagai murid padepokan terlebih dahulu dia disuruh menceburkan diri di sebuah kolam dengan air kehijauan. Ada lima orang yang sudah berendam di situ. Tiga laki-laki dua perempuan. Kesemuanya telanjang bulat.
"Berendamlah tujuh hari tujuh malam." Kata Ki Jugo, siluman soang yang menyambutnya tadi. Dalam wujud manusianya, Ki Jugo adalah seorang lelaki tua. Mengenakan sorban ala kadarnya. Pakaiannya putih-putih. Pakai sendal jepit dengan alas kayu. Namun gerakannya seolah tanpa suara. Tubuhnya kelihatan ringkih selayaknya kakek-kakek dimakan usia. Tapi jangan salah, dia bisa menjatuhkanmu sekali jentikan jari. "Berendamlah. Biar kolam ini yang menentukan niat tulusmu menjadi siluman. Jika sedikit saja ditemukan keraguan dan itikad tidak baik, yakinlah, kau tak akan bisa keluar dari kolam."
Waras mengangguk saja.
Lima orang yang sudah di kolam, berendam dengan jarak dua meter satu sama lain. Ya, kolam penentu isi hati itu cukup lebar untuk disebut kolam. Semestinya danau. Tampak salah satu laki-laki menggigil hebat. Kulitnya sudah pucat. Sementara yang lain masih gigih, muka mereka serius, meski tak bisa menyembunyikan gigi yang bergemeletuk. Waras langsung melepas kaos oblong dan jins belelnya lalu mencemplungkan diri tanpa ragu. Ki Jugo tersenyum simpul. Kemudian berbalik arah.
Empat orang yang gigih tidak merasa terganggu dengan hadirnya Waras. Satu yang hampir limbunglah yang akhirnya dibawa tenggelam. Ada pusaran air yang menelannya. Dia meraung-raung. Waras dan yang lainnya tidak mengacuhkan. Pusaran air menghilang dan Waras sempat melihat apa yang ada di dasar kolam itu. Tumpukan tulang belulang. Orang tadi baru saja bergabung.
"Dia sudah satu bulan berendam." Kata laki-laki di sebelah Waras.
"Oh begitu. Kau sudah berapa lama?"
"Aku baru tiga hari." Lalu orang itu memejam mata dan meneruskan pertapaan rendamnya.
"Tujuh hari tujuh malam adalah hitungan tersingkat bagi kolam untuk menilai seseorang. Orang-orang seperti kami bisa belasan hari." Tambah seorang perempuan. "Aku sudah delapan hari dan belum diklaim."
"Oh begitu." Waras tak ingin banyak bicara. "Semoga kita mengentas di waktu yang bersamaan."
Perempuan yang satunya mendengus. "Itu tidak mungkin."
Sebelum memulai pertapaan rendamnya Waras mengamati dahulu sekitaran kolam. Di pinggir kolam berjajar pohon jambu biji kering tanpa daun. Melebihi itu adalah pagar bambu mengelilingi kolam luas ini. Melihat ke atas, tampak langit yang tertutupi tabir halimun, jadinya kelihatan selalu malam. Waras menarik napas dan mengembuskan perlahan. Kemudian memejamkan mata. Tenggelam dalam pertapaan yang telah sering dia jalani. Tujuh hari tujuh malam? Itu gampang.
Pertapaan dengan berendam tujuh hari tujuh malam adalah yang paling mudah. Waras pernah bertapa di bawah guyuran air terjun tertinggi di Indonesia. Telanjang bulat. Belasan hari. Dia bisa bertapa dalam air. Di dasar laut. Berjam-jam. Kala itu dia hendak menemui penguasa laut selatan.
Supaya tidak begitu dicurigai, Waras memanjangkan masa pertapaan rendamnya jadi delapan hari. Ketika dia membuka mata, sudah delapan hari delapan malam berlalu, namun berasa sekejap. Dia mengentas berbarengan dengan empat yang lain.
"Aku tarik perkataanku. Ternyata mungkin ya?" kata si perempuan.
Mereka kemudian diberi pakaian pendekar Halimun Soang. Sepaket jubah kain dengan bordir soang terbang menjulurkan kaki menendang. Mereka mengenakannya di tempat. Yang perempuan tak peduli tubuh mereka terpampang jelas. Keduanya adalah perempuan umur tiga puluhan. Sementara dua laki-laki masih remaja menjelang dua puluh.
Ki Jugo meresmikan mereka berlima jadi murid level nol padepokan Halimun Soang. Mereka kemudian diantar oleh murid-murid senior ke tempat menginap. Sebuah balai luas dengan ribuan saka. Murid laki-laki dan perempuan tidur dalam satu atap. Tak ada sekat pemisah. Mereka bebas tidur di sebelah siapa pun. Level kependekaran mereka dibagi menjadi tiga. Sehingga balai besar tempat menginap juga ada tiga. Level nol, level 1, dan level 2. Setelah level 2, mereka baru akan diajari tirakat dan lelaku untuk menjadi siluman. Begitu murid senior level 2 menjelaskan. Warna jubah mereka juga dibedakan. Level nol warnanya putih polos. Level 1 putihnya ada benang abu-abu membentuk corak bulu soang. Level 2 ada warna abu-abunya.
Mereka diijinkan untuk istirahat selama satu hari satu malam. Tidak langsung mengikuti pembelajaran jurus pertama. Waras menggelar selimutnya di lantai, dekat dinding. Perempuan yang bilang tidak mungkin bisa mengentas bersamaan, mendekatinya, minta ijin untuk tidur di sebelahnya. "Aku Nastiti. Namamu siapa?"
Waras menyebut nama aslinya. "Edi."
Nastiti tersenyum. "Salam kenal Edi." Lalu berbaring di sebelahnya. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh Waras.
Waras tidak begitu menggubris. Dia tak ada ketertarikan. Meski diakui, Nastiti cukup manis. Waras memejamkan mata. Memusatkan pikiran, namun tetap dengan menurunkan kadar Pendekar Putih di dalam darahnya. Dia memiliki firasat akan ada yang mendatanginya malam ini.
Dalam lelap tidurnya, tubuh astral Waras bangkit, meninggalkan tubuh fisiknya. Ada yang memanggil tubuh astralnya. Waras mengikuti. Suara-suara samar menenangkan kekhawatirannya kalau-kalau bakal ditangkap dalam wujud astral. Mereka bukan praktisi wujud astral, jadi mereka tidak bisa mendeteksi astral.
Waras diarahkan ke tempat bermunajatnya pendekar Padepokan Halimun Soang. Sebuah tempat berpagar yang di pusatnya terdapat satu pohon berwarna hitam legam. Tak berdaun. Entah pohon apa itu. Di sebelah tempat itu adalah semacam petilasan atau pesarehan leluhur. Waras merasakan sesuatu di tempat yang satunya. Ada relik kuno yang bertuah.
Tarikan panggilan itu semakin kuat. Waras mendarat di hadapan pohon hitam legam itu. Oh jadi itulah pintu mereka bisa masuk ke alam percabangan Watukayu. Masalahnya, siapa orang yang dapat mengakses pintu itu untuk mereka?
Waras kaget, Abah Depe muncul dari pohon itu. Abah muncul seperti orang keluar dari tenda. Menarik resleting dari udara kosong di depan pohon.
"Waras. Abah tak punya banyak waktu. Kita harus bergerak sesegera mungkin. Kau harus mengembalikan ingatan Sonya Ruri. Dia katalis penting bagi Astacakra."
"Sonya Ruri seorang Astacakra?"
"Ya, itu takdir besar yang menantinya. Kau harus menggiringnya menuju takdir itu dengan cara yang benar."
"Baik, apa rencananya, Abah?"
"Kau harus bertukar peran dengan salah satu pendekar yang mengawalnya. Mau tidak mau kita harus menyingkirkannya. Dan menukarmu dengannya. Jika begitu, kau harus memalsukan kematianmu di sini."
Waras mengangguk-angguk. Menyetujui semuarencana itu. Ini adalah sebuah kehormatan besar, bertemu seorang Astacakra!
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTACAKRA #5 PANCA SONYA
FantasíaWaras si Pendekar Putih, dijemput siluman dari masa depan untuk menyusup ke suatu padepokan. Tugasnya adalah untuk mengawasi seorang anak siluman berdarah campuran, Sonya Ruri, agar tidak salah menempuh jalan kehidupan di bawah asuhan antek Kalong I...