12. Sebuah Nasihat

47 3 0
                                    

Sentuhan tangan Herna merambati setiap inci bagian belakang tubuh Soledad. Pijatan yang teratur dan halus dari seorang terapis yang handal, tentu saja membuat gadis itu terlena dan memejamkan matanya. Dia sangat menikmati titik-titik tekan yang melenturkan saraf juga ketegangan.

"Enak banget pijitanmu, Her! Andai saja aku bisa tiap hari ke sini," gumamnya.

Herna tersenyum simpul tanpa menjawab sepatah pun. Dia tidak ingin mengganggu kenyamanan Soledad. Herna tahu, Soledad tidak membutuhkan jawabannya.

Jika Herna fokus ke tubuh Soledad, Pikiran perempuan itu justru melayang ke tempat lain. Sepertinya dia terbawa suasana. Sesuatu telah mengingatkan pada satu waktu yang pernah dilalui. Soledad sangat merindukan sentuhan tangan Mbak Ningsih. Kala itu badannya terasa ngilu dan nyeri di bagian perut saat datang bulan.

****

"Dek, kamu udah remaja sekarang. Mesti bisa ngurus badanmu. Coba sana minum jamu! Kunyit asem aja. Minta ke Yuk Mirna kalau lewat ke sini," kata Mbak Ningsih sambil mengurut pinggang Maryam.

Selalu begitu. Mbak Ningsih yang baik dan sabar mengubah peran dari anak tertua menjadi pengganti Ibu yang selalu ada di saat adik-adiknya membutuhkan. Perempuan sederhana itu seperti tahu apa yang dibutuhkan penghuni rumah tanpa harus bertanya atau diminta. Tidak ada yang bisa memahami jiwa-jiwa adiknya kecuali Mbak Ningsih.

Maryam ingat, demi mereka pula, lamaran yang datang dari beberapa laki-laki selalu ditolak perempuan berhijab kain segi empat itu. Belum ada yang cocok, begitu alasannya setiap ditanya oleh Bapak atau pun keluarga besar padahal bukan itu alasannya. Maryam tahu, Mbak Ningsih berat meninggalkan Bapak dan adik-adik untuk mengabdi di rumah suaminya kelak.

"Perempuan itu musti bisa jaga diri. Jaga kehormatan. Jangan asal main sama siapa aja. Yang penting, jaga aurat. Kerudungmu dipakai terus. Ingat omongan Mbak ya, Dek!"

Maryam remaja hanya bisa diam dan mengangguk. Sebuah petanda buat Mbak Ningsih bahwa adiknya mematuhi. Perempuan itu tidak tahu jika sang adik mengangguk hanya sekadar untuk menyenangkan kakaknya. Jiwa remaja Maryam mulai memberontak dan menggelora. Dia tidak ingin lagi diatur layaknya anak kecil yang patuh. Darah muda yang serba ingin tahu mulai mengalir deras.

"Dek, usiamu udah 17 tahun, tho? Bentar lagi lulus SMA. Mbak senang akhirnya kamu bisa menyelesaikan sekolah. Jangan seperti Mbakmu ini. Ndak pinter seperti kalian." Suara Mbak Ningsih pelan dan tenang.

Maryam membalikkan badan. Ada nada getir mengiringi ucapan kakaknya. Seperti sebuah keluhan dan kehilangan sesuatu yang tidak bisa lagi kembali. Mbak Ningsih gugup, tidak menyangka adiknya akan bertindak seperti itu. Terlambat, Maryam menangkap basah roman wajah Mbak Ningsih. Air matanya menggerabak. Serta merta Maryam memeluknya erat.

"Mbak Ningsih, Mbak jangan merendah dan enggak bodoh. Kata siapa? Justru Mbak Ningsih orang pinter dan baik. Dulu Maryam pernah dengar dari Simbah kalau Mbak selalu juara kelas. Malahan dapet beasiswa buat sekolah ke SMP di kabupaten. Sayang ... Ibu keburu meninggal. Mbak lebih memilih ngurus kami."

Sungguh, Maryam tidak tega menyakiti kakak perempuan semata wayangnya itu. Dia sangat menyesal sempat memiliki pikiran lain.

Usia Mbak Ningsih 25 tahun, dia sudah melewatkan waktu untuk sekolah dan mencari jodoh. Perempuan sederhana itu terlalu banyak berkorban. Teman-teman seusianya di kampung sudah menikah dan memiliki anak. Bahkan Nunung, gadis paling hitam dan jelek di kampung, teman SD Mbak Ningsih sudah mempunyai tiga orang anak.

Dunia memang tidak adil. Yang baik sering tersisihkan. Begitu pemikiran sederhana gadis remaja itu. Tumbuh tekad dalam hati Maryam, kelak harus bisa membalas semua jasa kakaknya walaupun tidak akan pernah mengganti waktu yang telah pergi.

Maryam menatap lekat kakak tertuanya. Guratan-guratan kehidupan seolah menuakan wajah dan memberikan beban berat yang sejatinya masih muda dalam hitungan angka. Sebuah usapan halus tangannya menyentuh wajah yang bersimbah air mata.

Tak terasa butiran bening membasahi pipi Maryam. Keduanya pun menangis. Ningsih tidak pernah menyangsikan rasa cinta adik-adiknya. Dia sadar, sebagai pemilik posisi anak pertama harus menjadi teladan dan juga pelindung. Amanah Ibu masih terngiang-ngiang di telinga.

"Nduk, adikmu banyak. Maafkan Ibu yang telah menyimpan tanggung jawab pada pundak kecilmu. Allah pasti akan menguatkan hatimu. Sekali lagi, maafkan Ibu yang tidak bisa memberimu kehidupan yang layak," bisik Ibu sesaat sebelum matanya terpejam untuk selama-lamanya.

Ningsih kecil mengangguk sambil menangis perlahan. Tangannya perlahan menyentuh tangan Ibu yang dingin dan kaku. Ibu seperti orang yang sedang terlelap dengan wajah bersih dan tenang. Di sebelah kirinya Bapak mengelus kepala wanita terkasihnya sambil berlinang air mata sementara Topan dan Maryam tertunduk pilu tanpa kata-kata. Mereka menangis membuat orang-orang didekatnya melelehkan buliran bening keharuan. Sarah bayi dalam gendongan saudara sepupu. Sungguh, kematian orang terdekat sangat meluluhkan perasaan hingga ke jurang terdalam.

****

Soledad menghela napas dalam keheningan. Dia tidak tertidur seperti biasanya. Kenangan-kenangan masa lalu melintas. Ketika Herna selesai melakukan pijatan dan keluar dari ruangan, gadis itu tetap terbaring. Tubuhnya terasa rileks dan kembali segar.

"Kak Sole, mau ratus sekarang? Udah siap, kok."

Suara Herna yang lembut dan sopan membuyarkan lamunan Soledad. Gadis itu menoleh. Herna tengah berjongkok di depan sebuah kotak dari bahan kayu jati dengan dudukan yang lembut dan berlubang di tengahnya. Sebuah tempat duduk khusus ratus sudah ada di samping bed facial di ruangan itu.

Di dalam kotak sudah tersimpan sebuah tungku dan akan keluar asap lembut bila sudah mulai panas, pertanda ada pembakaran dari bahan-bahan alami di dalamnya. Wangi rempah-rempah menguar. Harum hingga ke rongga hidung. Soledad menyukai perawatan seperti ini. Sebuah sugesti terpatri bahwa ratus akan membuat daerah kewanitaan lebih harum dan memberikan sensasi lain.

"Setiap abis haid jangan lupa bersihkan milikmu yang paling berharga ya, Dek! Perempuan harus bisa menjaganya. Apalagi kelak kalau kamu sudah punya suami." Kembali, suara Mbak Ningsih seolah ada di sampingnya.

Soledad mengangguk dan menatap Herna yang sudah kembali berdiri. Ratus mengingatkannya akan wajah teduh perempuan Jawa itu saat menasihatinya.

"Memang ratus bikin laki-laki makin lengket ya, Mbak?"

"Tau dari mana kamu, Dek?" Mata Mbak Ningsih membulat.

Maryam menyengir malu. Tangannya bergerak menunjuk ke arah luar. "Anu, denger kemaren dari Yuk Mirna waktu ngasih bungkusan buat Mbak Niar yang baru nikah sebulan yang lalu. Katanya itu ratus yang direbus. Airnya dipakai buat nyuci kemaluan, Mbak. Kata Yuk Mirna juga, supaya Mas Turi, suami Mbak Niar makin lengket dan enggak main serong."

Mbak Ningsih tertawa. "Jangan ngintip omongan orang gede. Enggak baik!"

Soledad duduk di atas kotak berlubang itu. Tentu saja tanpa kain atau celana penutup bagian bawahnya. Uap dari tungku pembakaran rempah-rempah yang hangat mulai meresap dan memasuki organ intimnya. Sebuah sensasi terasa di bagian pangkal paha. Kesat dan harum.

Bagi Soledad, ratus ibarat penghapus jejak kotor di setiap malam. Panas dari bara itu merontokkan sisa-sisa lendir yang tertinggal dari sebuah napsu. Walaupun dia sadar, ratus tidak akan pernah menghapus dosa yang semakin menggunung dan berakar kuat. Jejak langkah yang salah akan terus membalut tubuh dan hidupnya.

Soledad kembali gamang. Dunia seakan menguncinya dalam sebuah kenistaan. Tak ada jalan untuk keluar dari sana. Dia masih ingin menggenggam dunia dan uang untuk kehidupan di masa yang akan datang.

Tiba-tiba ponselnya yang tersimpan di dalam tas berdering. Sebuah panggilan membawanya kembali ke sebuah kesadaran. Soledad meminta Herna untuk membawakan tasnya. Namun, saat Soledad meraih ponsel itu panggilan telah berakhir. Sebuah nama yang dikenalnya terpampang sebagai panggilan yang tak terjawab.

Bersambung

VIAJE DE SOLEDAD [21+] (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang