Perfect marriage bagi seorang Jino Sadewa adalah menikah dengan wanita cantik yang saat ini berada di hadapannya, pria muda yang mendekati usia seperempat abad itu terlihat gugup, saat akan mengutarakan perasaannya terhadap gadis itu.
Sisillia Winnata, putri pejabat kaya, penyandang gelar ratu kecantikan di universitas mereka yang ternama, gadis itu pun sama gugupnya, beberapa bulan dekat dengan pemuda itu nyatanya dia memang menunggu sebuah kepastian, ikatan pacaran yang diidamkan setiap wanita saat merasa dekat dengan seorang Jino Sadewa, pemuda tampan yang digilai para kaum hawa, dan saat ini dia yakin, hanya dirinya yang dapat menaklukkan hati pria itu.
"Sisil," ucap Jino yang membuat hati seorang gadis di hadapannya itu seketika berdesir.
"Iyah?" balasnya pura-pura tidak mengerti dengan situasi saat ini.
Jino meraih jemari gadis itu, menggenggamnya dengan erat, "aku alarm yang selalu membangunkanmu di kala pagi, mengingatkanmu makan sehari tiga kali, dan mengantarmu kemana-mana, dari berangkat hingga pulang lagi, izinkan aku untuk melamar jadi tukang pukul yang akan mengikutimu kemanapun kamu pergi."
Kalimat panjang lebar itu membuahkan cubitan di lengannya dari gadis yang saat ini tertawa di hadapan pemuda itu, "Jinooo," rengeknya.
Jino tertawa pelan, "jadian?" tawarnya yang membuat gadis cantik bernama Sisil itu diam seketika, wajahnya bersemu merah, meski sudah menyangka hal ini akan terjadi, tapi dia merasa gugup juga.
Sisil mengangguk, dan Jino berseru yes dengan mengepalkan tangannya begitu bahagia, tidak lama ketiga temannya keluar dari persembunyian di balik tembok kantin kampus.
"Pajak ditanggung pemenang, yang udah diterima traktir dong," ucap pria bernama Fauzan yang biasa disapa Ojan dengan begitu semangat, bukan karena sahabatnya mendapatkan tambatan hati, melainkan sebab dirinya bisa makan gratis kali ini.
Ilham dan Nolan dengan kalem duduk diantara mereka, memberikan ucapan selamat pada Sisil yang kini sudah menjadi kekasih dari sahabatnya.
Jino tersenyum pada Sisil yang kali ini resmi menjadi kekasihnya, "besok Bang Nino saudara kembar aku nikah, kamu aku jemput yah," tawarnya.
Namun Sisil terlihat begitu menyesal, "besok aku ada acara keluarga di Bandung, kayaknya kamu juga udah tau deh," sesalnya.
Jino seolah baru mengingat, dan kemudian tersenyum, mengacak puncak kepala Sisil kemudian berkata, "Yaudah, nanti kalo udah di rumah kabarin yah," ucapnya.
"Duh, uwwu banget si." Ojan berkomentar, yang membuat teman-temannya kemudian tertawa.
Keduanya tampak bahagia, dan kabar jadiannya mereka pun sudah sampai kemana-mana, patah hati masal dari para wanita yang mengidamkan seorang Jino Sadewa sama banyaknya dengan tatapan iri dari kaum lelaki karena pemuda itu telah berhasil menggandeng gadis tercantik di kampus ini.
Nyatanya kebahagiaan seorang Jino Sadewa tidak mampu bertahan lama, saat pemuda itu pulang ke rumahnya, sang papi mengabarkan berita duka.
"Abang kamu pergi." Justin berucap saat mereka sudah saling berhadapan di ruang keluarga, siang itu Jino yang disuruh pulang cepat, dengan bingung menemui orangtuanya.
Pada awalnya pemuda itu tidak mengerti, juga terlalu tidak ambil peduli, dari awal abangnya itu memang terlihat belum siap untuk menikah, lalu sekarang apa, "pergi?" ulangnya, kemudian menoleh pada sang mami yang tampak menangis di sebelah suaminya. "Bang Nino pergi, terus pernikahannya dibatalin gitu?" tebaknya.
Justin yang adalah ayah dari putra kembarnya itu mengusap wajah dengan telapak tangan, rautnya begitu gusar, dan sang anak mengerutkan dahi di hadapannya. "Undangan sudah tersebar, bahkan acara pernikahan itu besok pagi, bagaimana cara membatalkan semuanya? Bahkan saudara yang dari Luar kota sudah menuju ke tempat ini."
Jino berpikir, jika tidak dibatalkan, terus tidak ada yang menikah, lalu harus bagaimana, dan kemudian ia tersadar akan suatu hal, "papi tidak akan menyuruh aku untuk menggantikan Bang Nino kan?" tanyanya sedikit curiga, dan berharap jawaban sang ayah tentu saja tidak.
"Iya," balas Justin, dengan tatapan yang penuh harap, dia tau putranya itu tidak akan setuju, tapi harus bagaimana lagi, tidak mungkin jika dirinya menikah untuk kedua kali.
Jino merasa udara disekitarnya menghilang, dia kesulitan bernapas, dan kalimat yang tercekat di tenggorokan, hanya keluar dengan suara tawa yang terdengar hambar di hadapan keluarganya. "Papi bercanda?" tanyanya, "benar-benar tidak lucu," imbuhnya kemudian.
"Harapan kami hanya kamu Jino, tidak mungkin pernikahan ini dibatalkan, mami dan papi akan menanggung malu seumur hidup jika hal itu benar terjadi, dan saat para tamu undangan datang, apa yang harus kami katakan." Kali ini sang mami yang angkat suara, pemuda itu biasanya tidak bisa melihat ibunya menangis, tapi untuk kali ini sepertinya Jino tetap teguh pada pendiriannya.
"Nggak bisa Mami, Jino masih kuliah, meskipun sebentar lagi lulus tapi bukan berarti akan menikah, dan lagi aku sudah punya wanita pilihan sendiri, nggak bisa," ujarnya dengan Nada kecewa, saat dirinya beranjak berdiri, dan hendak pergi, Om Ardi yang adalah adik dari papinya itu menahannya.
"Tidak ada yang tau semuanya akan jadi seperti ini, abang kamu yang menyanggupi pernikahan ini ternyata memilih pergi, mengantarkan calon istrinya mengejar cita-cita sekolah modeling di luar negri, harapan keluarga kita hanya kamu Jino," ucap Ardi, menyentuh pundak pemuda itu yang terlihat kalut di hadapannya.
Jino tertawa sinis, menatap sang om dengan kesal," Kenapa tidak Arka saja, om kan juga punya anak laki-laki, " ucapnya.
Arka, pemuda yang baru menginjak kelas satu sma itu menoleh, kemudian kembali fokus pada ponsel di tangannya.
Ardi terdiam, dia tau ini mungkin berat untuk keponakannya itu, tapi nama baik keluarga tentu saja harus tetap mereka jaga.
Jino kembali duduk, menatap sang papi juga maminya bergantian, "aku punya hak untuk menentukan pilihan, dan aku tidak siap untuk menikah, apalagi dengan seseorang yang tidak aku kenal sebelumnya, maaf," ucapnya, kemudian beranjak berdiri lagi dan melangkah pergi, untuk kali ini tidak ada yang menghalangi langkah pemuda itu, namun sebuah keributan yang terdengar saat dirinya belum terlalu jauh membuat Jino kembali berbalik ke tempatnya.
"Oma!" panggil Jino, nenek kesayangannya itu terlihat kesakitan memegang dada, sang mami yang berlari ke dapur untuk mengambil minum segera kembali dan membantu ibu mertuanya untuk menenangkan diri.
"Keluarga besar Oma sedang diperjalanan Jino, bagaimana Oma harus membatalkannya, Oma malu," ucap Marlina Lirih, wanita tua itu terlihat kecewa, "antarkan ibu ke kamar, Na," Pintanya pada Nena, ibu dari cucu kembarnya itu.
Jino bertambah kalut, pemuda yang kembali duduk di sofanya itu semakin menunduk, dia terus berpikir bagaimana dirinya bisa terjebak dalam situasi seperti ini, kakaknya itu kenapa tega sekali.
Pemuda itu menoleh saat sang om menepuk pundaknya kemudian beranjak pergi diikuti dengan anak lelakinya, dan saat ayahnya ikut beranjak pergi, dia kemudian bersuara.
"Dengan siapa aku akan menikah?" tanyanya yang membuat langkah kedua orang dewasa itu terhenti, kemudian kembali menghampiri Jino yang tampak pasrah di tempatnya. "Dengan siapa aku akan menikah?" ulangnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Marriage (Tamat Di KbmApp)
RomanceJino Sadewa dan Naraya Putri terpaksa harus menggantikan posisi saudara kandung mereka yang kabur dari pernikahan, demi menjaga nama baik keluarga, apakah pernikahan mereka yang dilandasi dengan keterpaksaan akan berlangsung lama. Dan bagaimana kesu...