Bab 11

15 2 1
                                    

Sebelum masuk cerita aku mau minta maaf kepada kalian para pencinta buah durian. Khususnya sehabis baca cerita ini. Jangan dimasukin hati, oke. Sip, terima kasih, silahkan membaca.

_________

Pemilik rumah adalah seorang kakek tua, berjenggot putih dan beruban. Umurnya mungkin sudah mencapai satu abad atau lebih. Dia terbuka, kami dipersilahkan untuk masuk ke dalam rumah, beristirahat. Ada beberapa ruangan di dalam rumah, kami diarahkan ke ruangan besar yang berada tepat di depan pintu masuk. Mungkin ini merupakan ruang tamu.

Kami duduk beralaskan tikar, melingkar, mengitari makanan. Kakek tua pemilik rumah memberikan kami beberapa makanan dan minuman yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Awalnya aku tidak terlalu minat untuk memasukkannya ke mulut, tapi karena lapar akhirnya perutku bersedia untuk diisi dengan makanan asing.

Rasanya tidak buruk juga. Aku paling suka makanan berbentuk segitiga yang terbuat dari kedelai. Kata kakek, nama makanan ini adalah Tempe. Nama yang aneh, tapi menarik. Selain itu, ada juga beberapa buah berduri dan berbau menyengat. Jujur, aku hampir muntah saat makan buah itu, rasanya seperti ada kaus kaki di mulutku.

"Bagaimana Kakek bisa membuat makanan seperti ini? Bukankah semua bahan makanan dan buah ini bukan berasal dari Metis? Apa kakek menanamnya sendiri?" aku bertanya penasaran.

Kakek itu tersenyum tipis, menantapku lamat-lamat. "Sebentar lagi kamu akan tahu sendiri."

Lagi-lagi jawaban yang sama. Sebelumnya aku juga bertanya ke ayah kenapa dia bisa kenal dengan kakek ini, tapi jawabannya sama "sebentar lagi kamu akan tahu." Apa jawaban seperti itu sekarang sedang trend di kalangan orang tua? Tidak mungkin, mereka pasti menyembunyikan sesuatu.

Setelah diperhatikan dengan seksama, rumah ini tidak memiliki barang-barang elektronik. Hampir semuanya terbuat dari kayu atau besi. Sungguh kakek tua ini bisa dibilang orang yang kesepian. Dia jauh dari hiruk pikuk kehidupan, jauh dari kontak fisik dan sosial. Ah, apa dia bahagia? Semoga dia bahagia.

"Razad saudaraku, sedari tadi aku bertanya-tanya apa kau kesini karena ingin masuk ke Desa Devos?" kakek tua itu bertanya.

"Seperti yang kau duga saudaraku Mahdad. Aku dan anakku berkeinginan masuk ke dalam Desa Devos. Apa kami diijinkan ke sana? Anakku ini sedang membutuhkan pertolongan dari para tetua di sana."

Aku menatap ayah lamat-lamat, mencoba mengolah informasi barusan. Pemikiranku semakin matang, membuatku sudah tidak kaget dengan semua kejadian beberapa hari ini. Kejutan demi kejutan selalu berdatangan dalam tiga hari terakhir, akibatnya instingku semakin terasah. Aku bisa menyimpulkan bahwa perjalanan kali ini masih panjang dan tempat ini bukanlah tujuan tapi hanya sebagai tempat transit.

"Ada apa dengan anakmu wahai saudaraku? Apa aku bisa membantunya?" Kakek Mahdad bertanya.

"Dia sedang dalam bahaya saudaraku Mahdad. Kami sangat membutuhkan perlindungan dari para tetua desa."

Kakek Mahdad menatapku lamat-lamat penuh perhatian. "Aku minta maaf saudaraku. Anakmu ini tidak bisa masuk, dia bisa membahayakan desa jika ada di dalam sana."

"Kumohon saudaraku. Bagaimana cara agar anakku agar bisa masuk ke dalam sana?"

"Dia harus membuktikan dirinya sendiri wahai saudaraku."

Aku mematung bingung akan arah percakapan ini. Juga kedua pengawal kami, mereka sama diam membisu, memerhatikan percakapan ayah dan Kakek Mahdad.

Ayah diam sebentar sebelum melanjutkan. "Baiklah saudaraku. Aku ijinkan anakku untuk membuktikan dirinya. Aku sudah tidak memliki pilihan lain."

The Liberator [Novel - On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang