Laki-laki berusia 35 tahun itu menatap tajam Soledad. Rahangnya menguat. Dia terlihat gusar sekali. Titik-titik keringat tampak di kening. Embusan napas kasar yang dia keluarkan seolah menjadi indikasi hatinya yang tak tenang. Soledad meletakkan ponsel di samping tas, lalu tangannya meraih cangkir kopi. Selarik senyuman kemenangan menghiasi bibir ranumnya.
Air muka Riko berubah. Lelaki itu seperti berusaha mengingat sesuatu, tetapi tidak berhasil. "Kamu temannya Dona? Satu profesi? Apa hubungannya dengan Pak Cahyadi? Jangan-jangan kamu perempuan simpanan dia, atau ... kalian berdua bersekongkol?"
Soledad menggebrak meja. "Cukup! Jangan melebar dan bawa-bawa Om Cahyadi dalam masalah ini. Justru dia tidak tahu betapa bobroknya kamu di belakang istrimu. Ingat, Riko! Om Cahyadi cukup dekat dengan keluarga istrimu. Aku tahu, kamu selalu adi di bawah bayang-bayang mereka. Kalau sampai dia ada apa-apa karena masalah ini, kamu yang rugi besar!" gertak Soledad tak kalah sengitnya.
Mata Riko melebar. Dia tidak menyangka akan mendapat serangan balik dari perempuan di depannya.
"Kamu merencanakan ini sebelumnya, hah!"Soledad tertawa sinis. Tubuhnya dicondongkan ke depan Riko, lalu dengan tenang dia berkata, "Rencana? Tidak juga. Aku hanya sedikit lelah mencari seorang Riko Adrian yang digilai Dona si bucin itu. Sampai akhirnya, aku tahu kamu siapa dan jadwal keluar untuk meeting. Sayangnya, orang yang kamu temui ternyata sangat kukenal sebelumnya. Jadi, secara kebetulan aku punya peluang untuk bicara langsung denganmu."
Riko tertawa dengan wajah seperti mengejek. Dia tak ingin terintimidasi kata-kata Soledad. Baginya, hal itu sudah terbiasa diucapkan seseorang yang hendak memerasnya.
"Kamu punya bukti? Sayang sekali, aku tak akan terpengaruh semuanya." Lelaki itu kembali tenang dan dia mampu menguasai keadaan.
"Bukti? Wow, apa aku harus memanggil wartawan dan mengunggah foto-foto syur kalian? Jangan salah, aku punya tiga, ups, maksudku sepuluh! Anda tidak percaya? Lihat, ini!" Soledad dengan cepat mengambil ponsel dan membuka galeri fotonya.
Mata Riko terbeliak. Jantungnya berdegup kencang saat Soledad menunjukkan adegan ranjangnya bersama Dona. Wajahnya yang bergairah dan tengah berahi terlihat sekali. 'Sialan kamu, Dona!' maki Riko dalam hati. Dia benar-benar kalah telak sekarang.
Lelaki itu mengusap mata, lalu mengangkat tangannya. "Oke, oke, Maryam! Saya mengerti. Saya memang ada hubungan cinta dengan Dona. Tapi, saya tidak menyangka Dona bisa hamil. Selama ini dia bilang pakai pengaman jika kami bertemu. Bisakah ini jadi rahasia kita aja? Tolong, jangan bicara apa pun pada Pak Cahyadi atau Abdul nanti kalau mereka datang. Saya minta nomor hape kamu. Besok saya hubungi kamu setelah makan siang." Riko memberikan ponselnya kepada Soledad.
Perempuan itu tersenyum sinis. Dengan cepat diambilnya ponsel Riko dan memasukkan nomor ponselnya ke dalam kontak. "Ingat, kutunggu janjimu besok! Jika tidak, aku tidak akan segan-segan melakukan hal yang tak kau duga!"
Soledad kemudian meraih sesuatu dari balik kerah blusnya. Sebuah alat perekam suara berukuran kecil di tangan Soledad mampu membuat Riko tidak bisa berkata apa pun lagi. Lelaki tampan itu menatap Soledad dengan pandangan yang sulit ditafsirkan. Bersamaan dengan itu, Cahyadi dan Abdul datang menghampiri.
Soledad menyadari kehadiran mereka, dia kemudian berdiri dan tersenyum manis. "Om, aku kayaknya enggak bisa lama di sini. Ada masalah yang harus segera diselesaikan. Temanku itu minta ditemani, suaminya benar-benar keterlaluan! Dia belum ngasih kabar katanya. Tau sendiri, orang hamil butuh perhatian."
Meskipun perkataan itu ditujukan untuk Cahyadi Tan, tetapi pandangan perempuan itu mengarah kepada Riko yang menatapnya canggung.
"Enggak masalah, Sayang! Om juga ada urusan lain abis ini. Take care ya!"
Soledad mengangguk, lalu mengedipkan matanya kepada Cahyadi sebagai isyarat jika tujuannya sudah tercapai.
"Pak Riko, saya pamit dulu." Perempuan itu kemudian melenggang dengan penuh percaya diri sambil tersenyum. Kakinya menjauh dari meja diiringi tatapan Riko yang masygul.
Malam semakin larut dan udara Jakarta terasa dingin membelai kulit. Titik-titik hujan membasahi permukaan bumi. Namun, Soledad tetap melangkah. Dengan sedikit hentakan, dia berlari menuju mobilnya sambil melepas syal yang membalut leher jenjangnya. Tepat seluruh tubuhnya sudah berada dalam mobil, hujan turun dengan derasnya. Gadis itu pun tertawa berderai.
*****
"Bangsat kau, Riko! Setelah menikmati tubuh Dona, menyimpan benih, sekarang dengan mudah kamu membuangnya."
Wajah Soledad memerah. Dia benar-benar berang dengan perkataan lawan bicaranya di telepon. Riko terkekeh dan membuat Soledad mengepalkan tangan. Ini komunikasi keduanya setelah seminggu berlalu. Meskipun gadis itu pernah berharap Riko bisa menjadi penyelamat Dona, tetapi tebakan Soledad benar sekali. Riko tidak berniat sungguh-sungguh dengan Dona.
Riko menghubungi saat Soledad tengah merapikan unit apartemennya. Dia juga mengaku sangat menyukai Dona, tetapi tidak ada niat untuk serius dan membawanya ke kehidupan lebih baik lagi, apalagi menikahinya. Bahkan, laki-laki itu meragukan jika bayi dalam kandungan Dona merupakan benihnya. Soledad sangat marah sekali mendengarnya.
"Lho, saya menggunakan Dona 'kan pakai uang, Soledad!"
Soledad terkejut mendengar Riko memanggil nama panggungnya.
Shit!
"Saya tahu nama kamu sekarang. Saya juga ingat, kita pernah berpapasan saat di klab malam. Saat itu kamu tengah menemani lelaki botak tua asal Malaysia. Dona semalam menghubungi saya. Dia juga menceritakan jika kamu sangat peduli padanya. Tapi maaf, saya tidak bisa!"
"Jangan mengalihkan pembicaraan! Dona tidak ingin menggugurkan kandungannya. Kamu tega ya, Riko! Dia berjuang agar anak yang kamu harapkan bisa lahir selamat," tegas gadis itu sambil mendengkus.
"Soledad, saya memang pengin banget punya anak, tapi bukan begini caranya. Gimana kalau keluarga istri saya tahu?" Suara Riko di seberang sana terdengar tenang meskipun rasa khawatir terselip dalam penuturannya.
"Itu tanggung jawab kamu! Seharusnya dari awal kamu udah tahu risikonya, Riko! Sudah tahu punya istri, masih saja mencari mangsa di luar. Dengar, ya! Kalau ada apa-apa dengan Dona, kamu yang harus bertanggung jawab. Aku tidak akan tinggal diam!"
Soledad mematikan percakapannya dengan penuh emosi. Tangannya mengepal, lalu dilemparkannya ponsel itu ke atas sofa. Kekesalannya begitu memuncak hingga ubun-ubun. Perempuan itu kemudian membuka kulkas, mengambil botol berisi air dingin, lalu menuangkannya ke gelas kosong. Sekali teguk, air itu tandas dan dia berharap bisa mendinginkan kepalanya yang mendidih.
Beberapa menit berselang, tetapi Soledad tak menemui solusi. Kepala semakit mumet. Bayangan wajah Dona dan Mami Sandra bergantian menyesakkan dalam kepalanya. Tangisan dan tawa sumbang dari keduanya seolah bersahutan, menariknya dalam lingkaran kegelapan.
"Argh! Sialan semua!" maki Soledad.
Gadis itu melangkah menuju sofa dengan tergesa-gesa. Emosi dan rasa kesal menyelingkup diri. Tangannya dengan cepat membuka laci bagian bawah meja kecil yang membatasi dua kursi empuk itu. Sejenak matanya menatap sesuatu yang teronggok di dalamnya. Embusan kasar keluar dari bibirnya seiring tangan putih itu meraih benda yang sebenarnya sedang dia batasi kehadirannya di apartemen. Namun, dia tak kuasa menahan gejolak hingga akhirnya sebungkus rokok itu berpindah tempat.
"Persetan dengan Riko," katanya sambil mengambil sebatang rokok, lalu menyalakan macis.
Beberapa detik kemudian, gadis cantik itu sudah menyesap dengan nikmat batangan berisi nikotin yang memberinya ketenangan. Gumpalan-gumpalam asap membumbung tinggi keluar dari bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIAJE DE SOLEDAD [21+] (On Going)
Roman d'amourSoledad, gadis cantik yang memiliki impian indah setinggi langit biru. Banyak rencana yang sudah terpatri di hati saat langkah kakinya menjauh dari keluarga dan kampung halaman. Sayang, asa itu lenyap dan mengempaskannya menjadi kupu-kupu malam. Bu...