Terimakasih

1.8K 227 19
                                    

Jino terus mengekori sang mami yang tengah sibuk memasak makan malam, pemuda yang nyaris memasuki usia seperempat abad itu tampak seperti anak kecil yang merengek minta uang jajan pada ibunya.

"Bilangin Papi dong Mi, masa aku nggak pegang duit," keluh Jino, paska dilayangkannya hukuman berupa semua fasilitas yang dialihkan pada sang istri, sejak itu juga dia dinyatakan jatuh miskin. Bagaimana jika istrinya itu benar-benar tidak memberi uang bensin, masa iya dirinya harus pulang pergi jalan kaki.

"Tolong cuci ini ya Bi." Nena tidak menanggapi keluhan putranya, membuat Jino merasa kesal dan menyandarkan tubuhnya ke meja dapur. Melihat Jino tampak murung, wanita itu jadi tidak tega. "Hanya dialihkan Jino, bukan diambil, kamu mendingan baik-baikin istri kamu sana," usulnya.

Jino berdecak malas, dia adalah orang yang paling gengsi untuk meminta, dan jika hanya sekedar jajan saja dia harus minta pada istrinya, lebih baik puasa saja.

Sang Oma yang masuk ke ruangan dapur dengan membawa gelas kosong yang sudah pasti bermerk bapperware, kemudian ikut berkomentar. "Makanya jadi cowok tuh harus mandiri, mendingan kamu jualan bapperware Oma, udah pasti laku, banyak duit deh cucu Oma," ucapnya.

Jino tidak menanggapi usul sang oma yang selalu sama, dengan lemas dia hanya bisa meratapi nasibnya.

"Makanya jangan nakal, udah punya istri masih aja punya pacar, putusin aja pacar kamu, perempuan yang baik akan mundur jika tahu lelaki yang dekat dengannya sudah punya pasangan, bukan malah makin lengket kaya cakwe belum disobek," ucap sang oma setengah mengomel. "Jangan sampe deh itu perempuan ketemu sama oma," imbuhnya mengancam.

Jino masih memikirkan perihal cakwe yang sang oma sebutkan, saat kemudian sedikit ngeri dengan ancaman yang wanita itu utarakan. "Kenapa Oma kalo ketemu," tanyanya kemudian.

Wanita tua bernama Marlina itu menuangkan air ke dalam gelas kesayangannya, kemudian menjawab pertanyaan pemuda itu, "Mau Oma sobek-sobek," ucapnya kesal.

"Dia kan nggak tau Bu, orang Jino nggak bilang kalo dia udah nikah, tetep aja yang salah tuh Jino." Nena ikut berkomentar dengan menunjuk hidung mancung putranya.

Marlina yang sudah berada di ambang pintu penghubung dapur dan ruangan lainnya kemudian menoleh, "bohong itu, orang kemarin dia cerita mau putusin pacarnya kok, tapi pacarnya nggak mau, padahal sudah tau dia punya istri, malah mau nungguin dudanya." Marlina berucap gemas, segems tontonan sinetron yang sedang viral di recetei.

Jino yang panik mendengar kalimat itu kemudian mengejar sang Oma dan menarik lengannya, "Oma, Oma kok Oma bilangin siih, nanti papi tau hukumanku makin berat," bisiknya takut.

"Jadi kamu bohongin mami?" Nena yang terlihat kecewa kemudian mengomel.

Jino jadi bingung, harus mengejar omanya yang sudah melangkah pergi atau menenangkan sang mami yang tampak marah sekali. "Aku bisa jelasin Mami," ucapnya lirih, takut-takut papinya lewat dan mendengar percakapan mereka.

Dibujuk seperti apapun Nena tetap ngotot ingin mengadukan putranya pada sang suami, dan Jino berusaha meyakinkan wanita itu dan berjanji untuk tidak mengulangi.

"Kalo gitu ada syaratnya," ucap Nena setelah melepaskan apron yang terikat di pinggang, wanita itu berjalan ke arah ruang makan dan diikuti oleh putranya.

"Syarat apa sih Mi," keluh Jino, dan wanita di hadapannya itu berbalik kemudian tersenyum.

"Berikan mami cucu yang lucu-lucu, Mami mauu."

***

Jino masih memikirkan permintaan sang mami saat hendak masuk ke dalam kamar, bagaimana dia bisa memberikan cucu yang lucu, menyentuh gadis itu saja dia belum mampu, hatinya masih belum bisa menerima bahwa dia sudah berkeluarga, dan berharap suatu saat dia akan kembali hidup seperti sebelumnya.

Saat masuk ke dalam kamar, Jino mengerutkan dahi dengan penampilan sang istri yang berbeda dari biasanya, gadis itu mengenakan kaus lengan pendek miliknya yng tentu saja kebesaran sampai menutupi sebagian paha, "ngapain kamu pake baju aku?"

Teguran dari Jino yang entah sejak kapan sudah berada di kamar mereka membuat Nara yang tengah merapikan barangnya untuk ospek terakhir besok tampak sedikit terlonjak, gadis itu menoleh.

"Aku pinjem ya, Bang. Soalnya baju-bajuku baru aja dicuci, aku nggak banyak bawa baju ke sini," jawab Nara polos, merasa begitu berdosa telah lancang memakai kaus suaminya.

Jino mendekat, raut sinis di wajahnya berubah iba, "Kalo kamu nggak punya baju kenapa nggak beli aja?" usulnya dengan melipat lengan di depan dada.

"Nggak usah beli, bajuku banyak kok di rumah, nanti uang kamu abis." Nara menyimpan tas yang telah ia siapkan di atas meja, kemudian kembali menghadap pada suaminya.

"Mau beli baju?" Jino kemudian menawarkan, dia merasa bersalah, sejak sah menjadi istrinya gadis itu belum pernah ia belikan apa-apa, "atau kamu mau ambil baju di rumah papa kamu?" imbuhnya.

Kalimat itu membuat kedua bola mata Nara seketika berbinar, Jino sedikit tertegun karenanya. "Kalo boleh aku mau ketemu papa sekalian," ucapnya terlihat amat bahagia.

"Em, iya boleh," ucapan Jino sedikit terbata, tidak menyangka usulnya itu teramat membuat istrinya bahagia, beberapa saat yang lalu gadis itu terlihat begitu jengkel pada dirinya, dan hanya tawaran bertemu dengan keluarganya saja dia terlihat sudah berbeda.

Senyum manis dari gadis di hadapannya tampak menular, membuat sudut bibir Jino sedikit terangkat, namun pria itu segera mengendalikan dirinya, ini sangat berbahaya bisa-bisa niatannya menjadi duda yang masih perjaka akan gagal begitu saja. Oh tidak bisa.

"Yaudah besok aku anterin kamu ke rumah papa kamu," ucap Jino, berusaha sebisa mungkin bersikap acuh, meski sebenarnya, binar di bolamata itu sedikit membuat pertahanannya runtuh.

Nara mengangguk dan berterimakasih, gadis itu kemudian berbalik pergi.

"Nara?"

Panggilan sang suami membuat Nara menghentikan langkah lalu berbalik, "Iya?" tanyanya.

"Kenapa tadi kamu belain aku di depan papi?"

Nara sejenak mengingat kejadian sore tadi, "kata Tante Karin, seorang istri itu harus bisa menjaga aib suaminya," ucap gadis itu.

"Tapi aku salah, kamu nggak harus bela," balas Jino.

"Aku tau kamu terpaksa, jadi nggak apa-apa."

Jawaban itu sejenak membuat Jino terdiam. "Terimakasih," ucapnya.

***

Perfect Marriage (Tamat Di KbmApp) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang