Bab 17

13 3 3
                                    

Lembah Devos berubah warna. Padang rumput yang semula hijau, kini mulai mengering. Beberapa tumbuhan besar di desa meranggas, kehilangan daunnya. Sapi-sapi dimasukan ke dalam kandang, membuat pemandangan padang rumput berubah drastis dari pada sebelumnya. Suhu udara semakin dingin menandakan musim akan segera berganti.

Sudah tiga bulan aku berada di desa terpencil ini, terputus dari dunia luar. Dan sudah dua bulan lebih aku tidak bertemu Sadap. Terakhir kali aku melihatnya ketika dia keluar dari desa bersama beberapa orang. Katanya, mereka akan menjalankan sebuah misi yang diberikan Yang Mulia. Aku tidak terlalu mempermasalahkan kepergiannya, tapi aku mempermasalahkan kebijakannya dalam menunjuk seorang pembimbing.

Selama tiga bulan, aku dibimbing oleh seorang yang sangat tidak ingin aku lihat wajahnya. Tidak lain dan tidak bukan orang itu adalah Latih, perempuan bermuka dingin yang seperti tidak memiliki hati. Hampir setiap hari aku bertemu dengannya. Dan kalian tahu apa akhirnya? Ya, kami selalu berdebat, tidak akur dan selalu membuang muka apabila bersitatap. Ah, tiga bulan ini seperti neraka bagiku.

Meski menyebalkan, aku juga mendapat beberapa keuntungan. Beberapa ilmu terkait dunia bawah dan penggunaan kekuatan elemen yang disampaikan Latih dengan gaya menyebalkannya berhasil menambah kesabaranku. Meskipun demikian, aku yakin lebih baik dibimbing oleh Sadap dari pada si perempuan bermuka dingin itu.

"Hei, Azad! Apa kau mendengarkanku?"

Aku kembali sadar dari lamunanku, menatap Latih yang tengah duduk di kursi kayu rumahnya. "Ah maaf, sampai mana tadi?"

"Hahh... bisa tidak kau fokus sedikit saat membahas hal penting seperti ini? Lama-lama kau semakin menjengkelkan."

"Iya iya, tidak usah pedulikan aku. Kau tahu kan aku ini orang pandai, paling pintar di Metis. Aku bisa cepat paham akan segala hal."

Aku kembali merebahkan punggung ke kursi kayu, menikmati suasana rumah unik ini. Rumah milik Latih tidak bisa dipungkiri memang sangat nyaman. Perabotan kayu yang bertebaran di segala penjuru, membuat raga ini terbawa semakin dekat dengan alam. Tidak hanya itu, hawa sejuk yang selalu ada di dalam rumah juga membuat siapapun akan betah berlama-lama tinggal. Andai saja pemiliknya bukan putri bermuka es, aku pasti akan lebih sering berkunjung.

"Terlalu naif. Kau seperti anak kecil. Sekarang dengarkan aku! Tidak usah pedulikan hal lainnya, aku ingin cepat selesai." Latih menatapku tajam, menunggu jawaban.

Aku mengangguk takzim, tak mau memperpanjang perdebatan. Latih kembali melanjutkan.

"Intinya kekuatan elemen adalah sebuah kekuatan yang dimiliki tubuh untuk mengendalikan elemen alam disekitarnya. Selain itu, tubuh manusia juga bisa menciptakan elemen tersebut tapi terbatas dalam elemen-elemen khusus seperti api, petir, listrik. Itupun tidak bisa bertahan lama.

"Kekuatan elemen berasal dari energi elemen. Pada dasarnya energi unik ini berasal dari energi biasa yang dihasilkan oleh proses metabolisme tubuh. Kemudian, energi biasa ini akan diubah menjadi energi elemen oleh sel lewat serangkaian proses kimia rumit. Jadi, sebenarnya energi elemen jumlahnya akan sama dengan energi biasa yang dihasilkan tubuh"

Aku mengangguk, paham akan maksud Latih. "Oke aku paham sekarang. Tapi, itu belum menjawab permasalahanku. Aku masih belum bisa menghasilkan energi elemen secara maksimal, padahal aku sering berolahraga, berlatih dan makan makanamn yang mengandung banyak gula. Bukankah hal itu bisa meningkatkan jumlah energi yang dihasilkan tubuh?"

Latih terdiam, jarinya menyentuh bibir seperti sedang berpikir. "Ya, aku punya sebuah teori akan hal ini. Menurutku, penyebab kenapa kau tidak memiliki jumlah energi elemen seperti orang kebanyakan adalah karena faktor genetik."

The Liberator [Novel - On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang