Jino keluar dari kamar mandi dengan menggosok rambut kepalanya yang basah. Dan Nara yang kini sudah resmi menjadi istrinya tampak memperhatikan pria itu dengan bersandar pada kepala kasur, sesekali perempuan itu menguap, memeluk bantal guling yang terdapat di atas ranjang suaminya.
Setelah Nara selesai mandi tadi, pria yang kini sudah resmi menjadi suaminya itu berkata ada yang ingin dibicarakan dengan dirinya dan dia dilarang untuk tidur dulu.
Jino naik ke atas kasur, bersila di hadapan Nara kemudian merebut benda dalam pelukannya. "Ini bantal guling aku, kamu ambil yang lain aja," ucapnya yang membuat Nara melirik sinis.
"Kamu mau ngomong apa si?" tanya Nara dengan mengambil bantal biasa yang berada di sekitarnya.
Jino berdehem, tatapannya lekat pada perempuan di hadapannya. "Kamu mau manggil aku apa?" tanyanya.
Nara mengerutkan dahi. "Maksudnya?"
Jino mencoba menjelaskan, bahwa dalam status suami istri tentu mereka memiliki sebuah panggilan. "Misalnya mami ke papi manggilnya mas, atau Tante Karin ke Om Ardi manggilnya abang, kalo kamu ke aku manggilnya apa?"
"Sayang," ucap Nara singkat. Dan berhasil mendapat toyoran di keningnya hingga perempuan itu mengaduh.
"Ogah gue dipanggil sayang sama lo." Jino mengomel sewot.
Nara yang berubah cemberut kemudian berkomentar. "Sama istri tuh nggak boleh pake gue elo manggilnya," ucapnya menasihati.
Jino menghela napas. "Ok iya, gue, eh aku nggak pake gue, elo tapi kamu jangan panggil sayang," ucapnya memberikan kesepakatan.
"Yaudah Om Jino."
"Sembarangan!"
"Oppa?"
"Aku nggak setua itu."
"Eh, oppa itu artinya abang tau kalo di Korea," ralat Nara sok tau, karena sepengetahuannya memang begitu.
"Tapi kita tinggal di Jakarta, oppa itu kakek di sini."
"Terus aku panggil apa dong, Sayang?"
"Panggil aku abang aja, kaya Sena," ucap Jino memberi usul, sebuah panggilan yang sama seperti Sena adik perempuannya.
Namun Nara kemudian menggeleng, "Aku kan bukan adek kamu," protesnya tidak terima.
"Ya terus?"
Sejenak Nara berpikir, jelas dipanggil sayang pria itu tidak mau, apalagi jika papa mama, bahkan dia yang dulu sempat menginginkan dapat panggilan hanny bany sweety untuk dirinya sendiri dari sang suami, harus pupus dan kalah oleh nasibnya yang mendapatkan belahan hati dari hasil beli kuaci. Anggap saja begitu, karena Nara pun sebenarnya tidak mau dinikahkan dengan pria ini.
"Abang aja deh nggak apa-apa, nanti diganti lagi kalo berubah pikiran," ucap Nara pasrah. Dan langsung mendapat persetujuan dari pria di hadapannya.
"Terserah," balas Jino.
"Kamu manggil aku apa?" Nara balik bertanya.
"Nara aja," Jino menjawab asal.
Nara berdecih sinis. "Sopan banget yah kamu," omelnya tidak terima. "Nanti kalo kamu manggil aku nama, anak kita bakal ikutan manggil nama juga," imbuhnya yang membuat Jino tertawa. Dan perempuan itu mengerutkan dahi karenanya.
Setelah tawanya reda, Jino melontarkan tatapan teduh pada perempuan di hadapannya. "Jangan berharap dapet anak dari aku, karena mungkin pernikahan kita tidak akan bertahan lama," ucap Jino tenang, nadanya tampak serius.
Nara sempat tertegun beberapa saat, iya memang, pernikahan ini adalah sebuah keterpaksaan, tapi untuk mengakhirinya dia sama sekali tidak berpikir sampai ke sana. "Sebegitu nggak menginginkan aku kah kamu, Bang? sampe bilang gitu," ucapnya lirih, nada yang dikeluarkan tampak kecewa. Dan pria di hadapannya diam saja.
Jino mengerjap bingung, mengalihkan tatapan matanya dari wajah Nara yang sepertinya membuat pria itu iba. "Bukan gitu maksud aku," ucap Jino, kembali menoleh hingga keduanya saling berpandangan.
"Aku emang nggak suka sama pernikahan ini, tapi tidak sampai berpikir akan mengakhirinya," ucap Nara lirih, gadis itu berusaha untuk tidak menangis.
Jino menggaruk rambut kepalanya yang tidak gatal, mungkin bingung dengan ucapannya sendiri. "Gini ya, Nara. Ayo kita bikin sebuah perjanjian," ucapnya.
"Perjanjian apa?"
"Aku janji nggak akan nyentuh kamu sampai nanti kamu mendapatkan pria yang kamu impikan, kamu pasti bisa dapet laki-laki yang lebih baik dari aku," ucap Jino sungguh-sungguh.
Mendengar hal itu Nara jadi berpikir, benar juga sih yang pria itu katakan, toh dipaksakan seperti apapun kita pasti tidak akan bahagia. "Tapi tetap saja, status aku janda. "
"Ya seenggaknya masih disegel."
"Yakin kamu bisa, aku cantik loh, sexi juga kalo dibuka bajunya," ucap Nara dengan sedikit menyingkap kerah lehernya. Dan entah untuk kali ke berapa pria di hadapannya itu kembali menoyor kepalanya.
Nara yakin, jino pasti tidak bisa menebak seperti apa dirinya. Sejak pertama bertemu sifatnya sengaja berubah ubah. Dan pria itu terlihat bingung bagaimana menghadapinya.
"Tenang aja, kalo nggak dipancing-pancin, aku kuat kok," ucap Jino yakin.
Nara mencebikkan bibir, dalam hati gadis itu, sebuah rencana untuk menggoda sang suami hingga mau menyerahkan keperjakaannya sudah tergambar di dalam kepala. Dan dia akan berusaha agar Jino bisa melanggar janjinya.
Nara melipat lengannya di depan dada. "Yakin kamu nggak mau coba, sekali aja deh, buat pengalaman, yakali aku jadi janda tapi masih perawaan," ucapnya tidak terima.
"Lah bagus dong, jadi siapapun laki-laki yang menikahi kamu nanti pasti akan merasa beruntung, daripada mengaku perawan tapi segel sudah kebuka, jaman sekarang kan gitu biasanya," ucap Jino menjelaskan.
"Tapi aku nggak mau jadi janda, Bang. Kalo nggak laku gimana?"
Jino berdecak, melepaskan tangannya yg semula menopang dagu, mengganti posisinya jadi menopang pipi, sepertinya lelah sampai kapan diskusi malam pertama ini bisa mereka akhiri. "Kamu tenang aja, sekarang janda semakin didepan, daripada status menikah tapi hasil rebut suami orang." Jino kembali meyakinkan istrinya lagi.
Nara menghela napas, baru kali ini dia menemui laki-laki yang menolak surga dunia, bahkan sudah sah di depan hukum juga agama. Dia jadi berpikir, suaminya ini sebenarnya normal atau tidak.
"Kebanyakan tuh Bang, laki-laki yang lebih memilih wanita yang pernah menikah itu karena lebih berpengalaman, seenggaknya ajarin aku dulu kek, biar bisa lebih berpengalaman."
Toyoran di kepala dari Jino kali ini, sampai membuat Nara terjengkang dari duduknya, sepertinya dia benar-benar menyesal telah berurusan dengan perempuan di hadapannya.
Entah menit ke berapa mereka akhirnya memutuskan untuk mengakhiri percakapan, meski tidak juga mendapatkan titik temu akan solusi yang terbaik untuk keduanya, tapi yang terpenting Jino sudah menyampaikan keinginannya. Nara masih mengikuti arus saja, dia masih berharap keputusan suaminya itu dapat berubah.
"Ngapain kamu tidur di sini, ini kamar aku," ucap Jino saat mendapati Nara merebahkan diri di sebelahnya.
"Ya ampun Bang, aku istri kamu, masa minjem kasur aja nggak boleh," omel Nara merasa jengah, hari ini dia terlalu dipaksakan untuk menerima banyak hal, termasuk statusnya, juga meninggalkan rumah demi mengikuti sang suami yang justru kini menolaknya mentah-mentah. Dengan jengkel perempuan itu turun dari ranjang, menenteng bantalnya menuju sofa, kemudian merebahkan diri di sana.
Kamar berukuran luas itu terasa semakin hening saat tidak ada lagi perdebatan antara keduanya, Nara masih memikirkan nasibnya ke depan, dia tidak tau bagaimana nanti keluarga ini akan memperlakukannya, karena bahkan suaminya sendiri juga tidak menerima keberadaannya.
Dalam diam perempuan itu menangis, apakah kisahnya akan sama seperti drama yang sudah dapat ditebak akhir ceritanya, tidak ada kebahagiaan dalam rumah tangga ini. Dan entah sampai kapan, dirinya bisa bersikap tegar di hadapan siapapun nanti.
Nara merasakan suaminya mendekat, dia lalu berpura-pura tertidur. Entah merasa bersalah atau hanya kasihan saja, pria itu mengangkat tubuhnya dan meletakan di atas kasur. Dia lalu berpindah ke sofa dan tertidur di sana.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Marriage (Tamat Di KbmApp)
RomansaJino Sadewa dan Naraya Putri terpaksa harus menggantikan posisi saudara kandung mereka yang kabur dari pernikahan, demi menjaga nama baik keluarga, apakah pernikahan mereka yang dilandasi dengan keterpaksaan akan berlangsung lama. Dan bagaimana kesu...