11. Sesal

53 4 0
                                    

Sore hari sepulang dari klinik dokter Sinta, Soledad sengaja tidak kembali ke kelab milik Mami Sandra. Gadis itu juga menolak saat Dona mengajaknya ke Coffe shop di daerah Menteng. Mami Sandra memintanya untuk pergi ke tempat perawatan tubuh.

Seperti biasa, Soledad menghubungi Herna untuk membuat janji. Beruntung, Herna hanya memegang satu orang langganan saja, jadi saat Soledad tiba di The Praba Kenanga bisa langsung ditangani.

Sebelumnya Soledad singgah di sebuah minimarket. Satu kotak susu ukuran besar dan beberapa makanan ringan sudah ada dalam keranjang belanjaannya. Barang-barang itu hendak diberikan untuk anak-anak Herna. Sesaat ketika kakinya hendak melangkah menuju kasir, mata perempuan itu tertegun.

Matanya nanar menatap benda yang tersusun di rak. Benda yang mampu membuatnya mengingatkan sesuatu di masa lalu. Benda yang sama, hanya beda kemasan saja. Akhir-akhir ini Soledad sedikit melankolis dan cengeng. Ingatan terlempar kembali. Sebuah cerita lama kembali menghampiri.

*****

"Mbak, antar aku ke toko itu! Mau beli sesuatu."

Maryam menatap wajah Mbak Ningsih. Kening kakaknya berkerut dan memandang arah yang ditunjuk sang adik. Sebuah bangunan beton dua lantai bercat putih dengan tiga garis warna kuning, merah, dan biru di atas pintu masuk telah mencuri perhatian Maryam.

Sejurus kemudian di wajah teduh itu terukir sebuah senyuman dan anggukkan. Mbak Ningsih sudah menduga tujuan Maryam memaksa ingin ikut ke pasar kabupaten. Mata Maryam terlihat berbinar. Dari bibir mungilnya meluncur sebait ucapan terima kasih.

"Tunggu bentar ya, Dek! Mbak mesti beli pesanan Bapak dulu," sahut Mbak Ningsih.

Maryam mengangguk. Tangannya menggenggam erat Ningsih, tetapi tatapan mengarah ke toko besar di seberang jalan. Seolah-olah takut jika obyek pantauannya menghilang jika dia mengalihkan perhatian. Mbak Ningsih memasuki sebuah toko pakaian. Dia hendak membeli satu setel baju koko dan sarung untuk Bapak dan Topan. Maryam hanya berdiri mematung di depan pintu. Tubuhnya tetap menghadap ke jalanan besar.

"Mbak, itu adiknya?"

Tiba-tiba perempuan pramuniaga toko yang melayani Ningsih bertanya seraya menatap Maryam. Gadis kecil itu mendengar dan melirik pada orang yang berbicara dengan kakak sulungnya. Namun, dia diam tak perduli. Pandangannya kembali ke depan.

"Iya, Mbak. Adik nomor dua," jawab Ningsih sambil memilih corak kain sarung.

"Dia cantik. Punya kulit putih bersih. Badannya juga bagus. Hati-hati menjaganya! Sedikit besar, dia bisa jadi kembang desa yang dipuja banyak lelaki. Jangan sampai kecantikannya bawa masalah, lho!" Pramuniaga itu menatap cukup lama punggung Maryam.

Mbak Ning tertegun. Pandangannya beralih ke arah adiknya dan tersenyum. Dia percaya adiknya akan menjadi anak yang baik dan dibanggakan suatu saat kelak. Diam-diam Ningsih berdoa untuk kebaikan Maryam.

"Maryam sini, Dek!" Mbak Ningsih memanggil.

Maryam menoleh lalu mendekat. Mbak Ningsih sudah selesai memilih corak yang cocok. Lalu pramuniaga toko itu segera membungkusnya. Mbak Ningsih kemudian membayar di kasir. Sekilas pramuniaga itu mengulas senyuman yang dibalas anggukkan olehnya.

"Mbak, cepat! Nanti keburu abis barangnya. Kita kan tidak tahu kapan lagi ke sini," rajuk manja Maryam.

"Iya, Dek. Sabar! Mbak rapikan dulu belanjaannya. Kamu bawa bungkusan punya Bapak ya!"

Maryam mengambil bungkusan yang disodorkan Mbak Ningsih. Keduanya keluar dari toko dan menyeberang jalan. Maryam sangat senang. Senyumnya mengembang. Setengah berlari gadis kecil itu masuk ke dalam toko dan mendekati rak-rak tempat makanan. Matanya bergerak lincah menyusuri satu persatu benda yang ada di sana. Hingga akhirnya, benda yang diimpikan siang dan malam itu tertangkap mata.

Bibir gadis kecil itu kembali melengkung ke atas. Tangan kecilnya merogoh saku celana. Sebuah bungkusan kecil dari kantong pelastik hitam yang diikat karet merah dikeluarkan dan dibukanya. Sejumlah uang kertas lusuh dan recehan terkumpul dalam bungkusan itu. Tangan mungil dengan cekatan menghitung, sesekali mata bulatnya melihat harga yang tertera. Tak lama, sebuah helaan napas kelegaan diembuskan. Sambil membawa benda yang diambilnya, Maryam melangkah menuju kasir.

Mbak Ningsih menunggu di depan dengan cemas. Adiknya yang menghilang di balik jejeran rak besar telah kembali dan membawa benda yang diinginkan.

"Dek, yakin mau beli itu? Uangnya ada? Itu mahal!" Mbak Ningsih mendekati Maryam dan berbisik.

Seorang perempuan muda yang berada di belakang meja kasir memandang mereka. Maryam menjawab pertanyaan Mbak Ningsih dengan anggukkan. Benda yang diambilnya kemudian diletakkan di atas meja. Kasir kemudian menghitungnya.

"Cokelatnya dua ya, Dek. Semua jadi lima belas ribu," kata kasir sesaat kemudian.

"Mbak, aku bayarnya pakai uang recehan ya!" jawab Maryam sambil mengulurkan kantong hitam yang dipegangnya.

"Oh, ndak apa-apa. Aku hitung dulu."

Kasir menghitung uang yang diberikan. Mbak Ningsih mengusap kepala adiknya. Maryam tersenyum simpul dan membayangkan kelezatan cokelat batangan yang berhasil dibelinya dari tabungan selama satu bulan. Ada kebanggaan terselip di hati. Nanti di sekolah dia tidak akan diam dan menjadi pendengar saja saat teman-temannya bercerita tentang cokelat yang hanya dijual di kota.

Sebuah janji terpatri dalam jiwa Maryam kecil. Pandangannya beralih ke arah luar pintu kaca. Sebuah harapan muncul karena dua batang cokelat yang mampu dibeli dari hasil keringatnya.

Kelak, dia tidak ingin menjadi orang yang miskin dan tergilas orang lain. Harapannya itu kemudian mengubah nasibnya di kemudian hari. Terbang tinggi dan melayang ke tempat jauh. Melebihi khayalan di masa kecil.

****

Soledad menerawang. Hatinya berdenyut. Rindu sekaligus sakit saling mengorek relung kalbunya. Rindu akan segalanya. Bapak, Ibu, Mbak Ningsih, Mas Topan, dan Sarah. Satu persatu seolah membelai memori yang nampak di mata. Gadis cantik itu merindukan kehidupan kecilnya yang indah walaupun serba terbatas dan kekurangan.

Jika kenangan itu datang menghampiri, maka rasa sakit pun seolah berlomba menyentuhnya. Dia tidak bisa menolak atau mencegahnya. Rasa sakit yang mengharuskan dia menjelma menjadi sosok lain yang pastinya dibenci keluarga.

Maryam ... Siti Maryam.

Nama yang disematkan Bapak pada waktu kelahirannya dan selalu ada di setiap lantunan doa Ibu dalam gendongan penuh cinta. Ibu yang yang selalu menyebut namanya saat melangitkan bait-bait pengharapan dalam setiap sujud. Kini nama itu seolah menghilang dan tak bermakna indah dan suci. Maryam yang suci dan mulia, kini menjelma menjadi Soledad, si kupu-kupu malam.

Bapak memberinya nama Siti Maryam. Beliau berharap agar putri keduanya menjadi perempuan salehah dan selalu menjaga kesucian diri. Selalu itu yang didengungkan setiap malam ketika menjelang tidur setelah selesai mendongeng. Sayang, Maryam tidak bisa menjaga amanah itu. Kubangan kehidupan kotor telah membalut takdirnya. Semua karena ketidakpatuhan pada Bapak yang pernah dilakukan dulu.

Gerimis membasahi mata dan jiwa Soledad. Harapannya sudah terpenuhi. Mimpi-mimpinya telah menjadi nyata. Dunia sudah dalam genggaman. Setiap yang dia inginkan saat ini, mudah sekali terwujud. Uangnya sudah lebih dari cukup.  Namun, Soledad harus membayar mahal untuk semua itu.

Tiba-tiba gadis itu tersentak dari lamunan panjang. Lengannya tanpa sadar tersentuh gerakan tangan seorang pembeli mini market yang kebetulan melintasinya. Laki-laki muda itu pun tak kalah kagetnya sesaat melihat kondisi wajah Soledad yang murung. Dia meminta maaf. Soledad menunduk, lalu mengusap wajahnya. Tanpa bicara apa pun, gadis itu berlalu.

Cepat-cepat Soledad membawa semua belanjaan dan membayarnya di kasir. Genangan air matanya hendak tumpah dan dia tidak ingin orang lain mengetahuinya.

-Bersambung-

VIAJE DE SOLEDAD [21+] (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang