Nasihat

2.1K 294 18
                                    

"Kenapa tadi kamu nggak mau aku bilang ke mereka bahwa kamu itu istri aku?" Perdebatan itu terjadi saat Nara dan Jino turun dari motor di halaman rumah mereka. "Oh, kamu takut si Randy itu tau?" tuduh Jino.

Nara jadi kesal. Dia tidak mau yang lain tau karena dirinya tidak mau menjadi pusat perhatian, dan banyak musuh perempuan nantinya, namun tentu saja gadis itu tidak mengatakan itu sebagai alasan. "Kamu tuh gimana sih Bang? Katanya aku suruh cari pengganti kamu, kamu yang bilang sendiri bahwa pernikahan kita nggak akan lama, terus ngapain juga hubungan kita harus semua orang tau? Biar mereka tau juga saat nanti aku jadi janda, iya?"

Pertanyaan itu berhasil membuat Jino terdiam, dia juga tidak mengerti kenapa dirinya bisa kesal sekali saat gadis itu menolak untuk dipublikasi, "ya tapi jangan Randy juga, dia tuh nggak bener, ceweknya banyak," ucapnya asal, padahal tentang pria itu punya pacar atau tidak dia juga tidak tau sebelumnya.

Nara yang sudah melangkah dan diikuti oleh suaminya itu menoleh. "Kaya kamu bener aja, kamu lebih parah ya Bang, udah punya istri, tapi masih aja punya pacar," tukas gadis itu, kemudian kembali melangkah.

Pernyataan itu membuat Jino kehabisan stok kalimat dalam otaknya, dia baru tau berdebat dengan seorang wanita ternyata semenjengkelkan ini, karena sebelum ini, dia biasanya bersikap tidak peduli.

"Kenapa harus Randy?" Jino mencegah istrinya membuka pintu kamar mereka, keduanya saling berhadapan. "Kenapa harus Randy kalo gue jauh lebih ganteng daripada dia," imbuhnya kesal.

Nara menghela napas, "percuma abang ganteng kalo nggak bisa bikin aku hamil!" Tukas gadis itu, kemudian masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya.

Jino terbengong di tempatnya, jika gadis itu masih dekat dengan dirinya dia pasti sudah menoyor kepalanya.

***

"Bikinin aku mi instan dong," pinta Jino saat menjelang malam dan dirinya belum juga makan.

Nara yang tengah membaca buku novel kegemarannya itu mendongak, gadis itu kemudian turun dari ranjang dan melangkah ke arah pintu, kata sang papa, jika disuruh oleh suami itu tidak boleh membantah, ah dia jadi rindu pada pria tua itu.

"Eh mi goreng ya." Jino kembali mengingatkan, saat tidak disangka gadis itu segera melaksanakan permintaannya, dan dia kembali menoleh pada layar laptop untuk mengerjakan tugasnya.

Di dapur Nara kebingungan memilih alat yang mana jika ingin merebus mi instan, dan akhirnya dia memilih panci saja, dan menuangkan air secukupnya di sana, secukupnya fersi Nara ternyata mampu membuat gadis itu menunggu lama kematangannya, namun gadis itu sudah memasukkan mi ke dalam panci dengan disertakan semua bumbu-bumbunya, sepertinya sudah benar dan dia tinggal menunggu saja.

"Lama banget si, kamu masak mi goreng dijemur dulu ya biar kering?" Jino yang merasa lapar jdi tidak sabar karena gadis itu yang terlalu lama.

Nara sedikit terlonjak dengan kehadiran suaminya, jujur dia memang belum pernah memasak mi instan, biasanya dibantu oleh asisten rumah tangganya jika perlu apa-apa.

Jino menyentuh keningnya saat melihat penampakan mi yang mengambang di dalam air nyaris memenuhi panci dengan bumbu-bumbu di atasnya. "Kamu nggak bisa masak mi instan?" tanyanya, dan saat gadis di hadapannya itu menggeleng, dia kembali berkata, "kok bisa?"

Nara mengerjap bingung, "maksudnya?" tanya gadis itu.

Jino menggeleng, "kok bisa ada  yang nggak bisa masak mi instan?" ucapnya tampak benar-benar tidak percaya.

Nara diam saja, salahnya kenapa tadi tidak melihat dulu tutorialnya di Internet, dan jadinya justru seperti ini. "Maaf," ucapnya Lirih, dia merasa benar-benar tidak berguna di hadapan suaminya.

Jino mematikan kompor dengan kasar, hingga membuat gadis di hadapannya itu sedikit terlonjak. "Kamu tuh bisanya apa si!" ucapnya, kemudian meninggalkan istrinya begitu saja.

Dengan kesal Jino pergi ke rumah  Om Ardi yang memang berada di sebelah rumah sang mami, mendapati pria itu tengah duduk di sofa ruang keluarga dengan laptop menyala di hadapannya, Jino memilih duduk bersandar dan diam saja.

Ardi menoleh sekilas, kemudian fokus lagi pada berkas-berkas di tangannya. "Orangtua kamu belum pulang?" tanyanya.

Jino tidak menoleh saat menjawab, "belum." Keluarganya memang tengah menjenguk saudara sang oma yang dirawat di rumah sakit.

Kedatangan Karin sang tante dengan secangkir kopi untuk suaminya itu membuat Jino menoleh, dan menegakkan duduknya saat wanita itu menawarkan minuman yang sama.

"Nggak Tante makasih, jam segini ngopi nanti aku nggak bisa tidur," tolak Jino.

Karin tertawa pelan, "lah kan enak begadang pengantin baru," ucapnya menggoda, dan keponakannya itu malah mencebikkan bibirnya.

Ardi menepuk lutut Jino yang duduk di sebelahnya, "gimana, udah nikah enak kan, kamu jadi ada yang urusin," ucapnya dengan sesekali kembali pada layar laptop di hadapannya.

Jino menghela napas, kemudian bersandar lagi pada sofa, "ngurusin apa, dia aku suruh masak mi instan aja nggak bisa," ucapnya bercerita.

Ardi tersenyum kecil, menoleh pada istrinya yang juga mengarahkan pandangan pada dirinya. "Ya kamu ajarin dong," ucapnya.

Jino kemudian melengos, "masa masak mi aja pake diajarin," ucapnya dengan melipat tangannya di depan dada.

"Ya kalo kamu nggak mau ngajarin terus tugas kamu ngapain?" pertanyaan itu berasal dari sang tante, dan tentu saja membuat Jino menoleh.

"Memangnya tugas seorang suami itu ngajarin istrinya masak?" Jino bertanya dengan menegakkan duduknya, dia merasa obrolan ini akan panjang, dan tentu saja berakhir dengan dirinya yang kembali mendapat wejangan.

Karin yang duduk di hadapan pemuda itu kemudian menggeleng, lalu sedikit mencondongkan tubuhnya saat berkata, "bahkan lebih dari itu Jino," ucapnya halus.

Jino tertawa kecil, "kan tugas aku cari duit," ucapnya sok tau.

"Tugas seorang suami nggak semudah itu Jino Sayang." Ardi menepuk puncak kepala Jino dengan rasa iba, salah memang abangnya itu memberikan keputusan untuk Jino segera menikah, pemuda itu benar-benar belum siap segalanya.

"Tugas kamu itu membimbing Nara, perkara mengajari masak mi itu hanya sebagian kecil dari tanggung jawab yang harus kamu jalani." Karin kembali berkomentar.

"Istri itu cerminan seorang suami, jadi kamu nggak boleh membicarakan kekurangan istri kamu pada siapapun, karena sama saja kamu membicarakan kekuranganmu sendiri." Ardi menimpali.

Jino terdiam, dia sungguh bingung dengan status pernikahan, apa memang seberat itu menjadi seorang pemimpin keluarga.

Jino yang tidak merespon membuat Karin kembali mengutarakan kalimatnya."Kalo Nara kamu anggap gagal menjadi seorang istri, maka kamu juga gagal sebagai seorang suami, karena tugas kamu itu membimbing Nara, agar bisa menjadi istri yang baik, dan dengan mencontohkan sebagai suami yang baik juga, bener kata om kamu, istri itu cerminan diri loh Jino," ucapnya panjang lebar.

Foto dan lagu yang dinyanyiin Nara ada di Ig aku ya Ade annisa66

Perfect Marriage (Tamat Di KbmApp) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang