13. Berita dari Bapak

47 4 0
                                    


Tangan Soledad bergetar dengan air muka yang menegang. Bibirnya yang ranum mengatup rapat. Gelombang dalam hatinya beriak perlahan. Entah kebetulan atau diam-diam Tuhan mendengar harapannya,  sebuah nama yang baru saja dia rindukan datang menghampiri lewat embusan cinta dan berlabuh melalui sambungan telepon jarak jauh. Sebuah ikatan yang kuat membalut dua hati yang berjauhan berpuluh-puluh kilo jaraknya.

Mbak Ningsih!

Gadis itu berpikir sesaat, kemudian memijat nomor kontak kakaknya. Nada sambung pun terdengar. Soledad mengibaskan rambutnya, dengan tanda isyarat, dia meminta kain penutup tubuh kepada Herna. Perempuan berwajah manis itu segera mengambilnya dan menutupi bagian tubuh Soledad, setelah itu dia berlalu.

Tak lama kemudian, terdengar suara halus dengan aksen Jawa yang dia rindukan. Suara Mbak Ningsih tenang dan pelan.

"Assalamualaikum, Dek!"

"Waaalaikum salam, Mbak Ning." Ada keharuan menyelimuti hati Soledad.

"Bagaimana kabarmu?"

"Baik, Mbak."

"Dek, gimana kuliah sama kerjaanmu? Lancar 'kan? Syukur Alhamdulillah. Mbak dan keluarga di kampung selalu mendoakanmu."

Soledad mengembuskan napas berat. Kebohongannya selama ini menjadi bumerang yang akan selalu menyudutkan dirinya kelak.  Perasaannya begitu berat.

"Alhamdulillah, Mbak. Lancar semua."  Ternyata, hanya itu yang mampu diucapkannya.

"Dek, kamu tau 'kan, kami bangga, lho, dengan perjuanganmu bisa hidup di Jakarta. Banyak tetangga kampung yang mau kayak kamu. Mbak ngerasa kalau sekarang orang-orang mulai menaruh sedikit hormat sama keluarga kita. Terima kasih banyak sudah mengangkat kehidupan kami jadi lebih layak."

Suara Mbak Ningsih terdengar semangat dan bangga. Ada rasa senang dalam setiap nada bicaranya. Sebaliknya, Soledad hanya bisa menggigit bibir dengan napas tercekat. Riak-riak kaca di terpampang di mata beningnya. Hatinya terasa mencelus.

Tuhan, apakah ini kebanggaan atau kemunafikan? Soledad semakin merasa tertampar.

"Dek, Bapak pengen bicara sama kamu. Kamu lagi enggak sibuk 'kan?"

Bapak!

"Enggak, Mbak. Ini aku lagi di tempat perawatan tubuh. Kuliah lagi libur. Badan pada pegel. Maklum, kerjaan banyak."

Ponsel di seberang sana sepertinya berpindah tangan. Terdengar suara lain di belakang Mbak Ningsih. Pelan, tetapi Soledad tahu siapa pemilik suara yang berat dan tua itu. Lelaki yang selalu dirindukannya.

"Maryam, ini Bapak, Nduk! Bagaimana kabarmu?"

"Bapak ...."

Soledad tercekat. Air mata mulai menitik. Hidungnya pun berair. Sekuat tenaga dia menguatkan hati dan menjaga suara agar Bapak tidak mendengar isakannya.

"Kamu menangis? Kenapa?"

"Bapak, Maryam kangen Bapak. Cuma ... kerjaan di Jakarta banyak sekali. Maryam kangen Mbak Ningsih dan yang lain," jawab Soledad sambil tertunduk.

"Jaga salat, Nduk! Jangan lupa zikir dan ngaji Quran. Itu saja yang bisa membantu kamu jika rindu kami." Nasihat Bapak seolah godam yang menghantam dada.

Gadis itu mengusap air mata yang tidak bisa dibendung lagi. Luruh sudah semua rasa. Sejak dulu, setiap mendengarkan wejangan Bapak, Soledad selalu tersirep. Suara Bapak tetap lembut dan sabar tanpa amarah walaupun kesalahan anak-anaknya membuat otak mendidih.

Kini, sebuah kebohongan telah dirangkai oleh dirinya. Rangkaiannya semakin panjang dan entah kapan akan selesai. Jelaga hitam dusta yang tertutup atas nama tanggung jawab semakin menebal dalam relung hati. Soledad  merasakan hatinya perih, seolah ada pisau yang menghujam dan merobeknya hingga berdarah. Dia ingin memberikan sebuah berlian kebanggaan bagi keluarga terutama Bapak. Sayang, bukan dengan cara yang baik.

