Ketika Chimon sudah benar-benar lelap, Pluem bersantai di balkon kamarnya yang menghadap ke laut. Seperti malam-malam pada umumnya, ia sulit tidur. Namun malam ini, ia punya bacaan yang harus ia selesaikan. Ia keluar supaya tidak menganggu Chimon. Keputusannya tidak salah, sepoi-sepoi angin bersama ombak yang berdebur pasang membuatnya tenang, terutama setelah kecanggungan yang ia alami dengan Chimon tadi.
Tiba-tiba, sesosok perempuan berjalan menyusuri pantai. Ia mengenalnya dengan baik, sangat baik.
Jan.
Jan mengenakan cardigan hitam tipis dan celana pendek gelap. Kakinya beralas sandal jepit yang lebih mewah dari yang ia pakai sebelumnya. Ia pergi hanya membawa sebuah tas selempang kecil.
Pluem memperhatikan gadis itu. Ini sudah hampir tengah malam. Mau ke mana ia malam-malam sendirian?
Bergegas masuk ke dalam kamar, Pluem mengambil dompet, ponsel, dan kunci rumah. Memakai sepatunya, ia mengikuti Jan dari jarak aman.
Rumah yang mereka sewa tidak jauh dari pusat kota, cukup berjalan kaki selama 20 menit. Hal itu wajar saja dilakukan pada siang hari, tapi pada malam hari? Pluem tahu, di seluruh dunia, seorang perempuan tidak akan pernah aman berjalan sendirian. Tidak adil, memang.
Memasuki pusat kota, suasana semakin ramai. Sebagai destinasi liburan, tentu saja kota ini memiliki kehidupan malam yang gemerlap. Bar-bar terbuka berjajar bersisian di sepanjang jalan, lengkap dengan musik membahana, meja biliar, bahkan tidak jarang tiang-tiang untuk para perempuan dan transpuan menari.
Ia mengikuti Jan masuk ke sebuah gang yang terletak agak jauh dari jalan utama. Terdapat sebuah bar tertutup, tidak standar untuk ukuran bar pantai. Tidak seperti tetangga-tetangganya yang mengundang secara terang-terangan, bar ini sama sekali tidak ingar bingar. Eksteriornya cenderung gelap dengan sentuhan neon biru dan pink yang sengaja dinyalakan tidak sepenuhnya terang.
Pluem masuk ke dalam mengikuti Jan. Di dalam, bar ini dingin karena AC. Pengunjungnya sebagian besar adalah warga dari ibu kota, seperti mereka. Pluem dapat menebaknya dari cara pengunjungnya berpakaian dan berdandan. Sebuah band dengan genre funk bermain mengalun memenuhi ruangan yang bergaya retro. Jelas bahwa bar ini dirancang untuk menarik wisatawan muda lokal. Jan memang paling jago mencari tempat menarik tersembunyi seperti ini.
Membaur dengan sekelilingnya, Pluem mencoba sebisanya agar tidak terlihat oleh Jan. Ia duduk di sudut ruangan, sementara Jan membuka cardigan-nya, memperlihatkan atasan merah bertali silang tanpa lengan yang senada dengan warna bibirnya. Otot punggung dan bahunya yang kokoh akibat bertahun-tahun berenang terlihat memesona di bawah remang lampu neon. Seksi.
Ia memesan minuman favoritnya, apple martini. Jan selalu memesan sesuatu yang manis di awal, lalu ia akan memesan yang semakin pahit. Sebuah trik agar ia tidak kebablasan minum. Pluem memesan sebuah bir merek kebanggaan negara ini. Perhatiannya tidak boleh luntur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afternoon Crush, Overnight Rush (or The Pluemon Fake Dating AU)
Lãng mạnAwalnya diselamatkan dari godaan om-om mesum, kemudian hilang kontak, tidak sengaja bertemu lagi, dan sekarang laki-laki ini mengaku sebagai pacarnya?!?!?! A Pluemon Fake Dating! AU [Cerita ini murni fiksi dan untuk keperluan hiburan semata. Tokoh...