5. Masih di Sana

119 8 0
                                    

Soledad memandang langit hitam tanpa bintang dari balkon apartemennya. Angin membelai wajahnya yang sendu. Dingin, sedingin hatinya. Perempuan itu menghela napas. Sepi membalut waktu. Malam telah larut. Dari tempatnya berdiri, jalanan besar yang  biasanya sabar menampung banyak kendaraan kini menekur diam tanpa beban.

Soledad baru saja pulang kerja seperti biasa. Kerja atau kenikmatan? Entahlah, dia tidak bisa membedakan arti semua itu. Mami selalu mengatakan setiap job datang harus diambil karena ada kenikmatan setelah itu. Uang, uang yang membawa pada kenikmatan sekaligus  melakukan pekerjaan. Namun, hari itu Soledad tidak mau serakah dengan mengambil semua job yang ditawarkan Mami. Tiga temannya menyambar cepat saat gadis itu menolak beberapa nama di daftar yang disodorkan Mami.

Gadis itu memutuskan hanya menerima seorang tamu berwajah oriental dari negara jiran. Sudah dua kali Soledad menemaninya. Berkantong tebal, ramah dan suka menggoda dengan logat khas melayunya, bahkan sering mengajak Soledad berbelanja di mal besar jika urusan bisnisnya di Jakarta berjalan sukses. Laki-laki gendut berkepala plontos itu mengingatkannya pada orang-orang bemata sipit di daerah Glodok sana.

Kemarin, Mr Han, nama lelaki asal Malaysia itu menghubungi Mami dan meminta ditemani oleh Soledad.  Tentu saja Mami girang sekali. Tak perlu lama, beberapa jam setelahnya Soledad sudah ada dalam dekapan lelaki itu. Seperti biasa, Mr. Han kerap memeluk pinggang Soledad sambil berbicara melantur karena berada di bawah pengaruh minuman keras. Bau alkohol  menguar dari mulutnya.

Soledad menahan napas kala pengusaha tua yang pantas menjadi ayahnya merayu dan mencoba berbuat lebih dari itu. Bagaimana pun dia harus melayaninya, suka atau tidak, senang atau sedih. Semuanya demi kepuasan pelanggan dan pundi-pundi tabungannya dan juga rekening Mami. Perempuan paruh baya yang tak pernah lepas dari sigaret itu tersenyum senang melihatnya dari kejauhan. Bibirnya yang dipoles lipstik merah membara mengembuskan gumpalan asap keabuan. Pikirannya dipenuhi lembaran-lembaran uang yang akan diraup dengan sekejap lewat tubuh orang lain.

Untunglah, sebelum Mr. Han mengajak Soledad ke kamar hotel, laki-laki itu sudah teler dan ambruk. Tak lama kemudian dia dibawa orang kepercayaannya yang selalu menemani. Soledad mengembuskan napas kelegaan. Uang sudah ada di tangannya. Sejak tadi ingin rasanya dia segera pulang. Tawaran Mami untuk menemani calon pelanggan yang lain ditolaknya secara halus. Entah kenapa, akhir-akhir ini perasaannya sedikit berbeda.

"Darling, ada apa dengan you? Kuharap enggak ada hal lain dalam pikiran. Ingat, Sayang. Time is money! Jangan sia-siakan kesempatan itu! You harus tetap jadi bintang biar uang mengalir terus." bujuk Mami Sandra sambil menatap Soledad.

Gadis itu hanya bisa tersenyum. Tentu saja dia butuh uang yang banyak. Perempuan mana yang tidak ingin berlimpah harta? Selain itu, segala kebutuhannya siapa yang akan menanggung jika dia tidak bekerja?

Soledad bukan pewaris keluarga kaya raya. Bukan pula pemilik perusahaan besar yang hanya tinggal tunjuk ini itu. Justru dia sebagai penyokong ekonomi keluarga. Namun, saat ini dia sedang tidak ingin berlama-lama berada di tempat Mami.

"Mami, besok lagi aja ya! Aku rasa cukup hari ini satu tamu aja. Yang penting dana udah masuk rekening." Manik cokelat milik Soledad menatap Mami Sandra.

Perempuan separuh baya itu mendengkus. Roman wajahnya menyiratkan ketidaksenangannya. Jarang sekali ada salah satu anak buahnya yang membantah. Baginya, perintah seolah jadi harga mati. Namun, kali ini dia harus mengalah dari sang Bintang. Bagi Mami Sandra, Soledad adalah tambang emas yang akan terus memberinya keuntungan. Oleh sebab itu, menghadapi Soledad harus menggunakan trik halus agar bintangnya tidak pergi.

Hening. Mami melirik Soledad yang tengah memainkan ponsel. Jemari cantiknya sedang mengetik sesuatu. Sepertinya dia untuk menuliskan sebuah pesan entah kepada siapa. Tak jauh dari pintu, seorang lelaki kekar berwajah dingin menatap Soledad dengan pandangan yang tidak bisa ditebak. Segaris tanda luka terlihat di pipi.

"Oke, Darling. Kuharap you kembali seperti beberapa waktu yang lalu. Semangat dong!" Kedua tangannya yang halus dan lentik membingkai wajah Soledad.

Soledad mengangguk dan mengedipkan matanya yang cantik. Mami melepaskan tangan dari wajah gadis itu dan perlahan meninggalkannya. Soledad kemudian bergegas cepat menuju toilet.

Sebelum masuk, Soledad melirik ke belakang, memastikan tidak ada seseorang membuntutinya. Hatinya berdebar, teringat seringai dan tatapan anak buah Mami yang ada di ruangan tadi. Setelah memastikan tidak ada siapa pun, dia mengunci pintu kamar mandi.

Baru saja perempuan itu menggantungkan tas kecil, terdengar langkah seseorang memasuki toilet dengan lima bilik itu. Soledad sendiri berada di bilik kedua dari ujung kiri. Langkah itu tidak cepat, tetapi tidak perlahan juga dengan sol sepatu yang tebal menapak lantai. Dia sepertinya seseorang yang tengah mencari ruang kosong untuk membuang hajatnya. Sepertinya orang itu memilih peturasan tepat di bilik sebelah Soledad.

Soledad menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan. Dia terdiam sejenak untuk mendengar kembali suara lain selain langkah itu. Namun, terdengar hening. Tak lama kemudian terdengar suara air pembuangan mengalir. Satu menit kemudian, pintu ruang sebelah terbuka dan langkah itu menjauh.

Gadis itu perlahan melepaskan gaun hitam ketat dengan belahan dada rendah yang membalutnya. Begitu pula stoking yang membungkus kaki jenjang putih mulus. Beberapa aksesori penunjang pun dicopot dari tubuh. Soledad mengganti dengan pakaian kasual yang dibawa dari apartemen. Pakaian itu sebelumnya disimpan di loker khusus miliknya. Setelan blus berbahan moscrepe polos dipadu dengan celana jeans.

Terakhir, dia menghapus semua riasan wajah tebal dengan micelar water, lalu mencucinya dengan air dingin yang mengalir. Segar rasanya. Pori-pori kulitnya terasa kencang. Gadis itu memandang parasnya di depan kaca. Terlihat perbedaan yang sangat jelas dan mencolok.

Beberapa jam yang lalu, cermin memperlihatkan sosok wanita penghibur yang sangat cantik dan seksi dengan lekuk tubuh menggoda. Kini cermin kembali menampilkan sosok yang lain. Perempuan berwajah polos yang memiliki kecantikan alami dengan tubuh tertutup pakaian sopan. Identitas berbeda dengan raga yang sama. Gadis itu mengusap wajah. Letih tanpa ada yang tahu gejolak hatinya. Dua sisi kehidupan yang harus dijalankan secara beriringan.

Soledad keluar, lalu menjauh dari tempat maksiat tersebut. Dentuman musik khas dunia malam terdengar samar-samar dari lorong gelap yang sengaja dipilihnya. Dia hanya ingin segera sampai di apartemennya. Merebahkan diri di atas pembaringan. Membuang kehidupan palsu yang membelenggu.

Di depan parkiran mobil, sepasang mata dengan alis tebal milik si wajah keras dan dingin tengah menatapnya tajam. Margo, anak buah Mami Sandra, mengamatinya diam-diam. Tanpa senyuman. Soledad menganggukkan kepalanya saja. Dia tidak ingin terlibat percakapan dengan laki-laki itu. Margo mengingatkannya pada beberapa kejadian yang berhubungan dengan teman-temannya sesama anak asuh Mami Sandra.

Kini, dia sudah ada di apartemen yang sunyi serta jauh dari keramaian kelab malam dan hotel tempat tamu langganannya. Keinginannya merebahkan diri menguap entah kemana. Selesai membersihkan badan, dia berleha-leha di sofa berharap melihat tayangan bagus di TV kabel, sayang tak ada yang  menarik hatinya.  Bibirnya mendesah kesal.

Televisi dibiarkannya menyala, tetapi dia tidak fokus. Mata ke layar kaca, tetapi hatinya berada di tempat lain. Soledad melirik jam dinding. Pukul 02.15, menjelang dini hari. Rasa kantuknya menghilang.

Gadis itu menyesapkan kopi panas perlahan ke bibirnya. Semilir angin malam seolah membawa hatinya terbang mengangkasa menuju suatu tempat. Pertemuannya tempo hari dengan Arni dan Epan mengingatkan akan keluarganya yang jauh di  sana. Di mana matanya bisa memandang Gunung Merbabu dan Merapi yang kokoh dalam diamnya yang angkuh. Rasa rindu membuncah pada Bapak dan saudara-saudaranya.

*** Bersambung ***

VIAJE DE SOLEDAD [21+] (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang