8. Masa Lalu

68 5 0
                                    

Anak muda itu terpaku dengan pandangan kaget. Kakinya melangkah mundur satu langkah. Perasaannya mengatakan dia dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Pintu kamar, satu-satunya tempat keluar, sangat mustahil dijangkau.  Ketakutan menggelayut dalam dada.

Tepat beberapa langkah di depannya, seorang laki-laki tinggi besar bertopi hitam menatap tajam dengan seringai yang menakutkan. Di tangan kanan, sebilah pisau berkilatan terkena sinar lampu siap merobek kulit, sementara tangan kirinya terlihat mengepal kuat. Debaran jantung anak muda itu semakin kencang menjalari relung hati. Kakinya begitu berat untuk melangkah. Namun, dia harus menghindari sebuah ancaman yang akan merenggut nyawa.

Anak muda itu kembali mundur perlahan, kedua tangannya bergerak meraba benda apa pun yang bisa dijadikan senjata untuk melindungi diri. Sayang, laki-laki besar itu semakin mendekatinya dan bergerak secepat kilat tanpa disadari. Tangan kanannya terayun. Begitu dekat, sangat dekat sekali. Raga mereka bersentuhan. Bahkan dia bisa merasakan embusan kuat napas berbau rokok dari mulut lelaki bertopi itu.

Hening. Sejurus kemudian, dia merasakan perih di bagian bawah. Rasanya ada yang salah dan tidak dia pahami. Namun, otaknya kembali merespon setelah beberapa saat. Dengan pandangan nanar dia memandang ke bagian perut yang terasa sakit. Dari balik baju yang dipakainya, mengalir rembesan cairan kental berwarna merah. Makin lama makin banyak. Laki-laki besar itu tertawa keras. Anak muda itu hanya terpaku sejenal kemudian tumbang ke bumi.

*****

Bintang membuka mata dan bangun dari pembaringan dengan napas yang memburu. Tenggorokan serasa tercekik. Matanya kemudian beralih ke bagian perut, tanpa sadar dia meraba bagian tubuh itu. Tidak ada yang sakit atau berdarah. Bintang mengembuskan napas lega. Tangannya mengusap rambut. Keringat dingin sebesar biji jagung membasahi baju dan juga dahi.

Mimpi buruk itu datang kembali. Bintang mengusap peluh, lalu memejamkan mata. Lantunan zikir keluar dari mulutnya. Setelah merasa tenang kembali, dia membuka mata dan menoleh ke arah jam beker yang berada di atas meja samping tempat tidur. Pukul 02.45 dini hari.

Masih malam dan manusia-manusia lain pastinya sudah lelap terbuai mimpi. Suasana hening menyelimuti ruang kamar kecil dan gelap itu. Penerangan hanya ada dari ruangan depan dengan lampu sepuluh watt yang sinarnya menyelusup lewat lubang angin di atas pintu. Kipas angin tidak berfungsi. Sementara di luar, tetesan hujan tercurah dengan deras dari langit. Dedaunan serta batang pohon bergoyang dan berderak-derak dipermainkan air serta angin. Sekilas riak-riak itu menghasilkan siluet bayangan hitam yang menggetarkan jiwa.

Laki-laki itu terjaga. Dia hanya bisa duduk di bibir ranjang. Sulit baginya untuk kembali tidur dengan nyaman. Rasa kantuknya menguap. Dia beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu yang dikuncinya. Pelan sekali. Bintang takut suara derit pintu yang terbuka akan mengganggu penghuni indekos yang lain.

"Mas Bintang mau salat tahajud?" Sebuah pertanyaan yang lembut mengagetkannya.

Bintang mengangguk. Dia tahu siapa pemilik suara itu tanpa harus melihat. Laki-laki itu menoleh ke belakang, lalu tersenyum. Seorang perempuan paruh baya dengan mukena putihnya tersenyum lembut. Bintang menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Iya, Umi. Sekalian mau ke dapur dulu. Haus rasanya. Udara kok panas, ya? Padahal hujan."

"Panas ya, Mas? Hujan gini, lho. Umi kedinginan malahan. Ya, sudah sana minum dulu! Umi mau nerusin ngaji. Barusan abis dari kamar mandi belakang. Kebelet!" Umi Nung tertawa kecil.

Bintang menggangguk. Langkahnya ringan. Umi sudah kembali ke ruangan utama. Sayup-sayup terdengar suara laki-laki mengaji. Abi Hasan, suami Umi Nung rupanya sedang membaca Al quran.

Rumah Umi Nung dan Abi Hasan di daerah Gondangdia cukup besar dan asri. Semenjak anak-anaknya selesai kuliah dan mendapatkan pekerjaan di luar kota, rumah itu menjadi sepi. Banyak kamar yang kosong. Apalagi di bagian belakang rumah utama ada tanah kosong. Sedikit renovasi akhirnya rumah itu dibuat indekos untuk mahasiswa dan karyawan.

Pilihan Umi Nung dan Abi Hasan tidak salah. Mereka memanfaatkan ruang kosong untuk menampung mahasiswa dan karyawan yang butuh hunian. Di sekitar Gondangdia terdapat banyak kampus dan kantor penting. Bahkan ke gedung Balai Kota dan DPRD DKI Jakarta saja bisa ditempuh dengan hitungan menit.

Tak hanya itu, perjalanan menuju kampus UI dan RS Cipto Mangunkusumo di Salemba cukup dekat. Berbagai akses menuju tempat -tempat penting pun mudah dicari seperti Tanah Abang, Istana Negara, kantor kedutaan beberapa negara sahabat, Masjid Istiqlal, Gereja Khatedral, dan stasiun kereta api. Ada Stasiun Gambir jika hendak keluar kota atau Stasiun Gondangdia, Senen, dan Cikini untuk seputaran Jabotabek. Bahkan dari stasiun Gambir tersedia bus Damri yang salah satu rutenya menuju Bandara Soekarno-Hatta.

Maka tak heran, saat pertama kali rumah Umi Nung dibuka untuk indekos, banyak orang yang tertarik. Namun, Umi tidak sembarang menerima orang yang hendak menyewa kamarnya. Harus ada KTP asli, surat nikah asli untuk pasangan, serta memiliki perilaku yang sopan dan baik menjadi syarat utamanya. Bintang salah satu orang yang mujur menempati rumah Umi Nung yang tidak pernah sepi dari lantunan ayat-ayat suci.

Bintang membuka lemari pendingin. Satu botol air mineral ukuran besar diraihnya. Tangan Bintang mengambil gelas dan mengisinya dengan air dingin. Sambil duduk laki-laki berusia 28 tahun itu meneguk air. Tenggorokannya terasa segar. Matanya memandang jendela belakang yang tak tertutup gorden. Air hujan turun dengan deras melewati genting tanah liat penutup atap beranda belakang dan menimbulkan suara khas.

Dia termenung. Rangkaian mimpi buruk beberapa bulan ini mengusik ruang kalbu. Seolah ada ikatan kuat antara dirinya dengan orang yang selalu hadir dalam mimpi. Bintang penasaran dan berjanji akan mencari tahu misteri di balik mimpinya itu. Dia percaya, mimpi bukan hanya sekedar bunga tidur tapi bisa menjadi petunjuk dalam hidupnya.

Jam dinding berdentang tiga kali. Bintang tersadar dari lamunannya. Laki-laki berhidung mancung dengan rambut sedikit ikal itu bangkit dan beranjak menuju kamar mandi. Berniat membersihkan tubuh sekalian berwudu. Badannya terasa lengket karena peluh. Waktunya untuk bermunajat kepada Allah Sang Pemilik Kehidupan. Bintang mempunyai hajat untuk hidupnya.

Hujan masih turun dan semakin deras. Kali ini Bintang merasakan hawa dingin menyentuh kulit. Walaupun Jakarta berudara panas, tetapi beberapa bulan ini jika hujan turun serasa tinggal di daerah yang berhawa sejuk. Laki-laki itu merapatkan sarung yang membungkus tubuh bagian bawah.

Sejadah sudah digelar. Pikiran serta jiwanya ditujukan untuk satu titik. Allah SWT. Setiap sujud di rakaat terakhir dia berdoa. Dalam keremangan malam, air matanya merebak. Betapa hidupnya berlalu begitu saja. Sudah banyak waktu yang terbuang percuma. Penyesalan semakin menggunung.

Selesai salat, kembali doa-doa dilantunkan oleh bibirnya. Sebuah harapan kembali diajukan kepada Allah. Sebait doa untuk orang yang dirindukan selama hidupnya. Sosok ibu yang telah meninggalkannya sejak kecil, di saat dirinya sangat rapuh dan haus kasih sayang.

Bintang tidak tahu jejak ibunya. Ada pun sosok bapak tidak ada secuil pun kisah mengenai dirinya. Jangankan cerita, fotonya pun tidak dimiliki oleh Bintang. Sementara ibu kandungnya, Bintang sempat melihat sewaktu Uak Nina memberitahukannya sewaktu kecil.

Uak Nina adalah orang yang merawatnya dari kecil. Walaupun kehidupan kakak sepupu ibunya itu pas-pasan dan harus mengurus enam orang anak, Bintang bersyukur Uak Nina yang janda sangat peduli kepadanya. Memberinya kasih sayang serta perhatian tidak ubahnya seorang ibu kepada putranya. Bintang masih ingat bagaimana dulu Uak Nina membuat dadar goreng dari tiga telor yang dibagi tujuh potong. Anak-anak Uak tidak berebut karena didikan ibunya yang lembut, tetapi tegas.

Terseok-seok, begitu kondisi Bintang remaja dalam menghadapi kehidupannya. Kesabaran dan juga keperihan telah menempa jiwanya. Berbekal ketelatenan dan biaya dari berbagai donatur, akhirnya Bintang menyelesaikan SMA di Bandung. Setelah itu, dia kemudian pamit meminta izin pada Uak Nina dan saudara-saudaranya untuk pergi ke Jakarta mencari kehidupan yang lebih baik. Dengan derai air mata, perempuan paruh baya yang selalu basah dengan air wudu itu melepas kepergiannya.

Perjalanan ke Jakarta membawa sejuta mimpi dan harapan indah. Rencana sudah diatur sedemikian rupa. Dengan bekal seadanya dari uang hasil memecahkan celengan tanah liat ditambah sumbangan tetangga dan Uak Nina, Bintang berkeyakinan kuat. Sayang, harapan dan cita-cita ternyata tidak sejalan dengan kenyataan. Bintang harus menjalani kehidupan lain di belantara Jakarta.

-- Bersambung --

VIAJE DE SOLEDAD [21+] (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang