Jino sebenarnya sudah terbangun lebih dulu, dan puas memandangi sang istri yang terlelap, berbaring miring di hadapannya, saat perempuan yang telah ia ambil kegadisannya itu memberikan tanda-tanda akan terjaga, dia pura-pura masih tidur dengan memejamkan mata.
Pria itu merasakan sentuhan halus dari kening hingga ujung hidung, kemudian berhenti di permukaan bibirnya, dia tidak tahan untuk tidak tersenyum.
Nara reflek menarik ujung telunjuknya dari bibir sang suami, yang nyaris semalaman tidak pernah berhenti menjamah bagian tubuh yang ia sukai, saat ternyata senyum geli tercetak di sana. "Ih, kamu ternyata udah bangun," tegurnya.
Senyum Jino berubah jadi tawa kecil, dan semakin geli saat wanita di hadapannya itu terlihat kesal, "ngapain si, kamu takut idung aku ilang?" godanya.
Tidak ada tanggapan dari sang istri yang memilih terdiam dengan pikirannya sendiri, Jino mengangkat sebelah tangannya dan merapikan anak rambut dengan menyelipkan di balik telinga. "Masih sakit?"
Pertanyaan itu semakin membuat wanita di hadapannya tidak mau bersuara, pipi yang bersemu merah dengan sorot mata serba salah membuat pria itu tau, istrinya tengah malu.
Masih terlalu pagi untuk membahas kegiatan yang mereka lakukan semalam, pengalaman pertama bagi keduanya yang sama-sama masih meraba, dan hanya mengandalkan naluri dari apa yang mereka suka, yang ternyata rasanya begitu luarbiasa.
Jino mengakui mungkin itu akan menjadi kegiatan baru yang ia suka saat bersama wanita itu, entah sejak kapan dia mulai menyadari tentang kebutuhan yang perlu disalurkan, dan sepertinya pria itu juga harus belajar untuk mengendalikan diri, karena hanya melihat pundak terbuka dari sang istri yang ia tahu tidak mengenakan apa-apa di balik selimut mereka, dia kembali ingin melakukannya.
"Mandi sana." Jino mengutarakan sebuah perintah, pria itu menolehkan pandangannya pada jam dinding yang menunjukan pukul setengah lima. "Solat subuh," imbuhnya setelah kembali mengarahkan tatapan pada wanita di hadapannya.
"Imamin ya."
Sejenak permintaan itu membuat Jino terdiam, sudah sejauh ini keduanya jadi sepasang suami istri, dan ternyata bukan hanya urusan bersenggama, karena bahkan menjadi imam solat istrinya saja dia belum pernah, dan dia mera bersalah.
"Iya," ucap Jino, disusul dengan senyum manis setelahnya.
Beberapa saat setelah mereka sudah membersihkan diri dan solat bersama, Nara sibuk memperhatikan bagian lehernya di depan kaca, dan tampak menghitung ada berapa tanda merah yang tercetak di sana.
Jino mendekat dan ikut menatap pantulan mereka di depan cermin, "Kenapa?" tanyanya pada bayangan sang istri yang juga menatapnya.
Nara menoleh, "ini gimana nutupinnya, aku malu," ucap wanita itu.
Dan keluhan istrinya malah membuat Jino sedikit tertawa, pria itu menyingkap rambut panjang wanita di hadapannya dan mengerutkan dahi saat mendapati banyak tanda merah di sana.
Jino sendiri bingung, kenapa dia bisa teramat suka dengan bagian itu, dan rasa gemasnya ia salurkan dengan memberikan tanda yang pagi ini terlihat membiru di kulit leher istrinya. "Ini sakit nggak sih?" dia kemudian bertanya.
"Lumayan," jawab Nara yang kembali mengarahkan pandangannya pada cermin, "nanti aku bikin di leher kamu kalo mau ngerasain," ucapnya mengancam.
Namun suaminya itu malah tertawa, "boleh-boleh," balasnya yang mendapat lirikan kesal dri pantulan wajah cantik sang istri di dalam kaca.
Wanita itu mengambil salah satu alat make up di atas meja, mengeluarkan isinya dan mengoleskan pada tanda merah di lehernya, dia tersenyum saat berhasil menyamarkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Marriage (Tamat Di KbmApp)
RomanceJino Sadewa dan Naraya Putri terpaksa harus menggantikan posisi saudara kandung mereka yang kabur dari pernikahan, demi menjaga nama baik keluarga, apakah pernikahan mereka yang dilandasi dengan keterpaksaan akan berlangsung lama. Dan bagaimana kesu...