"Panggil semuanya!" seru Wisana. Dia berlari menuju kentongan terdekat. Waraswati menyaksikan pintu makam itu seperti memuntahkan cahaya jingga hangat.
Dalam sekejap, para penghuni padepokan berkumpul dengan menggunakan jurus pindah cepat, yaitu berlari selangkah namun yang didapat seratus langkah. Murid level 1 dan 2 yang bisa melakukan itu. Murid baru, mereka mesti berlari sekuat tenaga. Sementara para guru padepokan yang telah berhasil menjadi siluman, mereka berubah dan berkumpul. Salah satu yang berubah jadi gajah, membunyikan belalainya sekencang terompet kampung.
Dari awal mereka bergabung, inilah momen yang dijanjikan. Awal dari perubahan diri menjadi siluman sejati. Mereka memosisikan pada barisan yang sudah diformat sedemikian rupa oleh masing-masing guru. Mereka duduk bersila, seolah semedi. Lalu merapalkan sebaris dua baris mantra.
Cahaya dari pintu makam itu semakin luas dampaknya. Seiring perambatan cahaya jingga nan hangat itu seisi padepokan bersahutan merapalkan mantra. Hingga terjadi getaran di udara. Dedaunan dan ranting ikut bergetar. Daun-daun berjatuhan.
Sonya melihat ada benda yang muncul di atas dada jasad tulang belulang tanpa tengkorak itu. Bendanya kecil. Dia bercahaya terang. Sonya ambil dan terjadilah ledakan cahaya jingga nan hangat itu.
Sejak itu Sonya seperti tidak ingat apa yang terjadi. Yang dia sadari berikutnya adalah dia ada di gendongan Wati, dibawa ke biliknya. Ki Jugo dan Nyi Ratapi berlari mengikuti.
Selagi dibawa ke biliknya, Sonya yang setengah sadar dapat melihat tangannya masih berdenyar jingga. Dia melihat ke sekitar, pelataran makam dan sekitarnya seperti penuh hewan-hewan. "Apa yang terjadi?" tanyanya lemah.
Yang terjadi adalah, setelah empasan cahaya jingga hangat itu, banyak dari murid padepokan mendadak berubah jadi hewan. Mereka mengerang dan menggeliat kesakitan. Sakit yang mendera semakin hebat ketika Sonya lewat di antara mereka. Setelah cukup jauh dari Sonya, mereka tetap kesakitan, namun tidak separah sebelumnya.
Yang terdampak semacam acak. Ada yang pingsan namun masih dalam wujud manusia. Ada yang tetap duduk semedi, baik-baik saja seolah tak terdampak. Bahkan guru-guru yang telah berubah jadi hewan, mengalami kesulitan untuk kembali ke wujud manusia. Sampai akhirnya mereka oleng karena pusing, lalu pingsan. Wisana termasuk yang tidak berubah jadi siluman, namun pingsan.
Mereka yang tidak terdampak jumlahnya tiga puluh persen. Mereka berusaha menolong rekan-rekannya yang terdampak kesakitan. Tabib padepokan telah membuat ramuan untuk mengalami segala macam sakit. Mereka mengangkut rekan-rekan yang pingsan ke balai pengobatan. Sementara yang berubah jadi hewan, mereka ikat dahulu kaki dan tangan, khawatir akan melukai satu sama lain. Lalu dibius.
Kondisi yang menimpa penghuni padepokan berangsur-angsur pulih seiring dengan Sonya meredup cahaya di tangannya. Dia tertidur selama beberapa jam kemudian.
Wati, Ki Jugo dan Nyi Ratapi menjaga Sonya di kamarnya.
"Apa yang terjadi?" tanya Sonya lemah.
"Kamu telah berhasil membuka pintu makam leluhurmu." Kata Ki Jugo.
Wati membantu Sonya duduk. Lalu menyodorkan minum teh jahe hangat.
"Apa yang kamu temukan di peti mati Eyang Dayadigda, Sonya?" tanya Nyi Ratapi.
Sonya mengumpulkan nyawanya dulu, lalu menatap telapak tanganya. Sudah tidak menyala. Dia heran benda kecil yang diambilnya kok tidak ada. "Yang tadi kupegang, ke mana?"
Ki Jugo dan Nyi Ratapi menengok ke Wati.
"Kamu ketika kuangkat tadi sedang tidak menggengam apa pun." Jawab Wati.
"Kau yakin?" tekan Ki Jugo.
"Yakin."
"Apa mungkin terjatuh ya?" kata Sonya.
"Ketika kuangkat Sonya, memang dia seperti sedang menggenggam erat sesuatu. Tapi aku tidak mendengar ada benda jatuh." Lanjut Wati.
"Pintu makam apakah masih terbuka?" tanya Nyi Ratapi.
"Langsung tertutup ketika aku dan Sonya keluar dari sana."
"Hmmm. Ya sudah, besok saja cari lagi. Siapa tahu Sonya dapat membukanya lagi dengan mudah. Sekarang, istirahatlah."
Ki Jugo dan Nyi Ratapi beranjak meninggalkan Sonya. Mereka mesti mengecek kondisi penghuni padepokan yang lain.
"Bagaimana, apa yang kamu rasakan sekarang?" tanya Wati.
"Entahlah. Susah kugambarkan. Aku merasa takut. Penasaran. Sakit. Hangat. Banyak hal." Sonya membuka tutup tangannya. Berharap menyala kembali dan benda yang dia ambil muncul lagi.
"Kamu sempat lihat bentuk bendanya?"
Sonya menggeleng. "Benda itu awalnya tidak ada, tapi muncul dengan cahaya yang sama terang. Terlalu silau."
"Oh, aku yakin kamu sudah mengambilnya. Hanya saja benda itu tidak bisa diperlihatkan begitu saja. Bahkan kepada dirimu sendiri."
"Aku semakin penasaran. Apa yang terjadi kalau aku bisa menggunakan benda itu."
"Tadi sudah kejadian. Para penghuni padepokan ada yang langsung berubah jadi siluman. Sesuai niat mereka datang kemari."
"Mereka jadi siluman?"
"Iya, tapi tampaknya prosesnya tidak semulus yang mereka harapkan. Mereka meronta kesakitan ketika perubahan itu. Mungkin ada hubungannya dengan dirimu yang mencari kebenaran sejati."
Malam itu Sonya tidak bisa tidur. Dia gelisah dan berkali-kali duduk dan membuka tutup tangannya. Berkonsentrasi agar mata dan telapak tangannya menyala. Namun tetap tidak bisa. Sampai akhirnya dia menyerah dan tidur begitu saja.
Dalam mimpinya, Sonya bertemu dengan sebuah benda yang teramat besar. Seperti barisan gunung-gunung yang bergerak layaknya ular. Lalu melingkar dan menyusut berkali-kali sampai serupa mahkota. Mahkota itu melayang dan terpasang di kepalanya. Mata Sonya langsung menyala, menerangi kegelapan di sekitarnya.
Sewaktu pagi menjelang, tanpasadar dia terbangun di depan pintu makam. Di tangannya terasa benda yang hilangitu. Dia buka dan lihat, bentuknya boneka kecil. Sosok tubuh manusia berambut putihpanjang, matanya merah, taringnya panjang, kukunya panjang, lalu sisa tubuhnyamelingkar bagai ekor ular.
![](https://img.wattpad.com/cover/234655621-288-k818178.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTACAKRA #5 PANCA SONYA
FantasyWaras si Pendekar Putih, dijemput siluman dari masa depan untuk menyusup ke suatu padepokan. Tugasnya adalah untuk mengawasi seorang anak siluman berdarah campuran, Sonya Ruri, agar tidak salah menempuh jalan kehidupan di bawah asuhan antek Kalong I...