9. Warna Baru

58 4 0
                                    

Terdengar suara azan ashar dari Masjid Al Falah. Mengalun syahdu menyelusup ke dalam kalbu. Jemaah sudah bersiap di dalam. Sebagian masih di luar dan mengambil air wudu. Tak lama kemudian ikamah pun terdengar.

Epan dan Arni berlari dengan terengah-engah. Mereka baru saja memasuki gerbang masjid. Peluh membasahi wajah dan tubuh mereka yang sedikit gelap. Matahari dengan garangnya telah membakar kulit dua anak itu. Tangan Arni membawa kantong hitam berisi tisu yang baru saja mereka ambil dari agen. Walaupun demikian, gerakan mereka cukup gesit dan cepat.

"Kak, kita terlambat. Buruan simpan dulu bungkusan sama gitarnya. Arni mau pipis dulu. Enggak tahan." Tanpa menunggu jawaban Epan, Arni berlari menuju sisi kiri masjid khusus toilet wanita. Epan kemudian membawa kantong hitam dan alat untuk mengamennya ke pojok teras masjid dekat tempat penyimpanan alat-alat kebersihan. Sudah biasa anak itu menyimpannya di sana. Cukup aman.

Setelah mengambil wudu, Epan mengambil sarung bersih dari kantong yang dibawa dari rumah. Secepat kilat dipakainya lalu berlari ke bagian saf laki-laki. Dia terlambat satu rakaat. Begitu juga Arni. Namun, kedua anak itu paham dan tahu mereka harus masbuk saat ikut salat berjamaah untuk menambah rakaat yang terlambat tadi. Begitu kata pak ustad yang mengajar di sekolah mengaji.

Selesai salat kedua anak itu kembali ke teras dan bersiap membawa tisu serta gitar kecil milik Epan. Dari pintu masuk masjid, Bintang tersenyum melihat kedua anak itu.

"Epan! Sini" Laki-laki itu memanggil.

Epan menoleh dan tersenyum lebar. Raut wajahnya terlihat senang. Anak laki-laki gempal itu berlari mendekati Bintang.

"Udah makan belum?" tanya Bintang sambil mengacak rambut Epan.

"Tadi siang, Bang. Abis pulang sekolah. Pakai nasi pecel buatan Emak." jawab Epan sambil nyengir.

Bagi anak itu, makanan buatan Emak adalah makanan yang paling enak dari semua makanan apa pun. Seringkali dia membandingkannya dengan makanan dari warteg atau pedagang keliling yang ditemui di daerah Senen atau Kebon Sirih.

"Siang doang 'kan? Mau makan lagi enggak? Temenin Abang yuk!" tawar Bintang. "Ajak Arni ya! Kita makan di sana tuh!" Bintang menunjuk ke arah seberang.

Mata Epan terbelalak. Air liurnya terbit. Tiba-tiba perutnya terasa kosong dan berbunyi seolah minta diisi kembali. Tempat yang ditunjuk Bintang adalah restoran siap saji yang terkenal dan memiliki cabang di seantero negeri dengan ciri khas ayam goreng paling enak. Belum lagi terigu yang membalutnya terasa gurih dan renyah. Sudah lama Epan dan Arni menginginkan ayam goreng dari restoran itu tapi sayang Emak belum bisa membelikannya. Kata Emak harga ayam gorengnya mahal.

"Arni!"

Epan menghampiri Arni yang sibuk menata tisu di beranda masjid. Beberapa orang jemaah tertarik untuk membelinya. Mungkin tepatnya orang-orang itu kasihan melihat gadis kecil itu. Terlihat lusuh dengan pakaian sederhana.

"Ada apa, Kak?"

Arni menoleh. Namun, hanya sekilas. Pandangannya kembali menatap tumpukan tisu. Epan mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga adiknya. Gadis kecil itu langsung semringah menatap Epan dan Bintang bergantian lalu menganggukkan kepalanya. Tangan mungilnya membingkai wajah dengan bibir tersenyum pertanda dia senang seperti kakaknya.

"Ayo, buruan! Tuh, Bang Bintang udah nungguin kita di depan gerbang. Kita makan sedap sore ini. Duh, kita mau makan ayam enak kayak yang di tipi-tipi." Epan menjilat bibirnya membayangkan makanan itu ada di depan matanya.

Arni tidak menjawab. Tangannya menarik paksa tangan Epan. Kakaknya itu masih membayangkan paha ayam yang akan masuk ke mulutnya. Daging yang empuk dan gurih dengan balutan tepung yang renyah. Pastinya enak! Begitu yang terlintas dalam pikiran anak itu. Dari jauh, Bintang tertawa kecil melihat dua kakak beradik. Laki-laki itu sudah duduk di atas jok motor yang akan membawa mereka ke seberang.

Hanya sepuluh menit saja, bertiga sudah berada di dalam ruangan restoran siap saji. Epan dan Arni kagum. Pandangan mata mereka mengitari isi ruangan ini. Bangku plastik merah dan meja kayu ditata rapi. Di pojok kanan ruangan ada meja besar setengah lingkaran dengan kursi yang kelihatan empuk berbentuk setengah lingkaran juga. Di pojok lain sebaris meja panjang yang menempel pada dinding. Orang-orang yang duduk di sana duduknya berjejer. Ada yang main makan sambil main laptop.

"Sstt ... Epan, Arni sini!"

Panggilan Bintang membuyarkan perhatian mereka. Arni dan Epan mendekati Bintang yang berada di depan seorang perempuan berseragam dengan celemek dan topi bergambar ayam. Di belakang perempuan itu ada lemari kaca berisi ayam-ayam goreng hangat yang baru saja diangkat dari penggorengan. Epan dan Arni menelan ludah.

"Mau paket apa? Ayam sama nasi atau ayam sama kentang?"

Kedua anak itu saling berpandangan. Mereka bingung.

"Arni, mau makan apa? Kakak pengen ayam sama nasi tapi pengen nyoba kentang juga. Gimana nih?" bisik Epan di telinga adiknya.

"Ho-oh! Yang penting bikin kenyang. Enak semua ya," jawab Arni tak kalah polos membalas bisikan Epan.

Bintang mendengar perbincangan kedua anak itu walaupun pelan. Dia tersenyum dan memahami kemauan anak -anak.

"Mbak, saya pesan paket ayam nomor dua ya! Yang Crispy aja. Tambahin kentang goreng dua sama minumannya air mineral tiga. Oh iya ...Tambah lagi dua es krim cokelat."

Bintang menunjuk gambar paket makanan yang berisi lima potong ayam dengan tiga nasi yang dibentuk bulat sebesar mangkok sup. Epan dan Arni cekikikan. Mereka akan makan enak hari ini.

****

"Gimana rasanya? Enak? Suka enggak?" tanya Bintang sambil memandang wajah kedua anak itu sesaat kemudian

Epan dan Arni manggut-manggut. Mulutnya penuh dengan makanan. Rasa penasaran terbayar sudah. Rezeki yang datang tanpa diduga. Kedua anak ini menikmati setiap gigitan hingga ke tulang dan serpihan kulit daging yang renyah.

Bintang memandang Epan dan Arni dengan tatapan yang dalam. Hatinya mencelus dan berembun. Mereka, walaupun miskin seperti dia sewaktu kecil, tetap memiliki keluarga utuh. Ada Bapak dan Emaknya walaupun orang tua laki-laki sudah tiada. Sedangkan dia, jangankan keluarga utuh, wajah ayah saja tidak tahu. Ibu pun entah seperti apa sekarang. Hidup atau mati tidak ada yang tahu. Bintang mengusap kelopak matanya. Ada genangan air mata yang hampir saja tumpah di depan anak-anak.

Bintang membawa kembali kenangan lama saat bersama keluarga Uak Nina. Makan bersama dengan potongan telor yang sama rata atau semur sayap ayam berkuah banyak supaya nasinya memiliki rasa. Bintang tidak pernah protes jika jatahnya ternyata habis karena telat makan. Dia cukup mengangguk saat Uak memberinya nasi goreng tanpa kecap dengan bumbu garam dan sedikit mecin.
Setitik embun bening membasahi pipi. Dia rindu Uak Nina yang kini sudah tiada.

Rasa bersalah semakin menyeruak ketika kabar kematian Uak Nina terlambat diterimanya. Di saat dia pulang kembali ke Bandung setelah lima tahun tinggal di Jakarta. Bintang membutuhkan bahu uaknya untuk bercerita dan sekedar melepas kegundahan yang menghimpit jiwa.

"Emak udah enggak ada, Aa. Sakit Ada dua tahun yang lalu. Sebelum emak meninggal beliau menyuruh Neni sama Kang Agam nyariin Aa. Kami bingung mau nyari kemana? Aa di Jakarta kerja apa?"

Neni, anak kedua Uak Nina yang seumuran dengannya, terisak di depan pusara ibunya. Bintang hanya bisa menangis tanpa berkata apa pun. Tangannya mengusap tanah merah yang telah mentupi jasad perempuan yang dicintai. Laki-laki itu sangat menyesal sekali. Ada hal yang tidak bisa dia ungkapkan kepada Neni, Kang Agam, Agus, Rahma, Nina, dan Fandi kemana saja dia selama lima tahun. Hilang ditelan bumi. Terlalu rumit untuk sekedar menjelaskan.

Bintang terkesiap saat matanya menangkap sebuah pandangan di depan restoran. Dia bisa melihat dengan jelas walaupun terhalang dinding kaca. Sebuah sedan mewah memasuki pelataran parkir. Tak lama, keluar seorang perempuan cantik dalam balutan blus berwarna putih gading dengan bawahan rok pendek di atas lutut. Tidak hanya dia seorang tapi ada laki-laki tampan menyertainya. Sikap mereka sangat mesra sekali. Sebuah rangkulan dan tubuh saling menempel erat memperlihatkan hubungan mereka bukan sekedar teman belaka.

Perempuan dan laki-laki itu itu melenggang menuju sebuah toko kue yang berada di samping restoran. Sesekali si laki-laki mencium pipi dan rambut si perempuan. Bagi Bintang, pemandangan itu sudah biasa sejak dia mulai merambah dunia malam di Jakarta. Hanya saja, hatinya penasaran sekali karena dia mengenal perempuan dengan rok di atas lutut tadi.

- Bersambung -

VIAJE DE SOLEDAD [21+] (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang