[Menata untuk Meniti]

196 23 1
                                    


Pagi buta, Felinda menyalakan motor maticnya. Jaket tebal melekat di tubuhnya, sementara tas ransel yang berisi dokumen tes tergantung di bahunya. Ibunya berdiri di depan rumah, mengantarnya dengan tatapan penuh harap sekaligus cemas. Felinda pergi seorang diri, tanpa ada Era yang menyertai. Adik sepupunya sedang ada jadwal kuliah hari ini.

"Hati-hati ya, Lin. Jangan lupa kabari Ibu kalau sudah sampai," pesan ibunya sambil menepuk pundaknya pelan. Felinda mencium punggung tangan ibunya; meminta restu. 

Felinda mengangguk. "Iya, Bu. Doain lancar, ya."

"Assalamu'alaikum," kata Felinda melongokkan tubuhnya ke belakang. 

"Wa'alaikumussalam!" 

Ia berkendara seorang diri, menembus dinginnya udara pagi yang masih gelap. Jalanan relatif sepi, hanya beberapa kendaraan melintas. Dengan bantuan Google Maps dan sedikit ingatannya tentang Surabaya, Felinda berhasil sampai tanpa hambatan.

Setibanya di lokasi, ia memarkir motor, lalu mencari tempat untuk duduk sejenak. Ia mengambil ponselnya dan langsung mengabari ibunya, jika dirinya sudah sampai di lokasi tes. Kemudian saat sedang memeriksa dokumen, ponselnya berdering. Nama Kak Fariz muncul di layar.

"Assalamu'alaikum, Kak," sapa Felinda saat mengangkat telepon.

"Wa'alaikumussalam, Dek. Lagi di mana?" tanya Fariz dengan nada lembut.

"Di Surabaya, Kak. Mau tes CPNS," jawab Felinda sambil menyelipkan berkasnya ke dalam map.

"Oh, semangat ya. Semoga lancar," ujar Fariz. Namun, nadanya berubah lebih santai. "Tapi, Dek, aku kangen."

Felinda terkekeh kecil. "Sini aja, Kak. Ke Jawa. Sekalian ketemu."

Fariz tertawa pelan di ujung sana. "Kalau gitu, aku mau cepet-cepet halalin kamu, biar bisa ketemu tiap hari."

Felinda menggeleng kecil meski ia tahu Fariz tidak bisa melihatnya. "Silakan aja, Kak. Tapi aku masih fokus sama tes ini dulu."

Percakapan berlanjut dengan candaan ringan. Saat Fariz memanggilnya dengan sebutan sayang, Felinda hanya menanggapinya dengan kekehan. Di sudut hatinya, ia bertanya-tanya mengapa panggilan itu tak membawa debaran yang biasa dirasakan perempuan lainnya. Ia mencoba membuka hati, tapi rasa itu tak kunjung hadir.

Tiba-tiba suara ibunya terdengar di latar belakang. Felinda segera pamit. "Udah dulu, ya, Kak. Tesnya mau dimulai. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Semangat ya, Dek."

Felinda mengakhiri panggilan dan menghela napas. Ia menyimpan ponselnya, memastikan semua dokumen sudah lengkap, lalu melangkah menuju gedung tempat tes berlangsung.

Di dalam ruangan, rasa gugup mulai menyergap. Namun, Felinda mengingat pesan ibunya dan doa yang terus mengalir dari orang-orang yang mendukungnya. Ia tahu, ini adalah langkah awal menuju masa depan yang lebih baik.

~~~~~

Setelah menyelesaikan tes CPNS yang berakhir sekitar waktu Dzuhur, Felinda menghela napas lega. Meski lelah, ia merasa sedikit lega karena salah satu tahap telah terlewati. Sewaktu mengerjakan tes CPNS tadi, Felinda merasa cukup percaya diri. Soal-soalnya bisa ia pahami, meskipun ada beberapa yang sempat membuatnya ragu. Namun, saat hasil skor muncul di layar, senyumnya perlahan memudar. Skor yang ia peroleh belum mencapai passing grade—hanya nyaris saja.

Felinda menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Masih belum cukup... tapi aku sudah berusaha," gumamnya pelan. Ia menatap layar untuk beberapa saat sebelum akhirnya bangkit dari tempat duduk dan keluar ruangan tes.

Kusempurnakan Separuh AgamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang