Bab 12

14 2 1
                                    

"Apa? Sang Pengintai, kau Sang pengintai? Ya ampun, ini sebuah kehormatan bisa bertemu denganmu." Ayah menyalami Sadap, wajahnya berseri-seri.

"Apa aku seterkenal itu? Aku pikir hanya beberapa orang yang tahu tentangku."

"Wahai saudaraku Sadap, apa kau lupa kalau kau adalah seorang legenda. Sepanjang kau mengatakan bahwa identitasmu adalah Sang Pengintai maka militer negera blok timur manapun akan menyanjungmu bak seorang pahlawan. Apa kau sudah lupa itu?" Kakek Mahdad menyela.

"Itu sudah lama sekali Mahdad, tidak usah kau ungkit-ungkit kembali. Biarkan sejarah menjadi kenangan bahagia bagi mereka."

"Kenangan itu akan kami ingat sampai ribuan tahun kedepan, Sadap Sang Pengintai. Jasamu sungguh tidak bisa dibayar dengan uang. Kami sangat menghormatimu." Ayah kembali berucap.

"Sudahlah, tak usah dibesar-besarkan. Sekarang, yang paling utama adalah membawa anakmu pergi ke desa. Bukankah dia butuh perlindungan dari para tetua." Sadap menatapku tajam.

Sedari tadi hanya dua orang yang lebih memilih diam memerhatikan, aku dan pengawal wanita. Jujur, aku tidak paham betul apa yang mereka bicarakan. Mulai dari Sadap yang memiliki julukan Sang Pengintai sampai kenapa ayah sangat menghormatinya. Apakah karena otakku yang terlalu polos atau karena pembicaraan tersebut berada di dunia yang berbeda. Entahlah, aku tidak mau memikirkannya berlarut-larut.

"Razad," Sadap berucap, "Biarkan aku yang membawa anakmu ke desa. Dia pasti akan aman bersamaku. Selain itu, aku juga ingin bercakap-cakap lebih dengan orang yang berhasil lulus dari ujian si kakek tua Mahdad."

Ayah menoleh ke arahku. Wajahnya seolah bertanya apa keputusanku. Aku hanya bisa mengangguk, membiarkan ayah memutuskan.

Ayah kembali menatap Sadap. "Baiklah Sadap. Ini juga menjadi sebuah kehormatan."

Sadap tersenyum puas. Aku tidak tahu arti senyuman itu, apakah sebuah hal buruk atau baik. Aku berdoa semoga wajah garang orang ini palsu, sangat mengerikan jika wajah itu asli. Aku yakin hanya beberapa orang yang berani menatap wajah Sadap jika asli.

"Baiklah Azad, kita akan berangkat sekarang juga. Ucapkan selamat tinggal ke ayahmu dan dunia luar." Sadap berkata, membuatku kebingungan.

"Apa maksudmu?"

"Sayang sekali, kau kurang tangkas Azad. Waktumu sudah habis. Sekarang ikut denganku."

Belum ada satu detik dia berkata, sosoknya telah menghilang dari tempat semula. Kini, dia berada di belakangku, berdiri, menatapku tajam bak monster di hutan. Tangannya terangkat, memukul tengkukku, membuatku tersungkur tak berdaya. Pandanganku buram, semuanya menggelap. Lagi-lagi aku kehilangan kesadaran, membuat sebuah rekor pingsan paling banyak di kehidupanku.

***

Kehangatan merayap di seluruh tubuhku. Aku mulai sadar, mataku terbuka, mendapati diriku berada di dalam hutan belantara. Api unggun berkobar di depanku. Di sampingnya Sadap tengah membakar sesuatu.

"Apa kau sudah bangun? Baguslah, sekarang makan ini," Sadap melemparkan sepotong ayam bakar ke arahku. Aku menangkapnya, memandangi sepotong ayam bakar yang masih hangat.

"Apa yang kau lakukan? Mengapa kau membuatku pingsan?" aku bertanya, membiarkan ayam bakar mendingin di tanganku.

"Itu prosedur masuk desa. Sebenarnya, aku juga bisa menutup matamu dengan kain hitam tapi itu akan memperlambat sampai ke desa. Aku hanya ingin membuat kita bergerak lebih cepat."

The Liberator [Novel - On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang