SANG KATALIS

47 8 0
                                    

Setelah penjelasan tentang Astacakra, takdir yang sebenarnya, Sonya mengalami kegundahan. Apa yang disampaikan orang padepokan, dan apa yang dikatakan Wati, tak ada satu pun yang familiar. Tak ada satu pun yang dialaminya langsung.

Takdir. Apa itu takdir?

Bukankah Sonya punya pilihan. Takdir, seolah-olah dia tak bisa lari darinya. Kalau Wati dengan mudah mengatakan apa yang disampaikan Padepokan ini padanya adalah kepalsuan, berarti sah sah saja Sonya untuk tidak langsung memercayainya. Sonya perlu bukti yang didapatkannya sendiri.

Di dalam kamar, dia mengamati benda yang disebut Jenglot.

Tampangnya menggelikan memang. Upaya menampilkan keseraman hanya berujung tawa. "Lucu." Rambut panjangnya terasa bukan seperti rambut manusia. Melainkan sapu. Mata merahnya seperti cat merah yang dititikkan di situ. Taringnya, seperti tusuk gigi. Sonya memainkan taring itu.

"Ouch." Jarinya tergores. Darah hijau timbul setitik. Dia hisap langsung.

Sesuatu terjadi. Jenglot itu tiba-tiba bergerak. Tangan menyilang di dada merentang, kukunya merekah. Kepalanya memutar, membuat Sonya kaget bukan main. Dia melempar jenglot itu namun gerakan mendadak si jenglot langsung merangkul lengan Sonya. Sonya menepis jenglot itu tapi cengkeramannya begitu kuat. Kaki ekor ularnya membelit. Mata merahnya berkilat-kilat.

"Kamu itu apa sih?"

Jenglot tidak bisa bicara. Dia langsung melompat ke kepala Sonya dan melilitnya, berubah jadi semacam mahkota. Badan sampai kepala si jenglot berubah jadi kepala ular. Lilitannya begitu sakit. Kepala Sonya berdenyut-denyut. Dia berteriak kesakitan tapi tak ada suara yang keluar. Sonya jatuh, menggeliat di lantai, berusaha melepas mahkota jenglot.

Sampai rasanya kepalanya terbelah. Sakitnya hilang begitu saja. Sonya terengah-engah. Meraih kepalanya, masih utuh, tapi mahkota jenglotnya menghilang. Dia segera berlari ke cermin. "Mahkotanya hilang."

Denging yang menyusul kemudian membuatnya pingsan sampai fajar.

Waraswati dalam tidurnya bertemu kembali dengan Abah Depe, dia diajak ke sebuah pintu. Waraswati masuk ke sana dan dia dibawa melesat ke langit lapis teratas. Di sana dia bertemu cahaya yang menyilaukan. "Baureksa Luhur?"

"Pendekar Putih, apa pun yang terjadi dengan Sonya sang Astacakra kelima, kau jangan ikut campur sampai dia berhasil mengaktifkan sisi silumannya. Akan ada upacara penyempurnaan siluman seisi padepokan itu. Kau biarkan saja. Jangan dihalangi. Karena itu adalah katalisnya."

Tanpa Waraswati mampu menanggapi, dia sudah ditarik kembali ke tubuhnya. Waraswati terbangun dengan terengah-engah. Keringat membanjiri.

Hari esoknya, Waraswati tidak diijinkan untuk menemani Sonya. Karena seharian itu Ki Jugo dan Nyi Ratapi sendiri yang akan mengasuh Sonya. Terutama mereka akan membimbingnya melakukan semadi pengaktifkan sisi siluman. Teringat wangsit semalam, Waraswati tidak menyanggah. Biarkan itu terjadi.

"Aku akan mencari jati diriku sendiri." Ucap Sonya dalam hati. Dia mengikuti posisi Ki Jugo dan Nyi Ratapi dalam duduk semadi. Dia merasa mahkota jenglot tidak hilang ke mana-mana melainkan menyatu dengan dirinya. Wati bilang itu akan mengaktifkan inti dirinya yang sebagai Astacakra. Mari buktikan.

"Kami akan membimbingmu mengaktifkan inti dirimu. Sonya, ketahuilah, kamu sebagai juru selamat, bukanlah manusia biasa. Kamu adalah manusia pilihan yang memiliki anugerah kesaktian seperti siluman. Hanya kamu yang dapat membuka pintu makam Eyang Dayadigda, dan hanya kamu yang dapat membantu kami semua mencapai tujuan mulia kami."

Sonya mendengarkan saja. Mengikuti instruksi-instruksi Ki Jugo.

"Eyang Dayadigda, adalah leluhurmu. Beliau separuh siluman separuh manusia. Kamu memiliki kesaktiannya. Itulah kenapa hanya kamu yang bisa membuka makamnya dan menerima kekuatan warisan Eyang Dayadigda."

Sonya mendengarkan saja. Tidak berusaha memercayai apa yang dikatakan Ki Jugo. Dia sangsi, apakah itu kebenaran? Atau tipu muslihat lagi?

"Sore ini seisi padepokan akan berkumpul di balai besar. Kita akan mengadakan upacara. Kami harapkan kehadiranmu di sana untuk membimbing kami semua. Sebelum itu, kami harapkan kamu sudah bisa mengaktifkan kekuatan yang kamu terima dari Eyang Dayadigda."

Sonya konsentrasi. Berusaha tidak menentang kehadiran pusaka jenglot di kepalanya. Dia mencoba bersinergi dengannya. Selama seharian itu dia merasakan energi merasuki tubuhnya. Rasanya seperti ada sesuatu tak kasat mata yang bergerak-gerak di bawah kulitnya. Menggeliat-menggeliat. Terasa gatal.

Ki Jugo dan Nyi Ratapi sampai menangis terharus melihat perubahan yang dialami Sonya selama bersemadi. Inilah wujud asli Sonya sebagai siluman berdarah campuran. Sonya berubah kulitnya menjadi sisik ular.

Sore hari menjelang pergantian siang menuju malam, seluruh penghuni padepokan telah berkumpul di balai. Mereka bergantian mencukur rambut dan mengumpulkannya di sebuah tungku besar. Selain rambut, mereka juga meneteskan darah. Sonya baru dihadirkan ketika semua sudah melakukan itu.

"Sonya, tusuk jarimu dan tetesan darahmu ke tungku itu." Instruksi Ki Jugo.

Sonya melaksanakannya. Meski tidak tahu apa maksud dari ini semua. Dia ingin melihat apa yang terjadi berikutnya. Ikuti permainan ini.

Dia tusuk jarinya pakai tusuk konde yang tersedia. Butir hijau darah keluar, Sonya meneteskannya ke tungku itu.

Ki Jugo dan Nyi Ratapi kemudian melakukan gerakan tangan dan menembakkan api hijau ke bara di bawah tungku.

Muncul asap hijau besar, membentuk jamur. Semua penghuni padepokan bersujud kemudian.

Tadi malam, Kalong Ireng meminta secara khusus agar Wisana menemuinya di bawah pohon beringin dekat kolam hitam. Dari taringnya dia meneteskan cairan kehitaman ke bola mata Wisana.

"Dengan tetesan ini, kau akan bisa melihat siapa di antara kaummu yang merupakan penyusup. Tangkap dia dan bunuh di tempat."

"Siap, junjunganku Kalong Ireng."

Ketika semua penghuni padepokanbersujud, Wisana bangkit berdiri. Matanya mampu melihat menembus setiap raga. Adasatu raga yang isi jiwanya tak selaras. "Ternyata kau."

ASTACAKRA #5 PANCA SONYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang