Bab 3

61 9 2
                                    

Pesawat kelelawar terbang cepat di langit malam. Seolah tidak ada halangan apapun, pesawat ini melesat tajam, menembus apapun di udara. Bahkan awan cumulonimbus yang terkenal dengan keganasan anginnya juga dengan mudah di lewati oleh pesawat ini. Walaupun masih malam, nyatanya aku bisa membedakan awan di langit dengan bantuan cahaya bulan.

Saat ini, aku terlampau bosan. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain memerhatikan orang-orang bertopeng putih seperti patung dan langit malam yang bertebaran bintang. Tidak ada percakapan sedikitpun sejak aku masuk ke dalam pesawat. Sampai-sampai aku berpikir orang-orang bertopeng badut ini adalah robot. Mungkin terlalu berlebihan tapi memang kenyataannya seperti itu.

Setelah aku perhatikan, topeng putih yang dikenakan oleh ketujuh orang misterius ini memiliki angka di sisi kirinya. Aku tidak tahu apa arti angka tersebut. Tapi angka ini berurutan dari angka 1 sampai 6. Ya, cuman sampai 6. Hanya satu orang yang tidak memiliki angka, dia adalah orang yang menolongku.

Sekedar informasi, pesawat yang aku tumpangi ini memiliki tempat duduk seperti pada pesawat militer. Kami duduk saling berhadapan memanjang dari depan sampai belakang. Hanya kursi pilot dan co-pilot yang tidak. Aku duduk di belakang kursi pilot, berhadapan dengan orang bertopeng putih tanpa angka.

Aku menatap orang bertopeng putih di depanku. Ada beberapa pertanyaan yang ingin aku tanyakan, tapi aku mengurungkan niat. Rasanya canggung apabila bertanya disaat seperti ini. Selain itu, aku juga masih berusaha menahan rasa sakit di perut yang terus mengeluarkan darah segar.

Seolah tahu keluhanku, orang bertopeng putih di depanku mengangkat tangan, memberikan sebuah kode kepada rekannya. Setelah itu, orang dengan topeng berangka enam mendekat. Dia duduk di sampingku lantas menempelkan tangannya di perutku. Aku tahu apa yang sedang terjadi. Orang ini sedang mengobatiku dengan kekuatan penyembuhan.

"Apa sudah lebih baik," orang topeng angka enam bertanya. Suaranya tidak jelas apakah perempuan atau laki-laki.

Aku mengangguk. "Ya, terima kasih, sudah tidak sakit lagi."

"Syukurlah. Semoga nanti kau bisa lebih berguna lagi."

Aku menatap heran. Apa maksudnya lebih berguna lagi. Aku mengalihkan pandangan ke orang bertopeng putih polos yang ternyata juga sedang menatapku. Aku menelan ludah, bingung akan situasi ini. Tidak hanya itu semua orang di pesawat ini juga menatapku, bahkan pilot dan co-pilot juga demikian.

"A- apa yang kalian inginkan?" aku bertanya, gugup.

"Apa kau masih belum paham akan situasimu?" orang dengan topeng berangka tiga balik bertanya.

Aku menoleh ke arahnya, menggelengkan kepala, tidak paham akan perkataannya.

"Apa kau tidak tahu siapa kami?" sekarang malah pilot yang bertanya kepadaku.

Aku tetap menggelengkan kepala. Tapi pikiranku sekarang campur aduk. Ada apa ini? Siapa mereka sebenarnya? Bukankah mereka adalah orang-orang yang dikirim Ayah untuk menyelamatkanku. Sebentar, ada yang salah. Aku baru ingat satu hal yang penting perihal topeng putih. Aku baru sadar kalau mereka adalah orang-orang yang sering dibicarakan media masa.

"A-apa kalian ... White Mask?"

Pesawat lengang, tidak ada jawaban. Keringat dingin menetes dari pelipisku. Jantungku berdebar semakin kencang. Setidaknya tolonglah berikan jawaban apa kalian adalah White Mask atau bukan. Jika seperti ini aku malah semakin ragu.

"Ya, kami White Mask."

Aku terperanjat, mataku melotot tidak percaya. Aku ingin mundur tapi tidak bisa, aku ingin kabur juga tidak bisa. Sial, ternyata aku berada di kandang singa. Kini aku hanya bisa menunggu ajal menjemput.

White Mask sebenarnya sudah lama menjadi headline berita di berbagai media masa Republik Metis. Tapi aku dulu tidak pernah memikirkannya, biarkan pemerintah yang mengatasi mereka. Namun, sialnya kini malah aku yang terjebak diantara mereka.

White Mask terkenal akan kengeriannya dalam melakukan aksi. Mereka adalah kelompok pembuat onar. Tidak, bukan hanya pembuat onar tapi mereka juga sering dikatakan sebagai organisasi pemberontak paling kejam di Metis. Dulu, saat terjadi demo besar-besaran dengan tujuan pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat Metis. White Mask disinyalir ikut menjadi roda penggerak terjadinya demonstrasi.

Beberapa bulan lalu, White Mask menjadi penyebab hancurnya pangkalan Angkatan Laut Metis di Perairan Mediterania. Mereka meluluh lantakan semuanya, membunuh sebagain prajurit Metis, menghancurkan semua armada laut di sana. White Mask akhirnya dicap menjadi organisasi kuat yang mengerikan dan menjadi sisi gelap Republik Metis.

"Apa kau takut?"

Orang bertopeng putih polos menanyaiku. Aku tahu dia, beberapa media menyebutnya Sang Raja, pucuk pimpinan White Mask. Sementara itu, anggota White Mask dipanggil sesuai dengan angka di topengnya mulai dari Satu, orang dengan angka satu di topeng sampai Enam orang dengan topeng berangka enam.

"Hahh, sudah kubilang Raja. Tidak baik kalau tidak mengatakan identitas kita langsung kepadanya. Akhirnya seperti ini kan, dia ketakutan." Satu menghela nafas pelan.

"Untuk apa mengatakan identitas kita kepada orang yang akan mati?" Dua menimpali.

Tenggorokanku seperti tercekik. Nafasku menderu. Aku ingin berteriak histeris, tapi mulutku seolah terjahit. Apa yang dia bilang tadi, orang yang akan mati. Apa maksudnya? Siapa, siapa yang akan mati?

"Cukup!" Sang Raja berseru galak. "Dia tidak akan mati. Itu perintahku."

Seketika pesawat lengang, semua duduk diam. Pilot dan co-pilot kembali melakukan tugasnya. Semua orang kembali membisu.

Aku semakin bingung. Tubuhku tidak henti-hentinya bergetar. Beruntung, luka tembak diperutku sudah tertutup rapat setelah disembuhkan oleh Enam. Tapi, itu tidak bisa menutup kebimbanganku.

Ada satu hal yang aku sadari setelah siuman tadi. Aku tidak bisa menggunakan kekuatan eleman. Menurut dugaanku, mungkin ini terjadi karena peluru yang ditembakan oleh Pak Nata. Kemungkinan besar peluru itu berisikan zat yang dapat menonaktifkan kekuatan elemen. Aku tidak tahu berapa lama hal ini terjadi, tapi aku berharap tidak lama.

Kekuatan elemen adalah keajaiban di dunia ini, semua umat manusia memiliki kekuatannya masing-masing. Ada yang memiliki kekuatan elemen api sepertiku, air, udara, petir, tanah dan masih banyak lagi. Anehnya, kekuatan elemen hanya dimiliki oleh manusia saja, membuat manusia semakin kuat di dunia ini. Jujur, aku tidak terlalu paham mengenai kekuatan elemen ini. Aku jarang berlatih menggunakan kekuatan elemen, membuatku tertinggal jauh dari teman-teman seumuranku.

Oke kembali ke masalah. Aku menatap jendela pesawat, memandangi langit timur. Fajar menyingsing, menampakan segaris cahaya merah kekuningan. Pilar-pilar cahaya menembus awan yang tergantung. Bintang gemintang perlahan-lahan menghilang, mempersilahkan raja siang untuk menyinari alam. Samudra awan terbentang di bawah pesawat, berombak-ombak, bergerak sedikit demi sedikit. Semua ini membuatku kembali tenang.

"Kau menyukainya?" tiba-tiba Sang Raja bertanya.

Aku tersentak kaget, bingung. Aku menatap dia yang ternyata sedang memerhatikanku. Sekali lagi, aku tidak bisa bersuara. Seolah ada batu yang mengganjal tenggorokanku. Ini gila, bagaimana bisa aku ketakutan seperti ini.

"Kau tahu, fajar sering diartikan sebagai kebangkitan atau kelahiran. Matahari terbit adalah awal kehidupan. Siapapun yang bisa menyaksikan matahari terbit, maka kelak dia akan mendapati suatu kebangkitan.

"Fajar adalah kekuatan kami, para pencari keadilan dari lorong kegelapan. Kami bukan pengembara malam bukan juga pengembara siang. Kami adalah golongan abu-abu yang ingin menegakkan keadilan. Kelak saat kami berada di puncak, akan ada kebebasan bagi kalian para manusia peliharaan. Kalian akan bebas dari serigala yang berpura-pura menjadi pengembala. Aku akan membimbing manusia menuju kedamaian yang sebenarnya."

The Liberator [Novel - On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang