Obrolan

2.4K 316 15
                                    

Jino sudah keluar dari kamar dengan menggandeng tangan istrinya saat sang papa mertua kemudian menghampiri mereka.

"Loh kalian mau ke mana?" Denis bertanya bingung, pasalnya acara sarapan mereka juga belum selesai, apakah dia terlalu lama berbicara dengan rekannya.

Jino yang melepaskan tangan istrinya membiarkan wanita itu untuk menjawab pertanyaan sang papa, dia berusaha untuk bersikap biasa saja, bagaimana pun juga Denis sudah sangat baik terhadap mereka.

"Kita mau pulang, Pa. Siang nanti aku dan Bang Jino ada kegiatan di kampus," ucap Nara dengan tersenyum, berusaha menutupi bekas tangisan yang mungkin masih terlihat sembab di matanya.

Denis sempat curiga, namun tidak menanyakan lebih lanjut perihal rencana pulang mereka yang terkesan buru-buru. "Sering jenguk papa ya Nara, jangan hiraukan mamamu," ucapnya yang memang sudah paham dengan tabiat istrinya itu.

Nara mecoba untuk tersenyum, menunjukkan pada pria paruh baya itu bahwa dia tidak apa-apa, dan sang papa tidak perlu khawatir kepadanya. "Nara sama Bang Jino pamit ya, Pa," ucapnya.

Setelah mendapat anggukan dan pesan berhati-hati dari papa mertuanya, Jino yang juga ikut berpamitan pada pria itu kemudian melangkah pergi dari sana.

***

Malam ini Nara harus menghadiri acara malam inagurasi yang diselenggarakan di kampusnya, Jino sudah berangkat sejak siang untuk ikut mempersiapkan jalannya acara, dan meminta orang rumah untuk mengantarkan istrinya.

"Sudah siap?" Karin yang merupakan tante dari Jino mendapat amanat dari pria itu untuk mengantarkan istrinya, mereka kini sudah berada di dalam mobil dengan sang tante yang bertugas mengemudi.

Nara mengangguk, dari sekian banyak keluarga suaminya hanya sang tante yang memang begitu dekat dengan dirinya, dan dia pun tidak terlihat canggung saat harus satu mobil dengan wanita itu. "Maaf ya Tante, aku jadi ngrepotin," ucapnya.

Karin tersenyum, kemudian berkata tidak apa-apa, sekilas wanita itu menoleh pada almamater yang dipangku oleh istri keponakannya. "Ciee jadi anak kuliahan," godanya.

Nara tertawa kecil menanggapi itu. "Apa enaknya sih, Tan?"

"Ya enak dong nggak pake seragam sekolah lagi," ucap sang tante bercanda, dan hanya ditanggapi tawa lagi oleh wanita muda yang duduk di kursi sebelahnya. "Gimana hubungan kamu sama Jino, udah ada kemajuan?"

Pertanyaan itu membuat Nara mengangguk dan tersenyum, namun saat sang tante bertanya sudah sejauh mana hubungan mereka, dia tentu saja malu untuk bercerita. "Ya gitu lah, Tan," ucapnya.

"Gitu gimana sih?" Karin bertanya menggoda, mendapati wajah bersemu dari keponakannya itu, dia teramat gemas untuk terus mengganggunya.

"Ih Tante aku malu ah," rengekan Nara membuat Karin tertawa, wanita itu kembali fokus pada jalanan di hadapannya.

"Nggak apa-apa, lama-lama juga pasti Jino sayang sama kamu, kamu kan baik." Karin menghibur istri keponakannya yang justru malah terlihat murung.

"Susah, Tan. Bang Jino tuh masih sayang banget sama mantannya,  entah kenapa aku malah merasa jadi orang ketiga di antara mereka." Nara berucap pelan.

"Ya jangan ngerasa gitu dong, biar gimanapun kamu itu istri sahnya." Sang tante kembali berucap, mengusap pundak Nara sekilas untuk sedikit menghiburnya. "Kamu nggak salah, Ra," imbuhnya.

Sesaat Nara terdiam, meski hubungannya dengan sang suami sudah sampai tahap saling memenuhi, tapi Nara merasa belum bisa mendapatkan hati Jino seutuhnya, kali ini dia merasa hanya sebatas teman ranjang saja.

"Cepat atau lambat Jino pasti bisa menerima kamu, Ra. Nggak ada yang kurang dari kamu, kecuali dia yang nggak bersyukur." Karin kembali berceloteh setelah sesaat hening tidak ada percakapan di antara keduanya.

Nara mengangguk tersenyum, wanita yang ia anggap sebagai panutannya itu kembali memberikan nasihat agar dia tidak menyerah untuk mempertahankan rumah tangganya.

"Tarik ulur nggak apa-apa, pura-pura cuek biar kamu tau dia perhatian atau nggak."

"Cara biar tau dia perhatian ke kita gimana, Tante?"

"Ya pasti perlakuannya beda."

"Kalo dia balik nyuekin aku?"

"Pukul aja kepalanya."

"Tantee!" Nara jadi tertawa, selain baik, tante suaminya itu memang lucu sekali. Dan hanya dengannya Nara bisa saling bercanda.

"Buat dia cemburu aja sih sekali-kali, kata orang kan cemburu tanda cinta." Karin kembali memberi saran.

"Mana pernah Bang Jino cemburu sama aku, aku dideketin cowok juga dia biasa aja." Nara kembali mengingat saat suatu ketika dia kedapatan mengobrol dengan teman laki-laki seangkatannya, dan suaminya itu terlihat biasa saja.

"Cemburu kan ada yang nggak ditunjukin, Ra. Bisa aja dia bersikap biasa padahal kesel."

Nara tampak tertarik dengan pembahasan itu, "dulu Om Ardi kalo cemburu gimana, Tan?" tanyanya penasaran. Ardi adalah suami sang tante, adik kandung dari papi mertuanya, dan sampai saat ini dia belum pernah sekalipun berinteraksi dengan pria itu.

Sejenak Karin berpikir. "Dia sih kalo cemburu pasti bilang," ucapnya.

"Masa sih, Tan?" Nara terlihat tidak percaya.

Sang tante mengangguk dan tertawa. "Dia mah pasti bilang, aku nggak suka kamu bla bla bla, pokoknya cerewet banget lah," ungkapnya.

Nara ikut tersenyum, membayangkan seperti apa masa muda mereka saat peryama kali berjumpa. "Ya bagus dong, Tan, udah nggak kode-kodean."

"Dia mah nggak bisa dikodein, ngeselin orangnya." Karin terus tertawa menceritakan sifat suaminya. "Tapi, Ra. Diantara Jino dan Nino itu, yang paling mirip sama omnya tuh suami kamu tau."

Nara berdecak pelan. "Nggak ah, beda."

"Julidnya sama kok. Jutek, cuek. Terus kalo ngomong ngeselin." Sang tante membeberkan kesamaan di antara mereka.

"Nah kalo itu iya." Nara tertawa kecil menanggapi pendapat tantenya. "Kalo Bang Nino itu emang gimana, Tan?"

Karin sibuk membelokkan kemudi, memasuki parkiran kampus, kemudian mematikan mesin mobil. Sejenak wanita itu berpikir. "Dia itu, apa ya. Kebalikannya Jino deh," gumamnya.

Bukannya turun karena mereka sudah sampai, Nara justru semakin tertarik dengan topik yang mereka bahas, perempuan muda itu menyerongkan duduknya ke arah sang tante. "Kok bisa nggak sama sih, Tan?"

Karin mengangguk. "Kembar kan nggak berarti sama dalam segala hal, Nino itu lebih mirip papinya, agak aneh."

Nara kemudian tertawa, pendapat sang tante yang mengatakan papi mertuanya itu aneh ternyata sama dengan yang dia rasa. "Tapi papi Justin baik banget tau Tan," ungkapnya. "Apa Bang Nino juga sebaik itu?"

"Banget, beruntung sekarang kamu jadi anaknya. Nino juga baik kok, nanti juga kalian pasti ketemu." Karin mengusap bahu perempuan di sebelahnya itu sekilas, kemudian menyuruhnya untuk segera turun dan menghadiri acara, "nanti telat loh," ucapnya.

Setelah berada di luar mobil yang dikendarai sang tante, Nara sedikit menundukkan tubuhnya dan mengucapkan terimakasih.

Karin balik melambai. "Selamat bersenang-senang," ucapnya.

Perfect Marriage (Tamat Di KbmApp) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang