Sore itu Soledad keluar dari apartemennya. Sebuah niat hendak ditunaikan. Sedan mewah miliknya dikemudikan menuju arah taman kota. Tepatnya ke kawasan Monas. Gadis itu ingin menemui Epan dan Arni. Dia berjanji untuk bertemu keduanya jika sedang libur dari pekerjaan.
Mendekati Monas, Soledad mengurangi laju kecepatan kendaraannya. Mobil berjalan perlahan. Mata gadis itu begitu awas meneliti satu persatu kumpulan anak-anak yang bergerombol. Bahkan para pengamen dan anak perempuan penjual tisu bertubuh mirip Epan dan Arni di sepanjang jalan pun tak luput dari perhatiannya. Dia menyelisik dengan cermat takut ada yang terlewatkan.
Soledad teringat omongan Epan. Jika sore hari mereka sering berada di sekitaran kawasan Monas, Tugu Tani, atau Senen. Baru malam harinya mengais rezeki di daerah Kebon Sirih.
Soledad menggelengkan kepala. Mereka anak-anak yang tangguh, pikirnya. Dengan modal kaki dan tekad kuat, Epan, Arni, dan anak pengamen serta penjual tisu lainnya menantang pancaran garangnya matahari dan bahaya yang mengintai. Siang dan malam. Kehidupan jalanan Jakarta sebenarnya sangat tidak layak untuk dunia mereka. Terlalu banyak ancaman yang datang. Namun, tuntutan perut ternyata lebih menakutkan dari bahaya itu sendiri.
"Kemana mereka?" gumam Soledad sambil melemparkan pandangan ke kiri menyusuri trotoar jalanan.
Gadis itu hampir saja putus asa. Kacamata hitam yang membingkai mata indah tidak bisa menyembunyikan kegelisahan hati. Wajahnya sesekali menengok ke arah kiri mobil sementara tangannya berada di atas kemudi. Soledad sengaja melambatkan laju mobil di depan halte seberang Monas. Matanya tetap mencari dengan penuh harap.
Hingga akhirnya dari kejauhan terlihat sosok kecil berjalan membawa kantong hitam. Di belakangnya anak laki-laki berkulit hitam gempal berambut kaku mengiringi langkah. Epan dan Arni.
Mata Soledad berpendar. Hatinya senang. Melihat kedatangan mereka seolah menghapus rasa risau. Soledad menepikan mobilnya. Baru saja dia hendak membuka pintu, terdengar teriakan Arni. Gadis itu segera menoleh. Di sana, lima meter dari tempatnya berada, tiga orang preman berbadan besar memaksa meminta uang pada Epan. Arni mencoba menghalau, sayang usahanya sia-sia. Badan ringkih dan kecil miliknya begitu mudah disingkirkan oleh salah satu preman.
Soledad segera bertindak. Besi pengunci setir yang teronggok di bawah kaki diambilnya lalu dia mengunci pintu mobil. Kaki gadis itu mendekati Arni dan para preman. Jantungnya berdetak cepat. Adrenalin meningkat membuat Soledad waspada dengan kondisi di depan mata.
"Apa yang kalian lakukan?"
Sontak para preman itu menoleh ke arahnya. Wajah-wajah dekil jarang tersentuh air menyeringai. Mata geram mereka melotot seolah tidak suka saat perburuan terganggu orang lain. Gemeretak gigi-gigi kuning beradu. Hampir saja Soledad muntah saat tercium bau yang menguar dari tubuh mereka. Raga kotor yang tidak bertemu sabun pewangi seminggu lamanya. Belum lagi tato yang menghiasi lengan mereka.
"Ada yang mau buat keributan rupanya? Apa harus kutelepon pihak berwajib? Atau ... mau dicium kunci besi ini?" ancam Soledad tegas dengan mata awas.
Pandangan dan perhatian para preman itu terpecah. Mereka mencoba mendekati Soledad. Arni dan Epan diam ketakutan. Wajah mereka kelihatan pias. Namun, saat Soledad mengedipkan mata isyarat agar tenang dan tidak takut, kedua anak itu mengangguk dan beringsut menepi.
"Hei, Nona Cantik, gue hanya mau minta jatah aja ama mereka. Jangan ikut campur ! Atau ... serahin aja dompet lu!" Tiba-tiba salah satu dari mereka yang berambut keriting mengeluarkan pisau belati dari sakunya.
Soledad menatap tajam si keriting. Sementara dua temannya--si kepala botak dan berambut gondrong-- mengelilingi Soledad. Jalanan saat itu lengang dan tempat gadis itu berdiri merupakan trotoar yang terhalang tanaman penghias jalanan. Sedikit tertutup dan tak terlihat.
Arni dan Epan waswas. Keduanya khawatir Soledad akan terluka. Diam-diam mereka berjalan perlahan lantas berlari kencang di saat ketiga preman-preman itu lengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIAJE DE SOLEDAD [21+] (On Going)
RomansSoledad, gadis cantik yang memiliki impian indah setinggi langit biru. Banyak rencana yang sudah terpatri di hati saat langkah kakinya menjauh dari keluarga dan kampung halaman. Sayang, asa itu lenyap dan mengempaskannya menjadi kupu-kupu malam. Bu...