Jino mengendap-endap masuk ke dalam rumah, pria itu sedikit terlonjak ketika mendapati istrinya sedang berbaring di atas kasur saat ia sudah di dalam kamar.
"Baru pulang?" Jino bertanya setelah memperhatikan baju gadis itu yang belum berganti, dan masih sama seperti saat kuliah tadi.
Nara menoleh, gadis yang tengah sibuk dengan ponselnya itu kemudian beranjak duduk, "harusnya aku yang tanya, kamu baru pulang?" sindirnya.
Jino berdecak malas, pria itu kemudian mendekat. "Pulang sama siapa?" tanyanya.
Bukannya menjawab, Nara hanya melirikkan matanya tidak suka, entah kenapa hatinya begitu kesal melihat pria yang saat ini berdiri di hadapannya. "Sama siapapun, memangnya kamu peduli?"
Jawaban itu membuat Jino menghela napas, kenapa semua perempuan di sekitarnya seolah berkomplotan untuk membuat dia tersudut, Sisil, Nara dan bahkan sang Mami.
Jino menghadang istrinya saat gadis itu beranjak berdiri dan melangkahkan kaki,"kalo nggak pulang sama aku, mendingan kamu dianter sama temen-temen aku daripada kamu pulang sama orang lain."
"Satu-satunya cowok yang bukan orang lain di kampus itu cuma kamu Bang, lupa?"
Kalimat itu membuat Jino merasa tertohok, mereka saling berpandangan, melempar luka dari Sorot mata yang berusaha disembunyikan keduanya.
"Kamu pulang sama Randy kan?"
Tuduhan itu meluncur begitu saja dari bibir sang suami, dan Nara tersenyum sinis karenanya, hati gadis itu tentu saja sakit. Tapi bukan karena dia sangat mencintai suaminya, hanya saja usahanya menjadi istri yang baik sejauh ini terasa sia-sia.
Memilih untuk tidak menanggapi pertanyaan dari Jino, Nara beranjak pergi menuju ke kamar mandi.
"Kalo emang kamu udah berhasil nemuin orang yang bisa bahagiain kamu, bilang aja sama aku Ra."
Langkah Nara terhenti, kemudian berbalik menatap Jino yang berdiri di hadapannya. "Kenapa? Kamu mau bilang kalo kamu siap melepas aku? Gitu?"
Jino terdiam, entah kenapa dia tidak lagi bisa berkata-kata, tatapan tajam gadis di hadapannya memancarkan luka yang membuat hatinya sakit juga.
Nara mendekat, dia tidak sanggup menahan diri untuk tidak melancarkan pukulan di lengan suaminya." Kamu bilang kaya gitu karena kamu pengen balikan sama pacar kamu yang sok mau bunuh diri itu kan?"
Jino menghindar saat istrinya itu hendak melancarkan pukulan berikutnya, pria itu menangkap tangan Nara. "Aku cuma nggak mau kita saling menyakiti Ra, kalo emang kamu merasa nggak nyaman sama aku, mungkin kita bisa selesaikan semuanya."
"Saling menyakiti apa? Di sini cuman kamu yg nyakitin aku ya Bang."
"Dengan kamu lebih memilih pulang bersama Randy itu udah nyakitin aku." Sesaat kalimat yang keluar dari mulutnya sendiri membuat Jino terdiam, begitu juga dengan gadis di hadapannya.
Nara tertawa sinis menanggapi ungkapan pria itu. "Dan kamu yang lebih memilih menenangkan pacar kamu itu kamu pikir nggak menyakiti aku?"
Jino menghela napas, saat ini dia memang salah dan dia mengakuinya. "Aku terpaksa," gumamnya.
Nara yang masih berdiri di hadapan pria itu kemudian melipat lengannya di depan dada, "Kalo aku mau egois, aku juga nggak mau mempertahankan pernikahan ini, tapi ada nama baik keluarga aku yang harus aku jaga," ucapnya, lipatan lengannya ia lepas, kemudian menempelkan telunjuknya ke dada sang suami sembari berkata. "Dan perasaan orangtua kamu yang pasti akan kecewa."
Jino mungkin sedang kalut, dia tidak bisa berpikir sejauh itu untuk saat ini, masalah yang ia hadapi, juga keadaan hatinya yang sulit ia kendali, membuatnya berpikir untuk lepas dari semua ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Marriage (Tamat Di KbmApp)
RomanceJino Sadewa dan Naraya Putri terpaksa harus menggantikan posisi saudara kandung mereka yang kabur dari pernikahan, demi menjaga nama baik keluarga, apakah pernikahan mereka yang dilandasi dengan keterpaksaan akan berlangsung lama. Dan bagaimana kesu...