Mami Sandra memandang satu persatu para bintang penghasil pundi-pundi tabungannya yang duduk di sofa ruangan bernuansa putih. Wajah perempuan paruh baya itu tetap cantik dengan polesan make-up yang tebal. Alis melengkung sempurna hasil sulaman sebuah salon terkemuka membingkai mata bulatnya. Bibir dengan polesan gincu merah seolah menandakan kehebatannya dalam menyihir para bintang dan pelanggan agar tetap berada dalam genggaman."Darling, kalian semua hari ini jadwalnya periksa ke Dokter Sinta. Tidak ada alasan untuk tidak ikut. Ingat ya, aset kalian itu ... M A H A L!" titah Mami Sandra menekan kata bagian terakhir.
Sepuluh perempuan cantik dengan predikat bintang mengangguk. Mereka sudah paham dan harus mau mengikuti perintah itu. Pekerjaan seperti mereka lakukan memiliki resiko yang sangat besar dan tentu saja akan membahayakan kesehatan organ intim jika diabaikan. Bagi para bintang, pemeriksaan tiap bulan memang memberikan rasa aman dan juga ketenangan sedangkan untuk Mami Sandra, keluar dana tambahan untuk pemeriksaan dokter tidaklah merugikan yang penting asetnya terjamin. Tidak akan ada keluhan dari para pelanggan berdompet tebal.
"Satu lagi, aku tidak ingin kecolongan lagi. You semua paham? Jangan sampai kejadian dua bulan yang lalu terulang kembali. Jangan seperti Dona! Telat datang bulan dan hamil! No, aku tidak ingin itu terjadi lagi. Ingat, Dona! You harus ekstra hati-hati. Selalu pakai pengaman."
Tatapan mata Mami tajam mengarah kepada perempuan yang duduk di samping Soledad. Dona, perempuan yang Mami Sandra maksud menunduk sedih. Diam-diam Soledad mengamati wajah Dona yang terlihat mendung. Ada rasa simpati menjalar dalam hati gadis itu. Soledad tahu persis kenapa Dona teledor.
"Mira, you harus minum vitamin yang diberi sama dokter Sinta! Beberapa pelanggan mengeluhkan servis you yang sedikit lembek di atas ranjang." Mami Sandra mengalihkan pandangan pada Mira dan dibalas anggukkan gadis itu.
"Silvia, kurangin makan, diet, dan banyakin olah raga! Mami perhatikan badanmu sedikit gemuk, Darling." Mami menatap seorang perempuan yang duduk di bibir kursi.
Silvia, perempuan cantik berkulit putih dengan rambut sebahu warna coklat muda menutupi mulutnya. Tak lama kemudian dia merajuk.
"Mami, aku 'kan suka cepat lapar kalau abis ngelayanin tamu. Memang sih, kayaknya napsu makanku menggila beberapa bulan ini. Makanan apa pun maunya kulahap aja."
"Jangan gitu, Darling. Tubuhmu itu aset berharga. You harus bisa menjaga pola hidup. Sebisa mungkin kurangin karbohidrat!"
Silvia mencebik manja matanya pun mendelik. Mami menatap tajam gadis itu. Perempuan setengah baya seperti Mami ternyata cukup sabar dalam menghadapi kemanjaan para bintangnya.
"Oh Iya, beberapa waktu yang lalu, salah satu orang kepercayaanku mengirimkan sebuah foto. Ada laporan yang masuk. Kalian coba kurangin deh, berteman dengan orang-orang yang selalu menyuruh untuk berhenti dari bisnis ini. Kalian tidak ingin mendapatkan celaka dan berkurang pendapatan bukan?"
Para bintang saling berpandangan. Kasak kusuk di antara mereka. Soledad berdebar-debar. Dia merasa pernyataan Mami seolah ditunjukkan padanya. Seraut wajah dan tebersit ingatan menghampiri pikirannya. Ada yang bergejolak dalam dada. Sesuatu telah menggoyak ruang garizahnya untuk berhati-hati dalam bertindak. Banyak nyawa yang harus dia jaga dan lindungi. Soledad menghela napas panjang dan perlahan diembuskan kembali.
"Ayo kalian siap-siap! Perjanjian dengan dokter Sinta hari ini pukul 11 siang. Mami akan mengantar kalian ke sana. Bersiaplah!"
Mami Sandra mengambil rokok lalu menyalakannya. Perempuan paruh baya itu mengisap rokok dengan penuh kenikmatan. Kepulan asap keluar dari bibir bergincu merah dan membubung ke atas langit-langit. Para bintang keluar satu-persatu. Soledad berjalan paling akhir. Tanpa disangka, Mami menggapit lengannya menjauh dari barisan para bintang.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIAJE DE SOLEDAD [21+] (On Going)
Roman d'amourSoledad, gadis cantik yang memiliki impian indah setinggi langit biru. Banyak rencana yang sudah terpatri di hati saat langkah kakinya menjauh dari keluarga dan kampung halaman. Sayang, asa itu lenyap dan mengempaskannya menjadi kupu-kupu malam. Bu...