Republik Nusantara atau sering disebut sebagai Negeri Pasifik Selatan adalah sebuah kekuatan besar yang mengendalikan hampir seluruh daratan dan perairan di Bumi. Negara itu semakin adidaya dengan kemampuannya dalam bidang ekonomi, militer, dan kesetabilan politik. Republik Nusantara juga menjadi simbol pemisah antara blok timur dan blok barat yang sekarang "dikurung" di benua Amerika.
Aku bisa tahu Latih berasal dari Republik Nusantara kebanyakan karena sikap santunnya ke orang-orang yang lebih tua. Negara itu memang terkenal akan budayanya menghormati orang tua. Bahkan, mereka juga sangat menghormati orang asing. Namun, ada juga yang tidak demikian. Latih salah satunya.
Sekarang, setelah aku memastikan asalnya, Latih mendadak super aktif. Dia bertanya berkali-kali soal kenapa aku bisa tahu asalnya. Bahkan setelah kami berjalan lumayan lama, Latih masih saja bertanya seperti anak kecil.
"Untuk apa kau bertanya asalku?" tanya Latih kembali.
Aku tetap diam, menatap lorong gelap tak berujung. Sebenarnya ini pertanyaan ketiga Latih. Pertanyaan pertama dan kedua tadi sengaja tidak kujawab karena memang tidak ada satupun jawaban yang pas. Setelah berselang lumayan lama, ternyata Latih masih penasaran akan hal itu.
"Hahh... baiklah akan aku jawab," aku menghela nafas pelan, mencoba menjawab sebisanya. "Sebenarnya aku hanya penasaran. Tiga bulan ini aku selalu memikirkan akan hal itu. Tidak hanya sifatmu yang sangat mirip dengan orang-orang Pasifik Selatan, tapi gaya hidupmu juga."
Latih terdiam, lorong kembali sunyi. Dia selalu seperti ini dalam berkomunikasi, selalu memikirkan kata yang tepat untuk merespon percakapan. Aku bahkan yakin Latih tidak bisa membedakan obrolan serius dan candaan.
"Aku tidak bisa menyangkalnya. Semua yang kau sebutkan tadi memang sudah seperti tabiat orang-orang Nusantara," ucap Latih.
Aku mengangguk memaklumi. Sudah tidak ada ketertarikan untuk memanjangkan percakapan. Perhatianku berangsur teralihkan oleh senjata di tangan. Api milikku sedari tadi sengaja aku dekatkan ke senapan laras panjang yang terbuat dari kayu ini.
"Apa yang akan kau lakukan dengan senapan itu?" Latih bertanya, sudah ikut memerhatikan senapan di tanganku lamat-lamat.
"Aku punya ide gila dengan ini. Seperti yang kau katakan tadi, temukan misteri kekuatan elemen. Buat misteri itu menjadi kekuatan dengan benda yang mematikan. Walaupun senapan ini mungkin tidak memiliki peluru, aku masih punya satu kesempatan lagi."
Dahi Latih terlipat seperti tengah mencerna perkataanku. Aku tahu dia akan berpikir cepat soal ini. Tapi aku yakin, Latih tidak akan tahu ide gila apa yang kumaksud.
"Semoga ide gilamu tidak akan membahayakan orang lain." Latih berpaling, kembali menatap lorong gelap di depan.
Aku masih memerhatikan senjata di tangan. Dari bentuknya aku sangat yakin kalau senjata ini adalah senapan runduk, senapan yang sering digunakan oleh para sniper. Namun, ada yang salah dengan senjata ini. Walaupun bentuknya mirip dengan senapan runduk, tapi tidak ada tempat untuk memasukan peluru. Di sinilah aku sedikit bimbang. Apa senjata ini sengaja dibuat tanpa peluru? Tapi, bagaimana bisa?
"Ah sial!" gumamku lirih yang pasti akan terdengar oleh Latih.
"Ada apa?" Latih menoleh, bertanya.
"Latih, coba kau lihat ini. Bagaimana bisa senjata tidak memiliki tempat untuk memasukan peluru? Apa kau pernah lihat senjata seperti ini?"
Aku semakin mendekatkan api elemenku ke senapan. Latih memerhatikan, mendekatkan kepalanya ke senapan. Dia kembali mengerutkan dahi. Matanya tak berkedip. Mode seriusnya telah kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Liberator [Novel - On Going]
AdventureAku hanya seorang anak ingusan yang berharap mendapatkan hidup menyenangkan. Namun, nahas, takdir membawaku ke pusaran permasalahan. Aku masuk ke dalam pertarungan dunia bawah, dunia yang tidak pernah dilihat oleh orang biasa. Aku pikir keluargaku a...