"Jaga dirinya, Nduk! Eling sama Allah. Banyak-banyak istigfar. Bapak berharap kelak kamu bisa menemukan laki-laki yang baik. Moga-moga doa bapak diijabah gusti Allah," doa Bapak semakin menghayutkan perasaan.

Soledad mengangguk. Sadar Bapak tidak akan melihat anggukkannya, gadis itu kemudian mengiyakan dengan suara yang parau. Perlahan dia mengubah posisi tubuhnya.

"Iya, Pak! Maryam di Jakarta baik-baik saja. Doakan supaya kerjaan cepat selesai dan bisa pulang ke kampung."

"Bapak selalu mendoakanmu, Nduk. Beberapa hari yang lalu, bapak bertemu dengan temanmu waktu SMA. Duh, lupa! Siapa tuh namanya? Oalah, Bapak lupa ... yang anaknya Pak Atmo, juragan beras di ujung jalan. Yang tetanggaan sama Mas Bimo, tukang tembakau di pasar."

Dahi Soledad berkerut.
Teman SMA, anak juragan beras di ujung jalan, tetangganya Mas Bimo. Jangan-jangan yang dimaksud Bapak adalah ...

"Kenapa dia, Pak?"

Ada gemuruh dalam dada Soledad. Gadis itu teringat seseorang dengan ciri yang disebutkan Bapak. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori tubuhnya. Titik-titik butiran bening membasahi kening. Ada masa lalu yang mulai menyeretnya untuk kembali mengingat hal yang menyakitkan. Kesedihan dan juga amarah bersatu, hal itu membuat kepalanya sakit.

Apa yang orang itu bicarakan dengan Bapak? Apa mungkin Bapak meneleponnya terkait dengan orang itu? Seribu tanya menggelayuti pikiran Soledad.

"Yang dimaksud sama Bapak itu ... Faris?" tanyanya hati-hati.

"Ya, iya itu. Nak Faris. Bapak baru ingat itu namanya. Gagah sekali anak itu sekarang. Katanya dia sekarang udah kerja di BUMN punya pemerintah di Jogja. Dia nanyain kamu, Nduk!"

"Terus Bapak jawab apa?"

"Ya, Bapak jawab apa adanya. Kamu sekarang di Jakarta, udah kerja nyambi kuliah juga. Bapak lihatin juga foto kamu yang ada di hape Bapak. Nak Faris sepertinya senang sekali."

"Terus?"

"Bapak beri dia nomor telepon kamu, Nduk, waktu dia bilang mau jalin silaturahmi lagi. Enggak kenapa, kan? Lagi pula sekarang kamu bukan lagi Maryam yang pernah ibunya marahin dulu. Maryam yang sekarang jadi kebanggaan Bapak sekeluarga."

Bibir Maryam terkunci rapat. Entah bagaimana nanti ke depannya. Orang di masa lalu, yang ingin dia hilangkan dalam kehidupan untuk selamanya kembali hadir dan Bapaklah yang membawanya.

Gadis itu masih memikirkan percakapan dengan Bapak meskipun mobil telah membawanya menjauh dari The Praba Kenanga. Soledad tak bisa menyalahkan Bapak atau siapa pun dari anggota keluarga jika seseorang menanyakan keberadaannya. Hanya saja, untuk satu nama itu Soledad belum siap meskipun di bibir telah tercetus sebuah janji untuk melupakan selamanya.

"Nak Faris bilang dia akan ke Jakarta bulan-bulan ini, Nduk. Ada tugas dari kantor katanya. Mungkin di sela-sela waktu luang dia bisa menemui kamu. Sepertinya dia sekarang udah mapan dan punya jabatan cukup penting. Wajar kalau kata bapak, Nduk. Nak Faris emang pinter dari dulu. Satu hal lagi, sepertinya dia ada niat baik sama kamu." Kata-kata Bapak kembali terngiang-ngiang.

Niat baik? Niat baik apa? Apa yang telah dia katakan kepada Bapak?  Soledad menggeleng.

Tiba-tiba layar ponselnya terang disusul dengan dering panggilan khas pilihan. Sebaris angka terpampang dengan jelas. Soledad melirik pada benda pipih yang tergolek di kursi sebelah.  Hatinya meracau. Apakah itu Faris? Soledad mengusap kepalanya perlahan. Dia berniat untuk tidak mengangkatnya. Pandangannya tetap lurus ke depan sementara tangannya memegang kemudi. Namun, pamggilan itu tak jua berhenti.

- Bersambung-

VIAJE DE SOLEDAD [21+] (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang