Bab 2

69 13 6
                                    


Pandanganku gelap. Kepalaku terasa berputar. Seluruh tubuhku tidak bisa digerakkan. Aku mencoba membuka mata namun sia-sia. Aku mencoba menggerakan tangan dan kaki tapi itu juga tidak bisa. Kini, aku hanya bisa menunggu tubuhku kembali pulih sembari memikirkan apa yang baru saja terjadi.

Tadi, aku tertembak. Aku tidak tahu setelahnya apakah masih hidup atau sudah mati. Yang aku tahu setelah tertembak kesadaraanku dengan cepat menghilang. Setelah itu, semuanya gelap gulita.

Sekali lagi aku mencoba membuka mata. Berhasil, kelopak mataku terbuka. Semua nampak kabur awalnya, tapi berangsur-angsur membaik. Aku menatap sekitar mencari petunjuk tempatku berada sekarang. Mataku terbelalak, mendapati bahwa sekarang aku berada di tempat yang asing.

Aku terduduk di tengah-tengah sebuah ruangan tak terawat dengan dinding penuh coretan tidak jelas. Lantainya ditumbuhi lumut dan kerak serta beberapa tumbuhan liar. Kaca jendela pecah, berserakan di lantai. Atapnya dihiasi lubang besar, membuat siapapun bisa melihat dengan jelas lantai atasnya. Sungguh, tempat ini mungkin sebentar lagi akan berubah menjadi hutan dalam ruangan jika tidak dirawat. Dari jendela aku juga tahu bahwa sekarang sudah malam.

Kondisiku payah, tali dari baja mengikat tubuhku ke tiang di tengah ruangan. Badanku seperti tak memiliki tenaga. Di depanku, seorang pria berdiri bersandar ke dinding ruangan, menatapku tajam. Aku tahu pria itu, dia adalah Pak Nata seseorang yang mengaku sopir ayah dan orang yang menembakku.

Aku berniat mengucapkan sumpah serapah kepada Pak Nata. Tapi, aku baru sadar, mulutku ternyata tersumpal oleh kain. Hanya erangan demi erangan tidak jelas yang bisa keluar dari mulutku. Itu pun pada akhirnya sia-sia.

Tubuhku menggeliat bersamaan dengan tangan yang mencoba melepas ikatan, membuat gaduh ruangan. Nahas, semua usahaku tak membuahkan hasil. Tali baja ini terlalu kuat, aku bahkan tidak bisa mengendorkan ikatan sedikitpun. Sialnya lagi, kelakuanku ini malah membuat perutku terasa sakit. Aku menatap bagian bawah tubuh, mencari penyebabnya. Mataku membulat menemukan darah menetes dari perut, memerahkan lantai.

"Tolong jangan terlalu banyak bergerak! Aku tidak ingin kau mati kehabisan darah." Pak Nata berseru.

Aku menatap marah Pak Nata. Pada saat itu pula aku tahu wajah Pak Nata yang sebenarnya. Ya, wajahnya yang sekarang berbeda dengan wajah saat mengendarai mobil tadi. Wajah Pak Nata yang sekarang terlihat lebih muda dan lebih segar. Malah aku yakin dia masih belum bisa dipanggil "Pak".

"Sebentar lagi kau akan dijemput ayahmu," Pak Nata melanjutkan, "Jadi tolong bekerja samalah! Aku tidak ingin kau mati lebih cepat."

Sekarang aku sadar tengah diculik dan dijadikan sebagai barang jaminan. Betapa sialnya nasibku. Waktu yang seharusnya bisa kugunakan untuk bersenan-senang, sekarang malah menjadi waktu untuk menunggu ketidak jelasan. Aku sebenarnya penasaran tujuan Pak Nata menculikku, tapi aku tidak bisa bertanya dalam kondisiku sekarang.

Pak Nata masih menatapku tajam. Orang itu seperti tidak berkedip saat melakukannya. Aku balas menatapnya, tentu saja dengan tatapan penuh kebencian. Mata kami bertemu cukup lama dan berakhir saat Pak Nata berjalan ke arahku.

"Kau pasti ingin tahu kenapa aku menculikmu?" Pak Nata bertanya.

Aku mengangguk cepat.

"Kau harus tahu, aku tidak menculikmu karena memerlukan uang. Aku menculikmu agar ayahmu bisa bekerja sama dengan kami."

Aku menatap heran Pak Nata. Tadi dia mengatakan "kami", apa dia bekerja secara kelompok? Terus apa maksud dari bekerja sama? Dan yang paling mengherankan, untuk apa dia mengatakan alasannya menculikku? Ah, ini terlalu sulit untuk dimengerti.

The Liberator [Novel - On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang