Prolog

544 22 1
                                    

Bunyi decit ban mobil yang direm mendadak terdengar keras dan mengagetkan orang-orang yang berlalu lalang di pinggir jalan siang itu. Dalam waktu bersamaan, teriakan kencang dari arah berlawanan membuyarkan keheningan, suasana terasa gaduh. Lalu lintas macet, perjalanan terhambat langkah-langkah yang mendekati lokasi kejadian.

Wajah-wajah tegang dan tercengang menahan napas saat bagian depan mobil menyentuh satu tubuh yang berdiri di tengah jalan. Tidak! Hampir saja. Jika saja sang supir tidak menguasai kemudi, dua centimeter lagi, mobil itu pasti melayangkan nyawa seseorang.

Brugh!

Beberapa detik kemudian, tubuh itu lunglai, lalu ambruk. Seperti daun luruh ke bumi dan tidak bergerak lagi. Dengungan di pinggir jalan kembali terdengar. Bukan, dia bukan tertabrak mobil itu, melainkan terjatuh sendiri dengan tubuh yang bergetar.

Beberapa orang mendekati mobil dan tubuh. Sebagian memandang ke arah kaca depan mobil untuk melihat pemiliknya. Samar, wajah-wajah di dalamnya tampak menahan napas, tidak bisa menyembunyikan ketegangan. Sepertinya, mereka risau akan penghakiman massa yang mengerubungi. Orang yang penasaran menyemut.

Tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya berkaos merah beranjak ke sisi kiri mobil, lalu mengetuk pintu kaca. Tak perlu lama, kaca terbuka perlahan. Seraut wajah dingin berjaket hitam menatap si pengetuk. Di sebelahnya, lelaki bertopi putih di belakang kemudi dengan suara lirih memintanya mengatasi masalah. Lelaki berjaket  itu keluar dari mobil.

"Mas, tolong, kamu angkat cewek itu! Bawa ke rumah sakit. Mungkin dia terluka."

"Tapi, Pak. Kami enggak menabraknya. Bapak tadi lihat 'kan? Cewek itu jatuh setelah mobil berhenti," sanggah lelaki berjaket itu sambil menatap lelaki di depannya.

Laki-laki paruh baya itu tidak menjawab, tangannya dengan cepat menarik si jaket hitam mendekati kerumunan. Seorang perempuan berjilbab merah tengah memangku kepala gadis muda yang terjatuh dan pingsan tadi. Beberapa suara terdengar kasak-kusuk membicarakan kejadian tadi.

Mobil itu enggak nabrak tuh cewek. Tau-tau dia jalan aja nggak tengok kanan-kiri. Gila kali.

Padahal jalanan rame begini, ngapain tuh anak nyebrang? Mau bunuh diri? Sayang amat yak?

Untung tuh supir jago bawa mobilnya, coba kalo enggak pakem, mati dah tuh bocah!

Nada-nada keheranan membalut ungkapan mereka. Tidak ada seorang pun tahu siapa dia dan menyadari kehadiran si gadis di lokasi hingga kejadian itu terjadi. Laki-laki berjaket hitam menoleh ke arah temannya yang memperhatikan sejak si jaket hitam keluar dari mobil. Mereka saling memandang, hingga akhirnya lelaki di dalam mobil mengangguk. Si jaket hitam seperti memahami gerakan kepala sang teman, lalu dia kembali menatap perempuan itu.

"Mbak ini saya bawa ke rumah sakit aja, Pak. Tolong bantu angkat ke mobil saya!"

Si jaket hitam bergerak cepat menuju mobil dan membuka pintu, tiga orang laki-laki kemudian membantunya menggotong gadis itu. Bapak tua berkaos merah menawarkan diri menemani ke rumah sakit, tetapi si jaket hitam menolaknya.

Perlahan, kerumunan membuyar seiring mobil itu bergerak meninggalkan lokasi tersebut. Satu persatu bergerak ke tepi jalan. Suasana kembali normal walaupun beberapa orang masih memperhatikan mobil hitam yang membawa gadis itu pergi.

****

Mobil dan dua orang laki-laki itu memang membawa si gadis pingsan mengarah ke timur Jakarta. Menjauh dari tempat tadi. Beberapa kali si jaket hitam menoleh ke belakang, memperhatikan wajah perempuan itu. Dia tersenyum simpul, seperti ada sesuatu yang terlintas di benaknya. Tak lama kemudian, tangan kokoh itu meraih ponsel di balik jaketnya. Satu nomor kontak yang sangat dikenalnya sudah dihubungi. Entah dengan siapa dia berbicara, hanya saja setelah perbincangan selesai, si jaket hitam menoleh ke arah laki-laki yang memegang kemudi.

"Bro, bawa ke titik kumpul. Enggak perlu ke rumah sakit. Bahaya kalau kita bawa dia ke sana. Bakalan ada pertanyaan. Belum lagi kalau polisi curiga."

Laki-laki bertopi putih yang membawa kemudi terkekeh, tetapi pandangannya tetap lurus ke depan jalan. Codet di pipi kirinya terlihat jelas. "Lu pikir gue sebego itu bawa dia ke rumah sakit? Enggaklah ... Lihat itu, dong! Ini jalan menuju markas kita. Mana ada rumah sakit di jalur ini sampai markas?"

Si jaket hitam tertawa terbahak-bahak. Dia baru menyadarinya setelah memandang ke depan, lantas mengancungkan jempol kanan. Tangan kirinya mengambil sebatang rokok dari kotak penyimpanan, lalu menyalakan dengan penuh suka cita. Lelaki itu kemudian menurunkan sebagian kaca mobil dan mengembuskan asap rokok keluar jendela. Sesekali matanya melirik ke kursi belakang.

Gadis itu terbaring tak sadarkan diri.  Tidak ada identitas yang dibawanya. Blus merah muda dan celana jin biru yang membalut tubuhnya terlihat kusut dan kotor. Rambut panjang hitamnya tergerai berantakan. Meskipun begitu, wajah gadis itu cukup cantik tanpa polesan kosmetik sama sekali. Kulitnya pun tampak bersih. Sesekali tubuh kurusnya bergerak-gerak mengikuti gerakan mobil yang berjalan di aspal yang berlubang-lubang.

Setengah jam berlalu. Mobil keluar dari jalur besar, lalu berbelok ke arah kiri memasuki jalan lebih kecil dan lengang. Rumah-rumah tidak terlalu berdekatan jaraknya. Mungkin kawasan ini belum banyak penghuninya. Kanan-kiri jalan terlihat banyak tanah kosong dengan rumput tinggi tak terurus. Setelah berjalan sekitar satu kilometer, mobil kemudian berhenti di satu bangunan yang pagarnya tinggi kokoh dan hanya terlihat atapnya saja dari luar.

Seorang laki-laki pincang tertatih-tatih membuka gerbang saat si jaket hitam berteriak dan memanggil. Mobil kemudian memasuki halaman dan gerbang pun kembali tertutup rapat. Si jaket hitam dan temannya kemudian keluar dari mobil. Tiga lelaki berpostur tinggi besar yang sedang menikmati kopi di dekat pos penjagaan menyapa keduanya. Mereka kemudian melirik mobil sesaat setelah si jaket hitam bercerita tentang penumpang bangku belakang yang masih terbaring tak sadarkan diri.

Tiba-tiba, seseorang dari dalam rumah besar berjalan mendekati mereka. Melihat siapa yang datang, si jaket hitam segera mendekatinya. Percakapan lima lelaki itu terhenti.

"Bos, gadis itu ada di mobil. Masih pingsan. Cantik dan daun muda. Kayaknya cocok nih, buat jadi koleksi terbaru."

Orang yang disebut bos itu menatap sekilas, lalu melangkah menuju mobil. Pandangannya terpaku saat menatap perempuan muda di depan. Tangannya perlahan menyibakkan rambut yang menutupi wajah si gadis. Senyuman misterius terlukis di wajahnya. "Selamat datang, Cantik!" gumamnya nyaris tak terdengar.

** Bersambung **

Yeey, setelah sekian purnama, akhirnya naskah ini kembali saya sentuh. Insyaallah, saya janji ya, bakalan nyelesaiin sampai tamat. Udah ditunggu penggemarnya #serasabanyakyangbaca.

Setelah rapiin outline dan beatsheet-nya di sela-sela dampingi teman-teman di kelas khusus komunitas 30 Hari  Berkarya. Sama-sama belajar dan memantapkan naskah. Tidak ada yang lebih pintar, semuanya pasti bisa, hanya saja jalan berbeda.

Selain prolog yang diubah, judul pun saya ganti meskipun masih ada kata. Soledadnya. Supaya teman-teman yang pernah membaca masih merasakan benang merahnya. Jika semula berjudul Hati Soledad, kini berubah menjadi Viaje de Soledad yang artinya Perjalanan Soledad atau Perjalanan Sepi (Soledad).

Oke, jangan lupa vote, komentar, dan masukkan kisah Soledad ini ke perpustakaan teman-teman ya! Insyaallah, kita akan sering bersua kembali..

Love love
Irma Syarief

VIAJE DE SOLEDAD [21+] (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang