Nara menggigit ujung kuku telunjuknya dengan gusar, tangan kanan wanita itu menggenggam ponsel yang ia tempelkan ke telinga, "gimana dong Tante, aku takut Bang Jino marah," ucapnya merasa bersalah.
Tante Karin adalah orang pertama yang ia hubungi setelah perempuan itu mengusir sang suami dari kamarnya, dia bercerita bahwa begitu kesal karena pria itu bersikap mesra saat ada maunya saja, tapi bukan mendapat nasihat sang tante justru malah tertawa.
'Nggak apa-apa lah Nara, sekali-kali, Jino memang harus diberi pelajaran, agar dia bisa peka bahwa kamu juga perlu pengakuan,' ucap sang tante di balik sambungan, Nara menceritakan pada wanita itu tentang tindakannya yang mengusir Jino dari kamar, dia ingin meminta pendapat, apakah keputusannya itu sudah keterlaluan.
Tapi tentu saja perempuan itu tidak menceritakan perihal sang suami yang begitu mesra pada pacarnya, hingga setiap malam selalu kontekan untuk memastikan tidak terjadi apa-apa dengan mereka, terlalu sakit jika orang lain tahu, dan kemudian iba pada dirinya.
Kata sang mami mertua, kita harus punya batasan perihal bercerita masalah rumah tangga, bercerita secukupnya hanya sekedar untuk meminta saran dan pendapat saja, dan carilah orang yang tepat untuk mendengarkannya. Dan Nara merasa sang tante adalah orang yang tepat untuk dia mintai pendapat.
"Abisnya Tante, dia tuh maunya dilayani tapi hatinya bukan buat aku, aku merasa dia menerima aku karena butuh, bukan memang sayang sama aku," ucap Nara saat sang tante bertanya bagaimana ceritanya perempuan itu sampai menyuruh suaminya untuk tidur di luar.
"Aku sekarang merasa bersalah, Tan, dosa banget nggak sih aku."
Nara tampak menyimak saat sang tante kemudian berbicara. 'Denger ya sayang, Tante tau pasti bukan karena hal itu aja kamu sampai menyuruh Jino tidur di luar, mungkin ada suatu hal yang tidak bisa kamu ceritakan, tapi tante menghargai itu,' ucapnya panjang lebar.
"Terus aku harus gimana Tan, memang ada satu hal yang bikin aku benar-benar kecewa," ucap Nara pelan, menyuruh pria itu untuk tidur di luar adalah naluri dari rasa sakit hati yang ditorehkan oleh sang suami, namun sebenarnya dia tidak benar-benar benci. Andai saja suaminya bisa sedikit memaksa mungkin dia akan luluh juga.
'Semua keputusan ada di tangan kamu Nara, kalian sudah cukup dewasa untuk membedakan mana yang salah dan mana yang benar, jangan saling menyakiti untuk alasan kasih sayang, lebih baik katakan, apa yang kamu inginkan, katakan tidak apa-apa.' Sang Tante terdengar memberi wejangan.
"Malu lah Tan, masa aku duluan yang ngomong kalo mau apa-apa," ucap Nara keberatan. Dan tantenya itu bilang harus ada yang mengalah di antara mereka berdua, perempuan itupun mengiyakan.
Nara menurunkan ponsel dari telinga, kemudian meletakannya di atas meja, perempuan itu merebahkan dirinya di atas kasur dan merenung, apa yang harus ia katakan pada sang suami jika bertemu esok hari, haruskah ia minta maaf?
Belum sempat menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri, suara pintu terbuka membuatnya reflek memejamkan mata, berbaring miring dan pura pura tidur saja.
Perempuan itu merasakan seseorang naik ke atas ranjang di belakangnya, dan entah kenapa dia jadi berdebar, hingga pelukan dari belakang yang merapatkan tubuhnya dengan seseorang membuat ia kemudian menahan napas.
"Aku tau kamu belum tidur." Jino berucap lirih, semakin merapatkan tubuhnya dengan punggung sang istri yang terasa hangat. "Maaf," imbuhnya lagi.
Nara menggigit bibirnya gusar, entah senang atau masih kesal, akhirnya dia memutuskan untuk berbalik dan saling berhadapan dengan suaminya.
Pelukan Jino setengah terlepas, tatapan keduanya bertemu. Dalam jarak sedekat itu, Jino sedikit menahan napasnya yang mulai memburu.
"Maaf untuk yang mana, salah kamu banyak Bang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Marriage (Tamat Di KbmApp)
RomanceJino Sadewa dan Naraya Putri terpaksa harus menggantikan posisi saudara kandung mereka yang kabur dari pernikahan, demi menjaga nama baik keluarga, apakah pernikahan mereka yang dilandasi dengan keterpaksaan akan berlangsung lama. Dan bagaimana kesu...