[Maryam, jangan lupa! Dua hari lagi. Aku jemput kamu. Selepas subuh udah siap ya]
Sumi, teman Maryam sewaktu di SMP mengingatkannya lewat sms. Gadis itu menerima pesan Sumi setelah membantu Mbak Ning mengangkat air di sumur belakang.
Maryam mengembuskan napas berat seraya memandang ponsel model lama yang digenggamnya. Dibandingkan dengan milik Sumi, terlihat jauh sekali perbedaannya. Barang berharga yang dimilikinya seperti tak berguna banyak, hanya bisa sekadar untuk bertukar pesan, tetapi tidak bisa untuk menyenangkan hati, apalagi membanggakan citra diri pemiliknya.
Remaja itu ingat sekali jika ponselnya itu dibelikan Mbak Ning setelah mendapatkan arisan ditambah hasil dagang Mas Topan. Mereka patungan membelikannya untuk kepentingan sekolah Maryam. Itu pun bukan barang yang keluar dari dus baru, melainkan ponsel bekas yang masih bagus.
Kapan aku bisa punya hape seperti Sumi? Bisa dipake buat foto yang bikin cantik. Huft ...
Bagaimana kabar Faris?
Maryam menengadah ke langit-langit kamar. Kepalanya penuh dengan kenangan bersama anak laki-laki itu. Bagaimana pun juga, hatinya belum bisa melupakan. Faris memang baik, tetapi tidak dengan ibunya. Ingin rasanya Maryam mendengar suara Faris, tetapi sayang perasaan sungkan berbalut rendah diri seolah menghalangi.
Sudah sebulan Faris di Jogja, selama itu pula Maryam hanya membantu Mbak Ningsih dan sesekali ke sawah mengantarkan rantang buat bapak ditemani Sarah. Surat dan pesan dari Faris tidak ada yang diresponnya. Baginya, lebih baik sakit hati dari sekarang daripada nanti saat segalanya sudah terlanjur mengikat. Maryam mulai mengikis rasa rindunya kepada anak juragan beras itu.
Seminggu yang lalu, tanpa sengaja Maryam bertemu Sumi di pasar kabupaten. Penampilan gadis itu sangat berbeda sekali. Andaikan tidak ditegur terlebih dahulu oleh Sumi, Maryam tentu saja tidak mengenalnya.
Dulu, Sumi yang dia kenal itu kulitnya hitam dengan rambut panjang dan kucel. Bajunya lusuh dan kumal. Sama seperti dirinya, Sumi anak petani miskin. Bahkan bapaknya Sumi adalah petani penggarap. Dia tidak memiliki sawah seperti Bapak. Kini, anak itu terlihat cantik dan terawat. Bahkan di jarinya terlihat cincin emas berderet. Belum lagi yang menempel di leher dan pergelangan tangan. Rambutnya pun tidak lagi panjang tapi model rambut ala artis yang pernah Maryam lihat di TV, berwarna merah kecoklatan.
Cara berpakaian Sumi pun sangat memperlihatkan gaya anak kota. Baju kaos ketat membentuk tubuh dipadu celana jeans ketat pula membalut kaki. Satu lagi, gigi Sumi yang sedikit maju ke depan kini ada pagarnya. Berjejer kawat terlihat saat dia berbicara. Cara bicara pun udah gaya ala anak Jakarta.
"Gini kalau mau cantik. Mahal tau!" kata Sumi menjelaskan tanpa diminta.
Tubuhnya berlenggak-lenggok layaknya model yang berjalan di depan khalayak, wajahnya berekspresi aneh dengan tangan ditopang dagu. Beberapa orang yang melintasi mereka terlihat heran kepada Sumi. Anak itu hanya melirik sinis.
"Wah, uang kamu banyak ya, Sum?" tanya Maryam polos.
"Iya dong, aku kerja sekarang di Jakarta. Jakarta itu modern enggak kayak kampung kita. Orang-orangnya banyak duit," kata Sumi sambil memilin rambutnya.
Maryam tertarik. Sumi kemudian bercerita banyak. Semuanya terdengar mengasyikan. Seperti itukah tinggal di ibukota?
Dia ingin seperti Sumi. Apa yang dikerjakan sepertinya mudah. Hanya kerja pakai tenaga saja 'kan? Maryam tahu, banyak orang kampung sini yang merantau ke Jakarta menjadi pembantu atau pekerja kasar di pasar atau pelabuhan. Untuk hal ini, gadis itu tidak keberatan. Dia ingin mencari uang agar bisa membantu Mbak Ningsih dan Bapak.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIAJE DE SOLEDAD [21+] (On Going)
RomantizmSoledad, gadis cantik yang memiliki impian indah setinggi langit biru. Banyak rencana yang sudah terpatri di hati saat langkah kakinya menjauh dari keluarga dan kampung halaman. Sayang, asa itu lenyap dan mengempaskannya menjadi kupu-kupu malam. Bu...