Jino yang akhirnya memutuskan untuk tidur di sofa menggantikan sang istri, kemudian teringat pada ponselnya yang sejak siang tadi dimatikan.
Banyak pesan yang masuk saat Jino menghidupkan benda persegi itu, terutama dari teman-temannya. Namun yang ingin ia buka lebih dulu adalah pesan dari Sisil, perempuan yang saat ini masih berstatus kekasihnya itu, banyak mengirimkan sebuah pertanyaan.
Selamat sore sayang?
Masih sibuk ya?
Nanti hubungi aku ya.
Hampir seharian ini kamu kok nggak ada kabar?
Jino memejamkan mata, dia benar-benar tidak tega untuk mengabarkan tentang hubungan mereka yang harus diakhiri dengan segera. Dan pesan terakhir yang membuat pria itu terlonjak duduk, adalah sebuah pemberitahuan bahwa malam ini dirinya sudah pulang ke rumah.
Besok pagi tidak perlu dijemput katanya, karena perempuan itu sendiri yang akan mampir ke rumahnya, sekalian memberikan oleh-oleh.
Secara tidak sadar Jino menggigit ujung kukunya panik, pemuda itu belum siap jika harus berpisah begitu cepat, setidaknya tunggu siang dulu sampai dia bisa merangkai sebuah kalimat.
Sisil apa kamu bakal terima kalo nanti aku jadi duda?
Pertanyaan itu sempat berkelebat dalam pikirannya, namun tentu saja Jino tidak sanggup untuk mengutarakannya.
Dan memilih mengirimkan pesan, agar perempuan itu tidak perlu mampir ke rumah, namun ternyata pesan yang ia kirimkan hanya ceklis satu tidak juga berubah.
Nomor Sisil tidak dapat dihubungi. Berkali-kali dia mencobanya dan hanya mendapat sebuah arahan untuk kembali melakukan panggilan beberapa saat kemudian. Dan Jino memutuskan untuk menghubunginya besok pagi saja.
***
Pagi ini suasana di meja makan tampak berbeda, meski tidak adanya Nino yang membuat penghuni rumah merasa kehilangan, tapi keberadaan Nara jadi hiburan tersendiri untuk mereka.
"Mbak Nara duduk di sebelah aku ya," ucap Sena adik iparnya yang ternyata meskipun terlihat jahil tapi baik juga.
Nara tersenyum, kemudian menoleh pada wanita tua di sebelahnya yang masih terlihat sehat di usianya yang mulai senja. "Selamat pagi Oma?" sapanya.
Marlina balik tersenyum, kemudian mengusap pundak cucu menantunya itu dengan sayang. "Jangan sungkan pada kami, kalo kamu butuh apa-apa bilang saja," ucapnya yang membuat Nara mengangguk mengerti. "Kamu kelihatan capek sekali, pasti semalam Jino gangguin kamu terus ya?" imbuh Marlina, menggoda cucu menantunya.
Nara hanya nyengir kuda menanggapi oma mertuanya, semalam suaminya itu memang mengganggunya dengan mengajak diskusi sampai larut sekali, bukankah hal itu termasuk mengganggu juga? begitu pikirnya.
Nara menoleh pada ayah mertuanya yang tampak sibuk dengan tablet di hadapannya, sesekali pria paruh baya itu meminum kopi di atas meja dan kembali fokus pada benda di tangannya, dia jadi ragu untuk sekadar menyapa.
"Selamat pagi Nara, sarapan pagi ini nasi goreng ya, Sayang," sapa Nena sang ibu mertua dengan begitu riang, Nara jadi malu karena tidak membantu wanita itu menyiapkan semuanya. Dan anggukan kecil juga ucapan terimakasih ia lontrkan setelahnya.
"Mas, taro dulu dong tabletnya, ada Nara tuh," ucap Nena dengan merapikan benda persegi di tangan sang suami, menggantikannya dengan piring berisi Nasi goreng masakannya sendiri.
Justin yang sesaat menoleh pada sang istri, kemudian menoleh pada Nara dan menanyakan suami perempuan itu.
"Bang Jino nya masih mandi, Om," jawab Nara merasa canggung.
Marlina yang duduk di sebelahnya kembali mengusap pundak Nara dengan berkata, "Jangan paggil om ya Nara, panggil Papi Justin aja," ucapnya.
Dan mendapati pria berwibawa itu tersenyum padanya, Nara-perempuan yang masih gadis setelah melewati malam pertamanya itu, semakin merasa canggung saja.
.
Kedatangan Jino yang meletakan tas di bawah kursi, dan duduk di sebelah Justin, membuat perhatian seluruh penghuni meja makan teralihkan. Namun bukannya sadar, pria itu malah menguap.
"Ngantuk banget, kamu begadang?" Justin bertanya pada putranya yang tampak melirik tidak suka, namun pria paruh baya itu justru malah tersenyum menggodanya.
"Nara, hari ini kamu sudah bisa masuk universitas tempat Jino berkuliah ya, saya sudah mendaftarkan kamu di sana," ucap Justin memulai obrolan, setelah beberapa menit berlalu tanpa percakapan.
Dan berita itu membuat Jino nyaris tersedak. "Lah, kok gitu," protesnya tidak terima, memikirkan alasan pada Sisil tentang statusnya saja dia masih bingung, apalagi jika harus memperkenalkan perempuan yang ia bawa pagi ini pada dirinya.
Ngomong-ngomong tentang Sisil, Jino jadi ingat harus mengabari perempuan itu untuk tidak mampir ke rumahnya, tapi pembahasan pagi ini terlalu penting untuk ia lewatkan begitu saja. "Nara jangan satu kampus sama aku dong Pi, aku nggak mau," tolaknya, yang membuat seluruh penghuni meja makan sesaat terdiam.
"Memangnya kenapa, dia kan istri kamu, sudah seharusnya kalian itu bersama-sama, bukankah itu bagus," komentar sang papi, yang mungkin menurutnya sudah sangat benar.
"Emangnya kenapa sih kalo beda tempat kuliah, nanti aku anterin kok, tenang aja, yang penting jangan di tempat yang sama," ucap Jino, masih berharap sang papi akan mendengarkan usul darinya.
"Memangnya kenapa kalo satu tempat kuliah, kan enak bawa bekelnya pake satu bapperware aja, kamu sering ilangin tutup bapperware Oma. Dan Oma percaya pasti Nara bisa menjaganya seperti anak sendiri, bukan begitu Nara?"
Pertanyaan dari Marlina membuat Nara mengerjap bingung, namun perempuan itu kemudian mengangguk juga.
Jino berdecak, dalam keadaan segenting ini Bisa-bisanya sang oma malah membahas bapperware, benda keramat yang sering membuatnya kena jewer, tersiksa melebihi cucu tiri di televisi. Siyal sekali hidupnya sejauh ini, dan sepertinya kesialannya itu pun teramat bertubi-tubi.
Nara berdehem yang membuat perhatian mereka teralihkan. "Aku nggak apa-apa kalo harus beda tempat kuliah, toh teman-teman aku juga nggak kuliah di sana, nanti aku kesepian," ucapnya yang membuat Jino menoleh, dia memberikan tatapan terharu. Dan nanti akan mengucapkan banyak terimakasih karena hal itu.
"Teman kamu Kanaya dan Delila kan? Mereka juga sudah saya masukan ke universitas itu. Dan keduanya mau," ucapnya yang membuat Nara mengerjap terkejut, Jino yakin jika dia punya riwayat serangan jantung mungkin sudah kambuh saat ini juga.
Jino nyaris tidak punya pilihan apa-apa selain menerima, dengan pasrah pria itu kembali menyuapkan satu sendok nasi goreng ke mulutnya.
Sena yang semula kalem menyimak perdebatan keluarganya itu lalu berkomentar. "Papi, abang itu takut pacarnya nanti ketemu sama Kakak Nara, jadinya dia nggak mau satu tempat kuliah sama Kak Nara," ucap gadis itu yang mendapat pelototan dari sang kakak, bukannya takut dia justru mencebikkan bibir ke arah pria di hadapannya.
"Jadi kamu belum memutuskan hubungan kalian, nggak boleh gitu ya Jino, kamu sudah ada Nara," ucap Nena berkomentar, "Bagaimana pun juga, meski kalian tidak saling suka sebelumnya, tapi tetap harus saling menjaga perasaan masing-masing."
"Nggak segampang itu, Mi. Aku juga butuh waktu untuk menjelaskan semuanya," ucap pria itu.
Jino menghela napas, dia tau hubungannya dengan Sisil akan segera kandas, tapi tidak secepat ini juga, dia perlu mempersiapkan semuanya, karena hal ini pasti akan sangat melukai perasaannya.
Seolah takdir belum cukup mengajaknya terus bercanda, sebuah kabar berita tentang kedatangan seorang wanita membuat Jino berubah waspada, mungkinkah Sisil benar-benar datang menemuinya?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Marriage (Tamat Di KbmApp)
Storie d'amoreJino Sadewa dan Naraya Putri terpaksa harus menggantikan posisi saudara kandung mereka yang kabur dari pernikahan, demi menjaga nama baik keluarga, apakah pernikahan mereka yang dilandasi dengan keterpaksaan akan berlangsung lama. Dan bagaimana kesu...