Soledad terdiam di belakang kemudi. Mobilnya terparkir tepat di depan sebuah restoran mewah di Jalan Bulevard, kawasan yang cukup terkenal di Kelapa Gading. Matanya mengamati satu titik fokus di dalam ruangan yang terlihat cukup jelas dari tempatnya berada. Jarak mereka hanya terhalang dinding kaca dan tumbuhan hidup yang dipajang dalam pot di pelataran restoran. Tiga laki-laki tengah berbincang dalam satu meja.
Sepertinya pertemuan itu tidak terlalu resmi. Dari bahasa tubuh dan ekspresi wajah memperlihatkan suasana akrab. Gelapnya kaca mobil dari luar dan temaramnya malam menolong gadis itu untuk leluasa mengamati tanpa ada yang curiga. Tak hanya itu, kondisi yang tidak terlalu ramai membuat gadis itu bisa memandang tanpa hambatan apa pun.
Sesekali dia melirik Aigner keluaran terbaru yang melingkar di pergelangan tangan. Sepuluh menit lagi. Matanya menatap tak berkedip. Hingga akhirnya, waktu yang ditunggu tiba. Gadis itu bersenandung kecil, kemudian merapikan penampilannya yang sangat berbeda dari biasa. Penampilan Soledad seperti seorang perempuan kelas atas.
Setelan blus tangan panjang berwarna silver dengan model kerah sabrina dipadupadankan celana berpipa longgar warna senada. Rambutnya sengaja disanggul, lalu ditutup sehelai kain panjang bermotif abstrak yang disampirkan, penampilan Soledad sekilas seperti wanita Turki. Tak lupa, lensa kontak berwarna hazel menutupi kornea matanya aslinya.
Untuk riasan, gadis itu sengaja membubuhkan kosmetik bernuansa peach. Soledad puas setelah melihat wajahnya dari pantulan kaca. Untuk terakhir, dia membubuhkan kembali lipstik yang sama. Soledad begitu elegan dan memukau.
Semua itu atas saran Zora. Soledad ingin tertawa saat mengingatnya. Betapa Zora dengan kebawelannya datang ke apartemen sambil membawa paper bag berlogo butik terkenal di Jakarta. Tak hanya satu macam saja, semua yang dipakai Soledad saat ini dari ujung kepala hingga kaki merupakan pilihan gadis itu.
Soledad hanya bisa pasrah ketika Zora mencoba memakaikannya dengan tambahan nasehat panjang lebar. Untuk semua ini, Soledad meminta libur ke Mami. Untungnya, Mami tidak rewel menanyakan banyak hal. Malahan terkesan acuh tak acuh. Sepertinya Mami mulai menjaga sikap kepadanya.
Gadis itu kemudian keluar dari mobil setelah jarum panjang menunjuk angka yang ditunggunya. Setelah mengunci mobil, dia melenggang sambil membawa tas mewah. Kakinya dibalut sepatu berhak tinggi melangkah pasti penuh percaya diri. Dengan penuh keyakinan, gadis itu memasuki restoran dengan gerakan anggun dan dagunya terangkat.
Sesaat kemudian, dia berhenti dan melayangkan pandangan ke beberapa arah, seperti mencari sesuatu. Beberapa orang menoleh dan memperhatikan. Dua laki-laki di sudut kanan dalam bahkan terlihat berbisik tanpa mengalihkan pandangannya. Seorang pramusaji pria berniat mendekatinya, tetapi sebelum dirinya sampai ke hadapan Soledad, seseorang berteriak kepadanya.
"Maryam, Maryam Safira!"
Soledad menoleh ke asal suara. Tak lama kemudian bibirnya menyunggingkan senyuman manis. Cahyadi Tan melambaikan tangannya. Gadis itu tertawa dalam hati. Papanya Zora tidak menyebut nama Soledad, tetapi memanggil dengan nama Maryam, hanya saja Safira itu entah dari mana Cahyadi mendapatkan idenya. Namun, terdengar manis.
"Apa kabar, Maryam? Ada keperluan apa di sini, Sayang. Udah lama kita enggak bertemu, Cantik. Bagaimana bisnismu?"
Lelaki itu merangkul bahu Soledad sesaat setelah dirinya mendekat. Cahyadi Tan sangat natural memainkan perannya. Mengalir begitu saja. Soledad bersyukur, Cahyadi membuatnya rileks dan tenang. Dari ujung matanya, Soledad melihat dua laki-laki yang bersama Cahyadi tengah memandangnya tanpa berkedip.
"Kabar baik, Om. Waduh, udah berapa lama kita enggak ketemu ya? Aku lagi mau makan aja di sini, Om. Sekalian mau ketemu temen juga. Ada bisnis baru. Oh, iya. Makasih banyak, Om udah bantuin aku." Soledad bertutur dengan intonasi sedikit berat dan pelan. Terdengar dewasa dan berkelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIAJE DE SOLEDAD [21+] (On Going)
RomanceSoledad, gadis cantik yang memiliki impian indah setinggi langit biru. Banyak rencana yang sudah terpatri di hati saat langkah kakinya menjauh dari keluarga dan kampung halaman. Sayang, asa itu lenyap dan mengempaskannya menjadi kupu-kupu malam. Bu...