Delapan tahun lalu ...
Langkah-langkah kecil menapaki jalanan setapak menuju persawahan. Angin sore yang sejuk dengan embusan halus membuat kerudung panjang Maryam berkibar. Di sampingnya seseorang laki-laki menemani. Laki-laki muda seumuran Maryam. Dia teman masa kecil sekaligus satu sekolahnya di SMA. Faris Abdurrahman.
"Setelah lulus rencananya mau ke mana, Mar?" tanya Faris sambil melirik Maryam yang tengah memandang hamparan padi.
"Aku, entahlah. Mungkin kerja. Kamu?" jawab Maryam tanpa melirik.
"Bapak menyuruhku kuliah di Jogja. Beliau ingin agar aku meneruskan usaha keluarga kami. Maklum, hanya aku anak laki satu-satunya." Kepala Faris menunduk sambil mencabut batang rumput liar, lalu digigitnya.
"Ya, bagus, dong. Seharusnya kamu senang. Bisa sekolah lagi lebih tinggi.
Aku doakan semoga kamu berhasil dan bisa membangun desa kita." Maryam tersenyum."Bagaimana dengan kita, Mar? Apa kamu ndak sedih atau kehilangan? Aku dari tadi mikirin tentang kita." Lelaki muda itu melirik ke arah gadis di sampingnya.
Sekilas Faris begitu terpesona dengan garis wajah Maryam dari arah samping yang memperlihatkan lekuk-lekuk tegas. Hidung mancung gadis itu seolah menguatkan kecantikan alaminya.
"Kita? Hmmm ... kamu masih muda, Ris. Panjang langkah untuk laki-laki. Aku senang dengernya. Jogja-Semarang 'kan dekat. Kita akan baik-baik saja. Kamu harus berhasil. Aku yakin itu!" Maryam mengepalkan tangannya ke atas.
"Janji ya, Mar! Kamu akan menungguku. Atau ... kamu ikut saja denganku ke Jogja. Di sana pasti banyak pekerjaan." Bola mata Faris membesar, menyiratkan pengharapan agar Maryam mau menerima pendapatnya.
Maryam tersenyum lembut. "Kita lihat nanti ya, Ris! Jangan mikir dulu ke sana. Kita urus dulu kelulusan. Semoga nilainya bagus semua."
Faris mengangguk. Angin mempermainkan rambut anak lelaki yang baru saja menapak usia tujuh belas tahun. Matanya menatap langit senja yang kemerahan. Meskipun Maryam mengatakan suatu janji, tetapi dia sangsi ke depannya.
Banyak yang dipikirkan anak laki-laki itu. Mengenai dirinya, mengenai Maryam, dan harapan di masa yang akan datang. Faris bukan anak yang tidak tahu bagaimana perbedaan kelas keluarganya dengan keluarga Maryam, hanya saja dia tidak ingin membuat jurang itu semakin lebar. Jauh di lubuk hatinya dia mengutuk pola hidup di masyarakat yang seringkali memandang rendah orang yang tak mampu secara materi.
Faris kemudian melayangkan pandangan ke depan. Hatinya berdebar setiap berdekatan dengan gadis itu. Sebuah rasa telah bersemi dalam jiwa mudanya sejak tiga tahun lalu. Dia menyukai Maryam, anak petani miskin yang cantik dan memiliki prinsip.
Bagi Maryam, apa yang telah Faris kabarkan tidak membuatnya terkejut. Jauh sebelum itu, dia menyadari ada perbedaan yang mencolok antara dirinya dengan anak lelaki itu, seperti langit dan bumi. Ada batasan yang sangat jelas terlihat nyata. Faris yang tampan dan banyak disukai anak perempuan di kampung juga sekolahnya. Tak hanya itu, Faris berasal dari keluarga kaya. Tidak seperti dirinya yang miskin dan banyak kekurangan.
Bukan hanya itu saja, ada hal lain yang membuat Maryam harus melepaskan Faris. Dia tidak ingin lelaki muda itu mengetahuinya. Segalanya hanya tersimpan dalam hati saja.
Beberapa minggu yang lalu, seseorang secara diam-diam menemuinya saat sedang sendiri di rumah. Orang itu dengan pongah memberi sebuah peringatan yang cukup menggetarkan relung jiwanya.
"Ingat ya, Maryam! Jangan lagi dekati Faris. Dia harus sekolah tinggi untuk mewarisi usaha bapaknya. Kamu tidak cocok dengannya. Orang miskin jangan berharap bisa nikah dengan keluarga kami."
KAMU SEDANG MEMBACA
VIAJE DE SOLEDAD [21+] (On Going)
Roman d'amourSoledad, gadis cantik yang memiliki impian indah setinggi langit biru. Banyak rencana yang sudah terpatri di hati saat langkah kakinya menjauh dari keluarga dan kampung halaman. Sayang, asa itu lenyap dan mengempaskannya menjadi kupu-kupu malam. Bu...