4. Kenangan

131 9 0
                                    

Lima belas tahun yang lalu ....

"Maryam, jangan ke situ! Nanti kakinya kena semak belukar. Bisa tergores. Sini, Dek! Tungguin Mbak! Aduh, nih anak perempuan kok, ndak bisa diem ya? Dek ... tunggu dulu!"

Gadis kecil itu berhenti berlari riang, lalu menoleh ke belakang. Bibir mungil menyunggingkan senyuman. Lantas melambaikan tangan kurusnya. Matanya yang indah dibingkai alis tipis digerakkan ke kanan kiri menggoda perempuan yang memanggilnya. Kaki kecil dan ramping berlari kembali di atas pematang antara kebun dan sawah, lalu berhenti setelah jaraknya sedikit jauh.

"Mbak Ningsih, ayo buruan! Bapak pasti nunggu kita," teriaknya.

Perempuan yang dipanggil Mbak Ningsih berjalan dengan cepat. Peluh membasahi dahi dan baju bagian belakang. Bibirnya sedikit ditekuk. Si kecil Maryam tertawa lebar saat kakak sulungnya itu mendekat. Dadanya naik turun dengan napas yang memburu.

"Dek, kamu ini ngerjain Mbak aja deh! Bukannya jalan pelan malahan lari-lari. Kalau jatuh atau ada ular gimana?" sungut Mbak Ningsih.

Maryam tertawa lagi. Deretan gigi putih terlihat bersih dan rapi. Rambut panjangnya yang hitam lurus bergoyang tertiup angin. Mbak Ningsih tersenyum. Kemarahan tadi hanya pura-pura. Tak pernah sedikit pun rasa benci hinggap di hati untuk adik tercintanya. Purnama yang selalu bersinar, sebutan Mbak Ningsih untuk adiknya yang nomor dua itu.

Walaupun kakaknya sering marah, tetapi Maryam tahu jika Ningsih adalah orang yang sangat baik dan perhatian kepada adik-adik semua. Bawel dan cerewet karena sayang. Tentu saja, mereka sedarah. Namun, kalau melihat perempuan ini memperlakukan orang lain yang bukan keluarga saja begitu baik, bisa jadi tanpa ikatan darah pun Mbak Ningsih adalah orang yang peduli kepada siapa pun.

Mbak Ningsih seperti itu disebabkan dia anak paling besar dan berperan sebagai pengganti ibu mereka yang sudah meninggal lima tahun lalu. Amanah yang cukup besar dan berat dipikulnya. Saat Ibu meninggal, usia Mbak Ningsih baru dua belas tahun, Mas Topan sepuluh tahun, Maryam lima tahun, dan terakhir si ragil, Sarah baru saja menginjak usia setahun.

"Mbak, lihat! Ada Pakde Darmo."

Maryam menunjuk ke arah lain. Serta-merta Mbak Ningsih mengikuti telunjuk adiknya. Tidak jauh dari tempat mereka berdiri, terhalang beberapa petak sawah kosong yang sudah siap ditanami, tampak seseorang tengah membajak sawahnya. Selain itu, ada pemandangan lain yang membuat Maryam senang. Banyak burung kuntul datang ke persawahan dan mencari makan. Unggas itu berbaur dengan petani saat masa tanam tiba. Simbiosis mutualisme. Kawanan burung kuntul mematuk katak, ikan kecil, dan binatang lain di tanah yang basah.

Maryam berteriak memanggil orang tersebut. Seorang laki-laki tua dengan caping di kepalanya menoleh ke arah Maryam dan Mbak Ningsih. Tangannya melambai membalas panggilan gadis kecil itu. Maryam menangkupkan kedua tangannya di depan mulut, lalu berteriak kencang. Kawanan burung kuntul tersentak kaget, sebagian terbang, lalu hinggap di area yang lebih jauh. Gadis kecil itu tertawa.

Mata Maryam beralih menatap langit biru. Matahari pagi sudah tersenyum sejak beberapa jam yang lalu. Panasnya belum seberapa. Masih hangat menerpa kulit. Hamparan sawah dan bau dedaunan basah menguar hingga rongga penciuman. Di sana, Gunung Merbabu menyimpan rahasia segala kisah kehidupan tetap berdiri kokoh dan angkuh menembus langit. Sublim dari Sang Maha Pemilik Hidup.

Maryam sangat menyukai aroma pagi yang indah dan syahdu. Pohon dan ranting yang bergerak tertiup angin sepoi seolah bertasbih memuji keagungan Sang Pencipta. Tenang dengan gairah cinta yang tulus dari orang-orang yang ada di sekelilingnya. Sebuah larik kehidupan yang hadir dari masa ke masa.

Gadis kecil itu tiba-tiba teringat ibunya. Rasa rindu menyeruak dari palung hati yang terdalam saat melihat seorang ibu, tetangga beberapa rumah tengah menyuapi anaknya dengan penuh kasih sayang sebelum turun ke sawah. Ibu, wanita terkasih yang begitu banyak meninggalkan jejak nyata pada sosok Maryam. Wajah, kulit, rambut, bahkan senyum beliau hadir menyusup dalam diri anak gadisnya yang masih belia. Bahkan Mbak Ningsih selalu bilang, melihat Maryam seolah memandang Ibu yang cantik.

VIAJE DE SOLEDAD [21+] (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang