Gadis itu menangis tersedu-sedan di pojok kamar yang cukup mewah. Aroma sitrun menguar, memenuhi ruangan yang temaram. Tangannya memeluk lutut dengan kepala yang dibenamkan. Rambut panjang yang biasa tergerai indah terlihat berantakan. Pakaian yang dia kenakan begitu kusut kasau, setara dengan kondisi seprai yang tidak lagi terbentang rapi, sangat acak-acakan.
Sementara tak jauh dari gadis itu, seorang laki-laki mengambil kemeja dan celana panjang yang tergeletak di lantai dengan santai, lalu memakainya. Sesekali matanya memandang gadis yang masih menangis itu. Dia menyeringai, wajahnya terlihat puas.
"Sudahlah, jangan menangis seperti itu! Bukankah ini yang kamu mau?" Laki-laki itu mengambil sesuatu dari tasnya yang tersimpan di meja, lalu melemparnya ke ke atas kasur. Lembaran-lembaran biru berserakan.
Namun, gadis itu bergeming dengan isakan yang masih terdengar meskipun pelan. Dia masih dengan posisi yang tak berubah saat pintu kamar terdengar dibuka dan tertutup kembali. Lelaki itu telah pergi tanpa mengatakan apa pun. Dia sendiri di ruangan itu berteman sepi dan rasa asing yang sangat menyakitkan hati.
Gadis itu Maryam. Dia merasa sangat terpuruk hingga ke jurang terdalam bumi. Perasaan terhina dan terbuang melanda jiwanya yang terguncang. Dia kalah, kalah yang benar-benar membuatnya tidak memiliki harga diri lagi. Hidup dan kehormatannya hancur sudah.
Dia merasa sakit hati dan juga sakit tak terperikan di bagian organ vital bagian bawah. Mahkotanya telah ternodai tanpa melalui proses yang sakral. Sia-sia sudah dia menjaga kehormatan yang dimiliki satu-satunya. Apa bedanya dia dengan perempuan-perempuan genit dalam pelukan supir truk barang antar kota yang sering dilihatnya di warung remang-remang?
Penyesalannya terlambat sudah. Andai saja dia mendengar nasihat Bapak dan Mbak Ningsih. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan datang terlambat. Mungkin inilah hukuman Tuhan atas keinginannya. Harapan indah itu telah terbang menjauh dan meninggalkan luka yang menganga.
Air mata kembali meleleh membasahi pipi. Dia sangat menyesal sekali. Punah sudah cita-cita yang ingin dikejarnya. Terbayang wajah-wajah yang menitipkan harapan padanya. Bukan ini yang dia mau, bukan jalan ini pula yang ingin ditempuhnya.
Air mata semakin berderai, kebencian menyeruak. Maryam meremas perut dan merasa jijik pada tubuhnya yang telah ternoda. Kebanggaannya tercerabut paksa oleh laki-laki yang tak dikenal sebelumnya.
Sumi! Kemana manusia pembohong itu?
Maryam mengangkat wajah, mata gadis itu memerah penuh dengan air mata. Giginya bergemeretak menahan segala emosi yang terpatri. Dia harus menemui Sumi yang telah membawanya ke rumah itu. Maryam kini sadar, Sumi alias Sintia telah sangat tega menjual kegadisannya kepada laki-laki hidung belang. Dia melempar pandangan, menatap sinis uang di atas kasur itu. Kebencian tumbuh mengakar dengan cepat. Maryam berdiri sempoyongan.
Gadis itu mencoba berjalan meskipun harus terseok-seok menuju pintu kamar. Namun, tubuhnya terasa ngilu dan nyeri, semakin bergerak semakin menjadi di bagian bawah tubuhnya. Maryam berhenti sejenak, kepalanya terasa pusing. Dia mencoba bertahan, menguatkan diri agar segera keluar dari tempat itu. Namun, kekuatannya terbatas. Tepat beberapa langkah lagi, gadis itu terkulai, jatuh ke lantai. Tubuhnya melorot cepat.
*****
Maryam membuka mata. Pandangannya menyapu langit-langit yang terlihat putih memudar. Dia mengingat-ingat kejadian sebelumnya, sayang kepalanya masih terasa sakit. Perlahan Maryam bangkit dari dipan kayu beralaskan kasur tipis.
Tiba-tiba gadis itu tersadar saat memandang ke bawah. Dia sudah berganti pakaian dengan atasan blus merah muda dipadu celana jeans biru. Entah punya siapa. Dia kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling. Aroma lembab menguar. Maryam terbatuk-batuk.
Aku di mana? katanya dalam hati.
Maryam mengedarkan bola mata. Dia tidak sedang berada di kamar mewah itu lagi. Entah siapa yang membawanya ke sini. Yang gadis itu tahu, tadi terjatuh dan tak ingat apa pun. Ruangan tempatnya berada cukup kecil untuk seukuran kamar normal. Tembok-temboknya tidak lagi berwarna putih, banyak noda-noda kecokelatan bekas tetesan hujan dari atap bocor.
Tak ada benda apa pun lagi selain dipan dan rak-rak besi menempel pada sisi-sisi tembok, menjulang hampir menyentuh plafon berisi kardus-kardus sedang dan besar, entah apa isinya. Pencahayaan kamar itu hanya dari lampu 10 watt dan jendela kaca kecil di sisi kanan. Sepertinya ruangan itu gudang penyimpanan.
Tak lama, terdengar langkah mendekat. Maryam menahan napas saat pintu terkuak dan muncul seseorang. Gadis itu merasa ketakutan. Namun. seraut wajah tua dengan rambut dicepol menatapnya ramah, samar terlihat garis senyuman.
"Nak, kamu sudah sadar? Duh, bisa-bisanya kamu terjebak permainan si Sintia itu. Dia sering banget bawa perempuan bau kencur kemari. Cepat kamu pergi dari sini. Jangan sampai perempuan mata duitan itu melihatmu!"
Sumi! Benarkah Sumi sering ke sini membawa gadis-gadis muda? Jadi selama ini dia tidak bekerja sebagai pembantu atau penjaga toko.
"Aku di mana, Bu?" Maryam bingung.
"Kamu masih di rumah Bos Roy. Saya tadi diminta Bos melihatmu di kamar, tapi kamu sudah pingsan duluan. Kamu lebih baik pulang, Nak. Lupain semua. Jangan lagi dekat dengan Sintia! Bajumu bekas semalam ada di kantong hitam itu. Pakaian yang kamu pakai sekarang itu baju bekas anak perempuan saya."
Maryam terperanga kaget. Dia benar-benar terpuruk dan merasa asing dengan kota yang ternyata tidak ramah untuknya. Dengan derai air mata, gadis berambut panjang itu melangkah keluar rumah lewat pintu pagar samping. Dia juga tidak peduli dengan uang itu yang dimasukkan ke dalam kantong di samping baju bekas semalam. Baginya, dia harus segera menjauh dari rumah itu.
Derai air mata semakin membasahi pipi. Penyesalan kembali mendera. Entah kemana lagi arah tujuannya.
Sumi memang telah menjerumuskannya ke lembah hitam, tetapi saat ini dia butuh bantuan.Maryam terus melangkah, pikirannya kacau. Kaki letih itu meminta terus berjalan tanpa henti meskipun terdengar suara-suara teriakan mengarah kepadanya. Gadis itu tersadar dirinya telah berada di tengah-tengah jalan saat beberapa meter di depan sebuah mobil hitam bergerak cepat mengarah padanya. Namun, dia terlambat menghindar dan di saat bersamaan tubuhnya terasa melayang ke udara, lalu terhempas di aspal jalanan.
"Dia bunuh diri! Kasihan sekali."
"Anak zaman sekarang enggak kuat mental, putus cinta mainannya bunuh diri."
"Ah, bukan kali. Dia mungkin kabur dari rumah. Apa orang tuanya tahu kalau anak gadisnya celaka?"
Suara-suara itu terdengar riuh dan membuatnya sesak. Dia hanya bisa terdiam membeku dan mulai merasakan sakit yang semakin menjalar di seluruh sendi-sendi terdalam. Maryam hanya bisa mengaduh dalam hati. Dia tak bisa menggerakan tubuh. Air matanya kembali mengalir deras. Hingga akhirnya Maryam terkulai pingsan.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIAJE DE SOLEDAD [21+] (On Going)
Roman d'amourSoledad, gadis cantik yang memiliki impian indah setinggi langit biru. Banyak rencana yang sudah terpatri di hati saat langkah kakinya menjauh dari keluarga dan kampung halaman. Sayang, asa itu lenyap dan mengempaskannya menjadi kupu-kupu malam. Bu...